Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rekomendasi Tim Delapan itu mestinya tidak menimbulkan banyak tafsir. Sebagai jawaban atas permintaan Presiden untuk memverifikasi tudingan suap dan penyalahgunaan wewenang terhadap dua pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi, Tim menyarankan Presiden mereposisi kepolisian dan kejaksaan. Tim Delapan yakin, kedua lembaga itu bertanggung jawab terhadap kriminalisasi kedua tersangka, Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto. Yang disampaikan Tim Delapan terang-benderang: copot polisi dan jaksa yang terlibat.
Sejak awal aroma kriminalisasi itu tercium tajam. Tanpa bukti yang cukup, polisi dan jaksa ngotot membawa kasus Chandra-Bibit ke meja hijau. Skenario itu makin jelas ketika Mahkamah Konstitusi memutar rekaman percakapan Anggodo Widjojo, adik pengusaha Anggoro Widjojo, dengan sejumlah aparat penegak hukum. Anggoro, yang kini buron, adalah tersangka korupsi pengadaan radio komunikasi di Departemen Kehutanan.
Lebih dari sepekan setelah rekomendasi itu disampaikan, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji memang diberhentikan. Tapi tak ada tanda-tanda ia diusut. Padahal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana jelas mengatur hukuman untuk polisi yang menangkap orang tanpa bukti.
Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga salah satu orang yang disebut dalam rekaman percakapan Anggodo—juga baru nonaktif sementara. Tak ada gelagat ia akan sepenuhnya diberhentikan, apalagi diselidiki ”kenakalannya”.
Ini baru pejabat di lapis kedua. Padahal, kalau mau konsisten, Presiden mestinya juga memberhentikan Jaksa Agung Hendarman Supandji dan Kepala Polri Bambang Hendarso Danuri, dua pemimpin yang bertanggung jawab atas kelakuan jaksa dan polisi.
Sikap tegas itulah yang tak tampak dalam pidato Presiden mengomentari rekomendasi Tim Delapan. Presiden Yudhoyono, misalnya, tak menyinggung perlunya mencopot pejabat yang bersalah. Terhadap pemberhentian pengusutan Chandra dan Bibit, ia hanya menyatakan memilih opsi yang lebih baik, yakni penyelesaian di luar pengadilan.
Dalam pidato itu, muncul kesan Presiden menganggap kriminalisasi ini sebagai konflik antarlembaga semata. Karena itu, tak aneh jika Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar diketahui mencari win-win solution: meminta Chandra dan Bibit mundur sebagai syarat kasus mereka dihentikan. Jika itu aksi pribadi, Menteri Patrialis harus ditegur atas kelancangannya. Kalau tak ada tindakan, bisa-bisa orang percaya bahwa Patrialis menjalankan instruksi Presiden untuk mencopot dua komisioner KPK itu.
Chandra dan Bibit jelas harus kembali ke komisi antikorupsi. Kejaksaan dan kepolisian mesti dipastikan mengeluarkan surat penghentian perkara. Setelah surat itu keluar, Presiden selayaknya segera menerbitkan surat keputusan yang memastikan keduanya bisa kembali bertugas.
Kasus Chandra-Bibit adalah momentum besar bagi Presiden untuk membenahi aparat hukum kita. Inisiatif Presiden membentuk kelompok kerja pembenahan hukum layak diapresiasi. Prakarsanya membuka kotak pos untuk menampung pengaduan tentang mafia pengadilan, walau banyak yang ragu akan efektivitasnya, bolehlah disambut baik.
Pembentukan kelompok kerja dan kotak pos tak akan banyak berarti apabila Presiden melupakan pembenahan kepolisian dan kejaksaan. Itu syarat mutlak berlanjutnya pemberantasan korupsi—selain dukungan Presiden kepada komisi antikorupsi. Presiden Yudhoyono harus membuktikan janjinya—at all cost, at all risk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo