KERAJlNAN barang-barang tanah liat merupakan sumber penghidupan
rakyat di beberapa kawasan tanah air ini. Dalam pameran Keramik
Indonesia Tradisionil di Museum Keramik Balai Seni Rupa Jakarta,
28 Juni s/d 27 Juli, dapat dilihat betapa kegiatan itu telah
menancapkan akar di Tabanan (hali Selatan), Kasongan
(Yogyakarta), Pleret (Jawa Barat), Klampok (Banjarnegara),
Klampok (dekat Tegal), Palembang, Sulawesi Selatan, dan mana
lagi.
Barang-barang yang dihasilkan tidak hanya barang pakai atau
barang-barang kebutuhan praktis. Juga barang hias, yang dengan
sadar ditujukan sebagai bahan dekorasi rumah modern. Misalnya
saja dari daerah Tabanan, Bali, dapat dilihat patung, binatang,
relief-relief yang naif yang menunjukkan campur tangan seorang
seniman. Almarhum pelukis Kay It di Tabanan telah membimbing
heberapa pembuat keramik tradisionil di Tabanan untuk merebut
pasaran di kawasan yang lebih luas. Barang-barang seperti ini
kini banyak dilihat dipajang di hotel-hotel mentereng.
Bukan saja bentuknya sudah menunjukkan ketrampilan teknis yang
makin tinggi. Juga pembakarannya sudah mencapai suhu 500 s/d 600
derajat celsius. Jadi ketahanannya pun sudah memperoleh
peningkatan. Belakangan warnanya mulai diperhatikan sehingga ia
memperoleh kemungkinan yang lebih kaya lagi. Hari depan keramik
Indonesia, mempunyai akar yang baik, juga memiliki perspektif
yang baik, karena perhatian orang makin lama makin baik. Menilik
harga keramik import yang begitu tinggi, tak dimungkiri lagi
suatu ketika nanti nasib tukang keramik kita tidak perlu lagi
seperti Frei alias Agustinus Kowaas. Asal saja memang ada usaha
untuk meningkatkan mutu. Tapi betulkah semua mereka bisa
terangkat?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini