Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Jamaica & adonan laut '82

Kebanyakan isi konvensi laut di jamaica adalah perumusan formal terhadap perilaku bangsa-bangsa atas laut. konvensi memberikan perhatian besar terhadap perluasan yurisdiksi nasional suatu negara pada laut.

18 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BARAT belanga, Konperensi Hukum Laut PBB III itu mengumpulkan baik bangsa yang di gunung, maupun yang ada di tepi laut. Pekan lalu di Jamaika, rembukan yang sudah berlangsung sejak 1973 itu sampai pada upacara penandatanganan sebuah Konvensi Hukum Laut yang baru - yang akan menggantikan kedudukan Konvensi-konvensi ukum Laut Jenewa 1958, buah konperensi PBB yang pertama dalam menata samudra. Penandatanganan oleh wakil-wakil negara peserta konperensi itu merupakan salah satu rentetan dari jajaran prosedur sehingga suatu kesepakatan internasional berlaku secara resmi. Akan ada proses ratifikasi, yakni pengundangan dari persetujuan tersebut pada badan-badan perwakilan masing-masing negara. Kemudian pengiriman dokumen ratifikasi itu pada Sekjen PBB, dan akhirnya, dalam hal konvensi yang baru ini, penantian masa 1 bulan setelah pendepositoan instrumen ratifikasi yang ke-60. Kandungan konvensi sendiri, tiada lain dari materi Rancangan Konvensi sebagaimana yang telah diterima pada sidang konperensi yang kesebelas April lalu di New York (TEMPO, 12 Juni, Kolom). Ia memang banyak berbeda dengan Jenewa--maklum Konperensi III ini justru dimaksudkan untuk menampung dan meramu hasrat baru umat manusia yang terus menggelora dan berselera terhadap samudra. Luapan hasrat itu, tak alang, telah menerbitkan beberapa klaim sepihak. Ada yang menyangkut zone perikanan, zone eksklusif lain, negara nusantara, laut patrimonial, serta laut teritorial yang lebarnya beraneka. Bagi pengamat, sebagian besar isi konvensi 1982 ini tiada lain dari perumusan formal perilaku bangsa-bangsa terhadap laut--baik yang pahamnya telah terkandung dalam Jenewa dan pra-Jenewa, maupun konsepsi yang tumbuh setelah kedua era tersebut. Kentara bahwa konvensi memberikan perhatian yang besar terhadap perluasan yurisdiksi nasional suatu negara pada porsi-porsi laut tertentu--tanpa meluaskan wdayah negara tersebut. Dengan kacamata lain konvensi tampak menurutkan angin yang dihembuskan oleh kelompok negara-negara berkembang, walaupun dari mereka ada yang menolak konvensi. Juga diperhatikan negara-negara yang wilayahnya tak pernah dibasahi oleh air asin. Konvensi, alias kesepakatan itu, adalah hukum bagi mereka yang menjadi pihak atau peserta. Perkembangan terakhir menunjukkan bertambahnya negara yang tidak akan menandatangani perjanjian ini - padahal dalam sidang ke-11 yang lalu, komposisi suara adalah 130: 17: 4, masing-masing untuk setuju, menolak dan abstain. Toh, dihitung-hitung, konvensi ini masih akan dapat memenuhi syarat formal bagi keberlakuannya. *** Boleh dibilang, konsepsi laut teritorial (territorial seas) adalah pengisi halaman pertama album hukum laut--setelah sebelumnya orang dengan santai memperlakukan laut hanya kebebasan. Terbisiklah hasrat bangsa-bangsa waktu itu: mengapa negara hanya bcdaulat di wilayah darat saja, ya berikanlah sedikit bagian lau sehingga kami menjadi amir-al-bahr alias penguasanya. Setlah melalui berbagai perdebatan, akhirnya sarjana Bartohls ambil pena: "perairan pantai yang membasahi suatu negala adalah bagian dari negara itu." Konvensi 1982, seperti halnya Jenewa dan pemikiran jauh sebelum masa itu, sepaham dengan pandangan tersebut. Hanya seperti telah diketahui konvensi sekarang telah berani menetapkan batas laut teritorial sampai dengan 12 milwalaupun penetapan ini tidak terasa lagi sebagai sesuatu yang spektakuler. Biarpun laut teritorial itu wilayah negara pantai, ia harus tetap terbuka bagi pelintasan pelayaran internasional. Seperti pada Jenewa, istilahnya sama: lintas damai (innocent passage). Hanya pada Jenewa, yang disebut damai ini tak jelas selain bahwa pelintasan tersebut tak boleh membahayakan "perdarnaian, ketertiban umum atau keamanan" negara pantai. Apa itu? SEKARANG konvensi menjabarkan gangguan terhadap tiga unsur tersebut sebagai perbuatan-perbuatan yang dilakukan kapal yang melintas yang berhubungan dengan: + ancaman atau penggunaan kekuatan yang diarahkan terhadap kedaulatan, integritas wilayah atau kemerdekaan politis negara pantai + penggunaan senjata dari jenis apa pun + peluncuran dan pendaratan pesawat di kapal + pelaksanaan riset dan survei dan + pencemaran serius. Negara pantai dengan alasan apa pun tak boleh menghalang-halangi pelintasan tersebut. Di lain pihak para kapal asing itu harus mematuhi segala ketentuan yang dikeluarkan negara pantai. Tak salah, bila orang mengatakan hukum tentang lintas damai ini sebagai kompromi antara kepentingan ncgara pantai dan pelayaran internasional. *** Konvensi tak melupakan selat "yang dipergunakan oleh pelayaran internasional" sebagaimana termaktub dalam Bagian III. Jadi memang bukan sembarang selat. Ambil misal Selat Malaka. Karena Malaysia dan Indonesia menyatakan lebar laut teritorial masing-masing 12 mil, praktis bagian terbesar dari jalur laut itu jatuh sebagai wilayah mereka. Padahal ketergantungan masyarakat bangsa-bangsa terhadapnya bukan kepalang. Dari tempo dulu, masa Hang Tua, dan era supertanker sekarang, ia selalu padat dan sekaligus telah jadi bonanza Singapura. Untuk selat semacam ini, pelintasan kapal asing (dan pesawat terbang) dijamin. Lintas transit (transit passage) gelarnya. Walau dengan tujuan yang sama, lintas transit terasa lebih longgar ketimbang lintas damai. Bukankah pelintasan itu dikatakan konvensi sebagai "pelaksanaan kebebasan pelayaran dan penerbangan" untuk kepentingan transit yang tidak terputus-putus dan cepat? Soalnya memang jenis selat padanya. *** Beruntung Indonesia, dan negara bergeografi sama, karena konsepsi negara nusantara (arc hipelagic State) terang-terangan ditampilkan berdasarkan praktek yang telah dilakukan negara itu--bahkan ditempatkan di lembaran yang agak di depan (Babian IV). Dari sekian pasal tentang itu, terbaca definisi archipelagic State dan archipelago sendiri diartikan sebagai "segugusan pulau (atau bagian pulau), perairan yang menghubungkan mereka dan bangunan alamiah lain, yang berhubungan erat satu sama lain, sehingga pulau-pulau itu beserta perairan dan bangunan alamiah tersebut membentuk suatu kesatuan geografis, ekonomis dan politis yang intrinsik, atau yang secara historis dapat diperhitungkan demikian." MASIH ada syarat-syarat lain, yang tampak mendetail dan juga ketil. Mungkin harus begitu. Sebab kesatuan perairan dan daratan ini adalah wilayah negara nusantara, dan pada tanah air itu terhunjam kedaulatannya. Misalnya soal perbandingan luas perairan dan daratan yang harus berkisar pada 1: 1 dan 9: 1. Rasio perairan dan daratan Indonesia, menurut ahli, adalah 1« : 1 - jadi bisa pas. Perairan dan daratan ini dipagari oleh garis-garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau pada bagian yang paling pinggir pula. Perairan di dalam garis-garis lurus ini disebut sebagai perairan nusantara (archipelagic waters). Ke arah luar selebar 12 mil adalah laut teritorial dari negara itu. Kalau ia hendak mengklaim zone-zone lain seperti diatur konvensi ini maka garis-garis pangkal tadi merupakan dasar beranjak (TEMPO, 6 Maret, Kolom). Pelayaran, dan penerbangan, dijamin di perairan nusantara tersebut--jadi ada hak lintas damai seperti tersebut di atas. Sementara itu, kalau mau, negara pantai dapat menetapkn alur lintas nusantara (archipelagic sealanes passage) dan sistem pemisahan lalulintas (traffic separation scheme)--yang berguna bukan saja bagi keamanan pelayaran, tapi bagi kemudahan pengontrolan oleh negara nusantara itu sendiri. Singkat kata, memang sepantasnya Menlu Mochtar puas dengan klausa-klausa tentang rumusan yang antara lain menyangkut tentang negara yang diwakilinya. *** Manusia tanpa ikan, tentu bagaikan tanaman tanpa air. Dan ikan itu liar adanya. Tiada kenal batas wilayah. Maka kalau nelayan sudah siap dengan pukat di areal 12 mil negaranya, dan tiba-tiba ikan itu lari, apa daya? Menurut Konvensi Jenewa, negara pantai terdekat memang diprioritaskan untuk menggarap sumber daya alam (SDA) ini. Konvensi 1982 ingin memasukkan unsur-unsur lain: pokoknya pengusahaan ekonomis segala macam SDA di kolom air, dasar laut dan tanah di bawahnya--serta mengeksklusifkannya bagi negara pantai pada jarak 200 mil dari pantai. Untuk memanfaatkan anugerah tersebut negara pantai mempunyai hak untuk mendirikan instalasi dan bangunan lain di zone tersebut, asalkan perbuatan itu tidak bertabrakan dengan kepentingan pelayaran, dan hak-hak negara lain untuk melaksanakan asas kebebasan di laut lepas. Jadi kentara, ZEE hanya merupakan pertambahan areal potensi SDA bagi negara pantai, sama sekali bukan perluasan wilayah Tapi mengelola SDA pada areal yang amat luas ini agaknya tidak semudah yang dihitung-hitung secara yuridis saja. Banyak langkah yang harus dibuat oleh negara pantai: menginventarisasi SDA, menentukan kuota penangkapan ikan, mengukur kemampuan tangkap, mengatur akses bagi pihak lain atas surplus ikan, dan, yang penting, mensejajarkan kesempatan mengusahakan sumber dan mengkonservasikannya. Ketidakpuasan atas pengaturan landas kontinen (continental shelf) merupakan salah satu pendorong diterbitkannya konvensi yang sekarang. Seperti tersebut pada Jenewa, negara pantai berhak mengusahakan SDA yang terdapat di dasar dan tanah bawah laut sampai dengan kedalaman 200 meter. Apa arti ukuran kedalaman itu bagi AS, Belgia, Jepang, bahkan Uni Soviet sekali. Nun di pedalaman ribuan mil pun mereka dapat bergiat. Tapi sebetulnya hukum cukup cendekia waktu itu. Dalam Konvensi Jenewa terbaca batasan alternatif: hak negara pantai itu dapat diteruskan pada kedalaman lebih dari 200 meter, asalkan masih mungkin tereksploitasinya SDA. Tapi ini dirasa tidak memberi kepastian bisa anarki nanti, yang kuat tambah kuat, tanpa yang lemah ikut terangkat. Sekarang yang namanya landas kontinen, oleh konvensi disebutkan sebagai kepanjangan alamiah dari wilayah darat sampai ke pinggir terluar dari tepian kontinen (the outer edge of the continental margin). Tapi ini pun bisa tak adil. Beberapa negara Amerika Latin bisa menggerutu. Konvensi punya resep lain, sebagaimana tercantum dalam Bagian VI: dalam hal pinggir terluar dari tepian kontinen itu kurang dari 200 mil, si negara pantai dapat meneruskan klaimnya sampai ke ukuran tersebut. Masih ada pembatasan lagi: klaim terhadap landas kontinen ini tidak boleh lebih dari jarak 350 mil dari pantai. Apa yang boleh dilakukan di landas kontinen ini, telah diketahui. Namun perhatian: kalau Tuan berhasil mengeruk SDA di luar batas 200 mil, sumbangkan sekian persen bagi masyarakat internasional. International Seabed Authority akan menyalurkannya kemudian dengan memperhatikan kepentingan negeri-negeri berkembang. *** Sekarang tinggal porsi samudra di luar peta kapling-kapling di atas. Mau diapakan, dan oleh siapa serta bagaimana? Ini perkara hangat dan tambah besar karena Bagian XI Konvensi inilah yang ditolak AS, setidaknya oleh pemerintahan Reagan sekarang. Dan karena itu ia tidak bersedia menandatangani konvensi. KALAU sedikit diulang cerita maka duduk perkaranya sederhana: satu pihak menganggap karena daerah tersebut berada di luar yurisdiksi nasional, maka siapa yang duluan, dan bisa menggaruk SDA di situ, dia yang mendapat. Kelompok lain tak sepaham: daerah tersebut dan SDA-nya adalah warisan bersama umat manusia, karena itu hanls ada aturan main pengelolaannya. Isu itu timbul berkat adanya pengetahuan akan kekayaan alam yang berlimpah. Dan irli pun, tentu, berkat ketekunan penelitian dan upaya yang dilakukan lama oleh sekelompok negara maju. Dan konvensi tampak menganut paham yang kedua. Ditetapkannya daerah itu, yang disebut Area, sebagai wadsan bersama umat manusia. Dibentuk International Seabed Authority yang mewakili umat ini. Ini diikuti dengan serentetan prinsip-prinsip pengusahaan, antaranya demi mencapai pola perekonomian dunia yang sehat dan pola perdagangan yang seimbang. Ketentuan-ketentuan pengusahaan SDA di Area bertubi-tubi tercantum dalam Bagian XI, dan beberapa Annex. Misalnya tentang: proses perizinan, pembatasan produksi, alih teknologi, kedudukan ISA dan organ-organnya, dan seterusnya. Inti pengaturan konvensi adalah pada perlunya kendala teriladap pengurasan kekayaan yang bersifat liberal demi kepentingan umat manusia, dan tersertakannya ISA melalui badan usahanya yang bernama Enterprise dalam proses penambangan serta sekaligus bermaksud memindahkan teknologi dari bangsa yang maju ke bangsa yang sedang berkembang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus