PROTES ke DPRD tak berhasil. Mengadu ke Balai Kota pun gagal. Bahkan mengaku pernah mencoba mendatangi Kadin, tapi hasilnya setali tiga uang. Terakhir masih dicoba juga mendatangi PWI, pekan lalu. Namun, putusan nasib ibu-ibu bakul Pasar Beringharjo itu, tampaknya, belum akan berubah: mereka tetap harus pindah ke lantai 2. "Kami sudah putus asa, tak tahu ke mana lagi kami harus mengadu. Menangis pun kami sudah tak bisa, air mata kami sudah habis," kata Ny. Endang, salah seorang di antara mereka penuh iba. Pasar itu, yang berdiri persis pada tanggal 7 Oktober 1756, ketika Kerajaan Ngayogyokarto diperintah Hamengku Buwono I, memang sudah merupakan pusat kegiatan ekonomi keraton. Sudah jadi tradisi, setiap pergantian raja selalu diikuti dengan renovasi terhadap bangunan pasar. Maka, kini di zaman pemerintahan Orde Baru, Pasar Beringharjo tampaknya juga tak terelakkan dari upaya-upaya untuk diremajakan. Yang masih tetap dipertahankan sampai sekarang hanya bangunan depan pasar, yang menghadap ke poros jalan utama di Kota Gudeg itu: Jalan Jenderal A. Yani, yang menghubungkan keraton ke arah Gunung Merapi. Hanya saja bangunan di bagian belakang yang terlihat bobrok itu mau tak mau harus terjamah renovasi sejak tahun 1990 silam. Kini, tahap I renovasi bangunan pasar itu hampir rampung, dan akan segera dilanjutkan tahap II. Secara keseluruhan, pembangunannya menelan Rp 10,5 milyar. Selesainya renovasi tahap pertama ini justru menimbulkan persoalan. Terutama, para bakul hasil bumi -- meliputi segala jenis bawang, cabai, kentang, sayuran, dan sejenisnya -- emoh ditempatkan di lantai 2 pasar yang baru. Soalnya, "Untuk dagangan jenis hasil bumi kalau setiap hari angkat barang naik turun tangga ya repot," ujar Ny. Mulyo Rahardjo. Lebih dari itu, sebetulnya, para pedagang hasil bumi ini menuntut janji Panitia Khusus (Pansus) Pembangunan dan Renovasi Pasar Beringharjo. Begitu pasar akan dibangun, 30 Januari 1990, para pedagang hasil bumi ini dikumpulkan di gedung Persaudaraan Jemaah Haji Indonesia Yogyakarta. Waktu itu, menurut Ny. Endang, 38 tahun, Pansus menyatakan, untuk sementara para pedagang hasil bumi ditempatkan di los penampungan. Pansus waktu itu berjanji, bila renovasi selesai, paling lama delapan bulan, para pedagang boleh kembali ke lokasi lama. Artinya, tetap di lantai dasar. Namun, ternyata, lantai dasar ditempati para pedagang nonhasil bumi (kelontong, konveksi, sepatu sandal, empon-empon, warung makan dan minum), para pedagang hasil bumi masih tetap jadi penghuni los penampungan. Mereka memang akan ditempatkan di lantai 2, tapi mereka menolak. Barangkali itu sebabnya, Senin Wage, minggu ketiga Januari lalu, tak kurang 75 orang mendatangi pasarean (makam) Sultan HB IX, di kompleks pemakaman raja-raja di Imogiri, Yogjakarta. "Sowan pada yang semare (wafat) di Imogiri punya arti sendiri," tutur Ny. Muhadji, seorang pedagang juga. Apalagi yang disowani itu makam Sultan HB IX. Ceritanya, Sultan HB IX, sebelum wafat, pernah meninjau lokasi Pasar Beringharjo yang akan direnovasi. Ketika itu, menurut Ny. Muhadi, Sultan mengatakan, renovasi pasar ini jangan sampai menelantarkan wong cilik. "Pengandikan (ucapan) Sri Sultan ini tetap diingat oleh ibu-ibu di sini. Nah, pada saat kami menemui kesulitan, kami pun ingat pada beliau," kata Ny. Muhadji. Tapi seorang ibu penjual sayur di Pasar Beringharjo mengatakan, tujuan mereka ke makam Sultan HB IX itu untuk minta petunjuk agar bisa menempati lantai dasar. "Ditempatkan di mana saja, kami mau asal tetap di lantai dasar," ujar Ny. Sugijanti, 50 tahun, pedagang bawang merah. "Kami sebenarnya tidak mau neko-neko, kami ini orang kecil, bodoh, asal janji dipenuhi itu menurut kami sudah adil," ujar Ny. Muhadji. Menurut Karkono Kamajaya, ahli kebudayaan Jawa, kedatangan ibu-ibu ke makam Imogiri itu adalah hal biasa bagi orang Jawa. "Pada zaman dulu, pergi ke tempat yang dianggap keramat atau ke tempat para leluhur punya tujuan untuk mohon berkah," ujar Karkono. Memang, menurut Karkono, orang Jawa sulit menghilangkan tradisi kuno ini. Apakah upaya ini bisa melunakkan para pengambil kebijaksanaan, khususnya Pansus? Tampaknya, Pansus yang dibentuk oleh DPRD Kota Madia, tetap bergeming. Menurut Ketua Pansus G.B.P.H. Joyokusumo, adik Sultan Hamengku Buwono X, penataan pedagang Pasar Beringharjo dikelompokkan berdasarkan jenis dagangan. Sebelumnya, berbagai jenis pedagang menyebar dan berbaur dalam beberapa jenis. Akibatnya, "Terjadi persaingan tidak sehat. Yang laku-laku terus, dan yang tidak tetap tidak laku," ujar Joyokusumo. Berdasarkan pengalaman itu, akhirnya Pansus memutuskan, menempatkan semua pedagang hasil bumi, dalam satu lantai. Mengingat jumlah pedagang jenis ini mencapai 2.000 orang, mereka hanya bisa ditempatkan di lantai 2. Untuk memudahkan mobilitas orang maupun barang, untuk lantai 2 akan diberi fasilitas tambahan. Menurut Joyokusumo, jumlah pedagang yang menuntut itu hanya 5% dari 4.200 pedagang yang ada di Pasar Beringharjo. Mereka itu jumlahnya 200 orang, termasuk pedagang hasil bumi partai besar. Sedangkan, pedagang hasil bumi partai kecil yang jumlahnya mayoritas, tidak ikut protes. Joyokusumo berharap, persoalan pedagang Pasar Beringharjo ini bisa beres di penghujung tahun 1991, bersamaan selesainya peremajaan bangunan pasar. Tugas Pansus memang memberi masukan pada eksekutif, dalam hal ini Pemda Kotamadya Yogyakarta, tapi tampaknya apa yang dihasilkan Pansus ini merupakan hasil final. "Itu kan sudah ditata, mau apa lagi?" ujar Wali Kota Madia Yogyakarta, Djatmikanto Darnomartono, pada TEMPO. Syahril Chili, R. Fadjri, dan Sri Wahyuni
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini