Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJARAH ditulis dalam berbagai versi dan saat itu kita tahu perang ingatan sedang terjadi. Pekan lalu bekas Komandan Komando Pasukan Sandi Yudha Letnan Jenderal (Purn) Sintong Panjaitan meluncurkan biografinya, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando.
Sebagai pelaku, Sintong sah saja mempunyai tafsir sendiri tentang beberapa episode sejarah militer yang pernah dialaminya. Tapi pasti bukan tanpa alasan jika Sintong menyentil peran dua koleganya yang kini jadi pusat perhatian: Jenderal (Purn) Wiranto dan Letnan Jenderal (Purn) Prabowo Subianto.
Di panggung, ketika meluncurkan buku itu, Sintong menyebut-nyebut soal pelurusan sejarah. Tentu iktikad ini tidak lepas dari kenyataan di pentas politik masa kini bahwa Wiranto dan Prabowo mencalonkan diri sebagai presiden. Partai Hanura dan Gerindra yang mereka pimpin siap bertanding dalam pemilu legislatif. Dua peristiwa politik itu sangat menentukan hitam-putih masa depan Indonesia.
Sejarah versi Sintong belum tentu yang paling benar. Tapi ia menulis tanpa beban, mewakili sikap tentara sejati, yang dalam banyak hal apa boleh buat berlawanan dengan demokrasi. Cerita tentang Wiranto dalam prahara Mei 1998 merupakan satu contohnya.
Ketika itu, saat mengundurkan diri sebagai presiden akibat tekanan massa dan krisis multidimensi, Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 16 Tahun 1998. Intinya memberikan wewenang kepada Menteri Pertahanan merangkap Panglima TNI Wiranto untuk mengamankan keadaan.
Suhu politik kala itu sedang panas-panasnya. Tapi Wiranto tak mengambil tindakan berarti. Dalam bukunya, Bersaksi di Tengah Badai, Wiranto beralasan tak mau muncul kesan militer mengambil alih kekuasaan. Sintong justru mengkritik sikap itu. Ia menyesali Wiranto yang menggunakan Instruksi Presiden itu sebagai alat untuk bernegosiasi dengan Habibie, pengganti Soeharto. Sejarah mencatat negosiasi itu tak sia-sia: Habibie memuji Wiranto sebagai ”perwira yang jujur, bermoral, beretika” dan kembali mempercayakan jabatan Menteri Pertahanan/Panglima TNI kepadanya.
Sintong terkesan memberikan ”cetak tebal” ketika berkisah tentang Prabowo Subianto. Terutama pada saat terjadi mobilisasi pasukan Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) tak lama setelah Habibie naik takhta. Menurut Wiranto kepada Presiden, Panglima Kostrad Prabowo sedang menyiapkan kudeta. Dengan menguasai 11.000 pasukan yang sebagian besar berkedudukan di Jakarta, Prabowo menggenggam kekuatan luar biasa.
Habibie lalu memecat Prabowo. Mantan menantu Soeharto itu berang. Dikisahkan bagaimana ketika itu Prabowo datang dengan 12 pengawal dan menumpang tiga Land Rover. Sintong, yang saat itu adalah penasihat pertahanan Habibie, tak bisa mencegah Prabowo menemui Presiden. Tapi ia berhasil melucuti senjata Prabowo sebelum masuk Istana.
Sintong juga mengkritik aksi penculikan aktivis 1998 yang dilakukan Prabowo. Apalagi Prabowo tak melaporkan penculikan itu kepada atasannya, Kepala Staf Angkatan Darat atau Panglima TNI. Dalam persidangan Tim Mawar—nama pasukan penculik aktivis itu—menurut Sintong, muncul anggapan bahwa sidang hanyalah rekayasa untuk mengaburkan peran ”dalang” yang sebenarnya.
Sintong agaknya memberikan ”perhatian” lebih pada Prabowo. Ia menyorot rencana Prabowo pada 1983 untuk menculik para petinggi TNI seperti L.B. Moerdani, Sudharmono, Ginandjar Kartasasmita, dan Moerdiono. Mereka dituding Prabowo akan melakukan kup terhadap Soeharto. Saat itu Prabowo adalah Wakil Komandan Detasemen 81/Antiteror berpangkat kapten.
Penuh percaya diri—bagaikan The Young Turk, perwira muda dalam revolusi Ottoman Turki, 1908—Prabowo dikutip dalam buku itu berkata kepada atasannya Mayor Luhut Pandjaitan. Katanya, ”Nasib negara ini ditentukan oleh seorang kapten dan mayor.” Sang kapten adalah Prabowo, sang mayor itu Luhut Pandjaitan. Sintong menyebut Prabowo bagaikan Letnan Kolonel Untung yang menculik para jenderal Angkatan Darat karena mencurigai Dewan Jenderal tengah bersiap menggulingkan Soekarno.
Sebagaimana biografi lainnya, buku Sintong itu juga tak luput dari kesan membenarkan pandangan sendiri. Maka, pastilah di dalamnya ada bias di sana-sini. Mungkin juga kepentingan. Sejarah sebagai hasil rekonstruksi kejadian masa lalu boleh jadi telah berbaur dengan koleksi daya ”ingat” pribadi.
Tak perlu ada yang gusar menghadapi terbitnya buku ini, walaupun buku Sintong mengangkat sejarah internal Angkatan Darat menjadi urusan publik—mengutip Marzuki Darusman, yang membedah buku itu. Orang ramai bebas menafsirkan kebenarannya. Seperti juga orang bebas menerima citra yang ditawarkan seorang Wiranto lewat iklan televisi: lelaki bersahaja yang menyantap nasi aking, peduli pada wong cilik. Atau seorang Prabowo dalam pariwara di layar kaca: bapak petani, nelayan, pemimpin humanis, pembela anak-anak dan yang tertindas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo