Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEMATIAN lima pesut mahakam dalam waktu enam bulan semestinya menjadi perhatian serius pemerintah dan pelestari lingkungan. Kematian beruntun menjadi alarm bahwa mamalia air tawar yang dilindungi itu berada dalam bahaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak Februari hingga Juli 2024, lima pesut mati di perairan Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Tiga di antaranya mati di kawasan konservasi perairan di Kutai Kartanegara, dua lainnya di luar kawasan. Tren kematian pesut ini bisa berlanjut jika tak ada upaya serius untuk mengungkap penyebab dan mengatasinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanpa kematian beruntun ini, menurut catatan Yayasan Konservasi Rare Aquatic Species of Indonesia, populasi pesut mahakam tinggal 67 ekor. Populasinya tak bertambah karena angka kelahiran dan kematiannya sama, yaitu satu ekor pesut per tahun. Kematian lima pesut dalam waktu setengah tahun jelas berdampak signifikan mengurangi populasi yang tersisa. Wajar saja bila Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) menetapkan pesut mahakam sebagai satwa kritis dan terancam punah.
Memang, dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, pesut telah digolongkan sebagai satwa yang dilindungi. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106 Tahun 2018 menegaskan status pelindungan atas spesies bernama ilmiah Orcaella brevirostris tersebut.
Namun pelindungan itu masih sebatas regulasi di atas kertas. Penerapannya di lapangan masih belum efektif. Lihat saja, tiga dari lima pesut itu ditemukan mati di kawasan konservasi perairan yang ditetapkan Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 8 Agustus 2022. Semestinya kawasan konservasi menjadi area perlindungan yang membuat lumba-lumba air tawar itu aman.
Sejauh ini penyebab kematian pesut mahakam bermacam-macam, tapi sebagian besar berhubungan dengan aktivitas manusia. Pesut-pesut diduga mati akibat terjerat jaring tangkap ikan (rengge), pencemaran bahan kimia dan limbah, polusi suara dari kapal yang mengganggu sistem sonar pesut, sedimentasi yang tinggi, hingga degradasi habitat mereka.
Itulah sebabnya penetapan kawasan konservasi perlu dibarengi dengan regulasi pemerintah daerah. Misalnya pengaturan jaring tangkap ikan, pengendalian sampah terutama sampah plastik yang masuk ke sungai, dan aturan penggunaan alur sungai yang ramah pesut. Peraturan di tingkat daerah makin penting seiring dengan peningkatan frekuensi lalu lintas kapal ponton batu bara dan kapal besar lain di perairan Mahakam.
Sejalan dengan itu, pemerintah perlu memperluas kawasan konservasi perairan agar pesut mahakam mendapat area perlindungan lebih luas. Sebab, pesut yang makin terdesak aktivitas manusia akan menjauh dari habitat aslinya. Temuan dua ekor yang mati di luar wilayah konservasi menunjukkan pemerintah lambat menetapkan perluasan kawasan konservasi itu.
Pemerintah juga perlu segera menghentikan degradasi lingkungan yang mengancam habitat pesut mahakam. Eksploitasi lahan di wilayah Kalimantan Timur untuk pertambangan batu bara, perkebunan sawit, dan pembangunan infrastruktur seperti Ibu Kota Nusantara telah menggusur jutaan hektare hutan alam serta mengancam keanekaragaman hayati di kawasan tersebut.
Tanpa terobosan melindunginya, pesut mahakam akan makin terancam. Indonesia akan berkontribusi dalam tiga ancaman besar global hari ini, yang salah satunya kepunahan keanekaragaman hayati.