KELUH-kesah rakyat yang "merasa" dikibuli buaya-buaya tanah seperti tak pernah tamat. Akhir Maret lalu, misalnya, enam warga Desa Paranggupito mengadu ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, juga karena perkara tanah. Paranggupito berada di wilayah Kecamatan Giritontro, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Terletak persis di tepi pantai Laut Selatan. Permukaannya berbukit-bukit kecil. Deburan suara ombak terdengar ritmis. Biru air laut membentang sejauh mata memandang. Itulah panorama yang mengandung potensi bisnis. Amat pas untuk dijadikan lokasi wisata. Dan PT Batik Keris menciumnya. Perusahaan yang lebih dikenal sebagai raja kain batik itu -- dan sudah mengembangkan usahanya dengan membuat Solo Mini (real estate), membikin bioskop Atrium 21, dengan delapan layar, juga membeli benteng tentara Vastenburg yang rencananya akan disulap menjadi hotel dan pertokoan -- kini ingin memoles Paranggupito menjadi tempat rekreasi dan taman wisata. "Akan menjadi tempat wisata yang indah melebihi Bali," ujar Handoko Tjokrosaputro, Dirut Batik Keris. Maka, awal 1989, Batik Keris mencari orang-orang setempat yang mau dijadikan "konsultan" alias penghubung -- lazimnya disebut calo tanah. Mengaku telah memperoleh restu dan izin dari Gubernur Jawa Tengah, Batik Keris melangkah mantap dan berhasil membeli tanah seluas 500 hektare milik 115 keluarga, dengan biaya seluruhnya Rp 1 milyar. Sejak September 1989, satu demi satu, penduduk menandatangani -- umumnya dengan cap jempol -- perjanjian jual beli. "Pembayarannya dilakukan di kantor kelurahan, atau kadang-kadang di rumah saya," kata Kepala Desa Paranggupito, Sumartoyo. Perlu dicatat, jual beli tanah versi Paranggupito -- juga di banyak desa lain di Jawa -- tidak dihitung per meter persegi, melainkan per lokasi. Misalnya, yang terjadi pada Parmin. Warga Paranggupito ini memperoleh Rp 2,5 juta sebagai ganti 2 hektare tanahnya. Jadi, kalau memakai ukuran umum, harga tanahnya cuma Rp 125/m2. Mula-mula memang tidak timbul persoalan. Bahkan, ada penduduk yang merasa ketiban bulan. Contohnya Suno. Tanahnya yang dua hektare dibayar Rp 6 juta. "Lalu, saya beli tegalan lain tak jauh dari sini. Satu hektare cuma Rp 1,75 juta," katanya sambil tersenyum lebar. Tiba-tiba -- masih akhir 1989 -- muncul keresahan. Bermula ketika mereka mengetahui bahwa pihak pembeli itu badan swasta. Dan ketika berhitung kembali, mereka menjadi gemas. "Tanah kami cuma dihargai Rp 100 - Rp 200/2," kata Parmin sambil meninju pahanya sendiri. Dua tahun telah berlalu. Duit sudah diterima, bahkan ada yang telah ludas. Mereka cuma bisa mengelus dada. Akhirnya, agar tak terlalu tenggelam dalam penyesalan, Parmin dan lima kawannya akhir Maret lalu -- atas nama warga -- mengadu ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Mereka menuntut supaya Batik Keris meninjau kembali harga tanah itu. Tindakan itu membuat Kepala Desa Sumartoyo sungguh-sungguh terpana. Dia membantah bahwa dalam jual beli itu terjadi pemaksaan atau ancaman terhadap warga. "Dulu mereka dikumpulkan di Balai Desa, diajak musyawarah. Dan banyak yang berharap supaya proyeknya segera dibangun, agar bisa memperoleh pekerjaan," kata Sumartoyo. Ada dugaan, keresahan itu dikipas oleh pihak ketiga yang sengaja memancing di air keruh. Menurut sebuah sumber di kantor Kecamatan Giritontro, oknum-oknum itu adalah pendukung calon kades yang dikalahkan Sumartoyo dalam pemilihan kepala desa beberapa waktu sebelumnya. Tapi, bagi Batik Keris yang penting adalah kelanjutan proyek itu. "Saya tidak ingin nasib proyek ini seperti Kedungombo," ujar Kunto Hardjono, seorang staf dari Batik Keris. Caranya? "Jika warga merasa ganti rugi itu kecil, silakan membuat permohonan untuk mengembalikannya kepada kami," gertak Kunto. Priyono B. Sumbogo dan Kastoyo Ramelan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini