SEORANG teman melucu, dalam bahasa Inggris: The real heroes in Indonesia today are the Hero supermarkets. Dan orang-orang yang terlalu serius tak mau ketawa. Seperti umumnya humor, lelucon itu melebih-lebihkan. Dan seperti umumnya humor. ia mengandung sedikit kekurangajaran. Tapi benarkah ia mencemooh kita, orang Indonesia di tahun 1991, yang mengenal kata "hero" sebagai yang hampir identik dengan sederet supemarket? Kita tahu, zaman berubah. Juga pilihan kita tentang jenis cultural hero. Seandainya menjelang Lebaran ini Anda datang ke pelbagai kaki lima yang riuh, lalu Anda bertanya, siapa gerangan yang bisa dianggap jagoan: orang yang besok menyediakan cukup gula dan kain murah, atau orang yang besok menyatakan perang terhadap neo-kolonialisme -- rasanya jawabannya bakal jelas. Hari ini, orang bisnis telah jadi seorang protagonis. Kita baca saja majalah seperti Eksekutif dan Swa. Di sana nama Tanri Abeng, Peter Gontha, Abu Rizal Bakrie, Soegeng Sarjadi, Liem Sioe Liong, Ciputra, Eka Tjipta Widjaja, dan lain-lain tampil dalam tata warna yang kemilau. Profil mereka ditampilkan. Umur, hobi, interior ruangan kantor, anak istri, bahkan cara bicara dan pilihan dasi, dikisahkan dengan cermat. Kita tak lagi cuma terkesima kepada Sarengat, Rudy Hartono, Rendra, Arief Budiman. Kita sekarang melihat bahwa setelah bertahun-tahun orang bisnis sembunyi dari mata publik, ia jadi selebriti -- dengan segala daya pikat dan kemampuannya menimbulkan iri. Perlahan-lahan, kita masuk ke dalam sejumlah penilaian yang dulu tak ada. Berabad-abad yang silam, lingkungan sosial dan ekonomi kita melahirkan suatu budaya yang menaruh "pedagang" dalam kasta yang tidak luhur. Dan beratus tahun lamanya pula kita -- apalagi di Jawa Tengah, di mana para priayi mendengar petuah Wulangreh dari mulut ke mulut -- cenderung mencurigai "orang yang berhati saudagar". Di abad ke-20, ironisnya, sikap priayi terhadap "saudagar" itu bertaut dengan ideologi baru yang sebenarnya berangkat dari kaum antipriayi. Di abad ke-20, "saudagar" jadi unsur yang hampir sama nistanya dengan setan kapitalisme itu sendiri. Apalagi kebanyakan mereka toh "keturunan asing", sementara kekayaan mereka menyakitkan hati -- karena tak kunjung teraih oleh sebagian besar masyarakat kita. Dan dari sanalah sosialisme memikat. Dari sana pula birokrasi menerakan stempelnya, sejak berdirinya Republik, ke hampir semua perilaku ekonomi -- meskipun etatisme yang murni sebenarnya tak pernah terjadi di Indonesia. Dari sana pula sering terdengar petuah yang serius tapi percuma, "Para pedagang mbok ya jangan cuma cari untung ...." Di hari-hari itu, orang bisnis belum lagi jadi sang protagonis, apalagi cultural hero. Ia cuma jadi sosok yang bikin waswas. Kini semua itu seperti telah jadi sebuah masa lalu yang agak lekas terpendam. Glamor yang kini melekat pada kalangan bisnis ini agaknya memang tak terelakkan. Orang dengan bersemangat bicara tentang "pertumbuhan ekonomi", "privatisasi", " debirokratisasi". Angin datang semerbak dari ekonomi ala Reagan dan Thatcher. Badai menggebuk pelbagai sistem sosialis. Dan orang mengelu-elukan datangnya businessmen, sang jawara. Sebagian bahkan berharap bahwa dari mereka nanti, insya Allah, akan lahir para penyangga demokratisasi. "Kelas menengah" dengan cepat jadi tumpuan harapan perubahan -- bukan petani miskin, bukan proletariat, bukan birokrat, bukan militer. Dan jika ditanya kenapa, kita pun kembali mendengar argumen klasik yang diuraikan Albert O. Hisrchman dalam The Passions and the Interests: argumen di Barat di abad ke-17, yang menyambut kapitalisme menjelang kemenangannya. Dalam argumen ini -- dan Montesquieu adalah salah satu pendukungnya -- dikemukakan bahwa semangat dagang akan membawa douceur, "kelemahlembutan". Semangat dagang akan mendorong perdamaian, ketertiban, dan keteraturan. Dan ketika pertumbuhan ekonomi nampak, para penguasa politik pun, untuk kepentingan mereka sendiri, akhirnya akan enggan berbuat sewenang-wenang, mengguncang ini dan itu. Mereka takut bila kesejahteraan yang terjadi dari perdagangan itu akan terkacau. Montesquieu memang benar -- sampai taraf tertentu. Bisnis, yang banyak dilakukan dengan negosiasi, kepercayaan, dan perjanjian, memang memerlukan suatu atmosfer kepastian. Itu juga kepastian hukum tentang hak milik, tentang utang-piutang dan lain-lain perjanjian. Namun, kepastian itu saja belum tentu mendorong demokratisasi, bila tak disertai dengan lembaga-lembaga hukum yang bersih, terbuka, dan adil: di mana setiap orang -- petani kecil yang tanahnya terancam digusur, buruh miskin yang hak-haknya dilanggar -- berdiri sama sederajat dengan sang jawara, "sang saudagar", dan tak terus-menerus dikibuli. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini