Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Dari Ormas Agama Menjadi Ormas Tambang

Sikap Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama yang menerima konsesi tambang bakal berbuah persoalan. Rawan korupsi dan memicu konflik horizontal.

4 Agustus 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Muhammadiyah menerima tawaran konsesi tambang dari pemerintah.

  • Ada risiko manipulasi dan korupsi di balik penerimaan izin tambang oleh ormas agama.

  • Ormas agama akan terjebak kepentingan pemerintah dan kaum oligark.

SIKAP malu-malu kucing Pimpinan Pusat Muhammadiyah sebelum menerima tawaran konsesi tambang pemerintah sudah serupa drama yang tak bermutu. Sempat meminta waktu mengkaji, dan kemudian menerima tawaran Presiden Joko Widodo itu, Muhammadiyah tak hanya mengecewakan para kadernya, tapi juga publik. Jika sudah begini, sulit menyangkal pandangan bahwa organisasi kemasyarakatan di bidang keagamaan tak pernah bisa independen dan mudah diobok-obok penguasa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keputusan itu mengemuka dalam rapat pleno Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Jakarta pada 13 Juli 2024, yang kemudian ditegaskan dalam forum konsolidasi nasional di Yogyakarta pada 27-28 Juli. Forum itu diwarnai protes lantaran keputusan pengurus bertentangan dengan fatwa Majelis Hukum dan Hak Asasi Muhammadiyah pada 11 Mei 2024, yang menyatakan pemberian izin usaha tambang secara langsung tanpa lelang merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara sekaligus rawan korupsi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejumlah organ Muhammadiyah juga sebetulnya memiliki kajian yang intinya tak menerima tawaran izin tambang karena mengancam kelestarian lingkungan. Bahkan pengurus di beberapa daerah, antara lain di Kalimantan Selatan, menolak karena mereka merasakan dampak buruk praktik industri ekstraktif itu. Tapi suara-suara itu tak didengarkan pengurus Muhammadiyah. Apalagi para pengurus pusat dibujuk para tokoh, pengusaha dan pejabat. Majalah ini menemukan adanya pendekatan sejumlah sosok, antara lain mantan wakil presiden Jusuf Kalla dan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, kepada pengurus Muhammadiyah agar menerima tawaran pemerintah.

Fakta-fakta ini juga menunjukkan sikap ormas keagamaan yang mudah terbujuk tawaran materi. Dengan mudahnya para pengurus mengabaikan aspirasi serta kajian yang dibuat para kader lantaran menganggapnya tak menguntungkan. Sebelum Muhammadiyah, ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, lebih dulu menerima tawaran konsesi tambang dari pemerintah yang erat kaitannya dengan balas jasa politik pada pemilihan umum lalu. Adapun tawaran kepada Muhammadiyah erat hubungannya dengan upaya menjinakkan organisasi tersebut agar tak kritis terhadap pemerintah.

Di sisi lain, pemberian lahan tambang kepada ormas keagamaan mengandung banyak risiko. Bisnis tambang membutuhkan modal besar, pengelolaan profesional, hingga penanganan eksternalitas yang rumit. Tanpa kemampuan tersebut, ormas keagamaan mesti bermitra dengan perusahaan atau operator tambang berpengalaman.

Di sini ada celah penguasaan kembali lahan tambang hasil pemangkasan konsesi pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) oleh pemilik lamanya. Tentu dengan jalan berliku, seperti memanipulasi kepemilikan perusahaan, karena Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 melarang kemitraan ormas dengan eks pemegang PKP2B ataupun perusahaan-perusahaan yang terafiliasi.

Jika ini yang terjadi, ormas agama hanya bakal menjadi tameng untuk melindungi kepentingan para oligark. Selain menjadi proksi penguasa tambang, organisasi seperti NU dan Muhammadiyah rawan berhadapan dengan pegiat lingkungan yang menyuarakan efek buruk industri ekstraktif ini. Dengan kata lain, hadiah dari pemerintah bakal berbuah bencana karena memicu konflik horizontal.

Karena itu, para pengurus ormas keagamaan hendaknya menyudahi narasi palsu pemberdayaan ekonomi umat. Dengan mengelola tambang, ormas keagamaan tak berbeda dengan perusahaan-perusahaan sektor ekstraktif yang dikuasai para pengusaha besar. Menerima tawaran konsesi tambang dari pemerintah sama dengan menjerumuskan organisasi umat ke kubangan masalah dan pengaruh penguasa.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus