MEREKA yang takut pada bunga bank, sebentar lagi, insya Allah, tak perlu lagi menyimpan uangnya cuma di bawah kasur. Di Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia, Kemang, Jakarta Selatan, Menteri Muda Keuangan Drs. Nasruddin Sumintapura Jumat pagi pekan lalu, membuka pelatihan bagi tiga puluh karyawan yang bakal mengelola Bank Muamalat Islam Indonesia. Peristiwa dirintisnya bank Islam di Indonesia ini dihadiri sejumlah orang penting. Ada Menteri Munawir Sjadzali, Menteri Arifin Siregar, para duta besar negara sahabat, para bankir, dan pengusaha terkemuka. "Melihat yang hadir, saya merasa optimistis," kata Menteri Agama. Maksudnya, bank Islam pertama gagasan Majelis Ulama Indonesia ini bakal berjalan seperti direncanakan. Selama ini, belum bisa disepakati soal halal dan haramnya bunga bank. Berbagai pertemuan dan diskusi diadakan, tapi dua pendapat yang bertentangan tak juga bisa didamaikan. Tetap bertahan dua pendapat dengan alasan masing-masing. Yang satu menghalalkan, yang lain mengharamkan bunga bank. Terakhir, Agustus 1990 lalu, Majelis Ulama Indonesia menghadirkan sekitar 170 peserta dari ulama, bankir, dan cendekiawan untuk membahas bunga itu. Toh pertemuan di Safari Garden Hotel, Bogor, itu pun tak berhasil menelurkan gagasan baru. Melihat keadaan inilah, kata Ketua MUI H. Hasan Basri, disepakati perlunya bentuk lembaga keuangan tanpa bunga bagai alternatif. Dan kesepakatan itu kemudian dimantapkan dalam Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia di Hotel Sahid Jaya, seminggu setelah lokakarya tersebut. Sejumlah pejabat dihubungi, mulai dari Bank Indonesia, Departemen Keuangan, Departemen Perdagangan, dan terakhir Departemen Kehakiman. "Dari situlah kami peroleh informasi bahwa ide ini tidak bertentangan dengan Undang-Undang Perbankan. Inilah yang membesarkan hati kami," kata Hasan Basri. Benar, dalam undang-undang perbankan dikatakan, bank harus memberikan tingkat bunga. Tapi karena dimungkinkan adanya bunga dengan tingkat 0%, peluang ini bisa dimanfaatkan, kata Amin Aziz, Sekretaris Umum Yayasan Dana Dakwah Pembangunan. Maka, didirikanlah Yayasan Dana Dakwah Pembangunan oleh Hasan Basri dan Menteri Agama Munawir Sjadzali sebagai penopang berdirinya bank yang dinamakan Bank Muamalat Islam Indonesia ini. Nama bank ini, kata Amin Aziz, yang ditunjuk menjadi Kepala Pelatihan Bank Muamalat Islam Indonesia, lahir atas saran Menteri Kehakiman Ismael Saleh. Menteri mengusulkan di antara bank dan Islam seyogianya ada kata lain yang bisa lebih mencerminkan sifat lembaga keuangan ini. Pilihan nama waktu itu, antara lain, Bank Syariat Islam. Tapi kata "syariat," bagi sebagian orang mengingatkan pada Piagam Jakarta. Maka untuk amannya, dipilihlah nama muamalat -- istilah dalam fikih yang artinya hukum yang mengatur hubungan antarmanusia. Diharapkan oleh Nasruddin, "bank umum yang beroperasi berdasarkan kaidah-kaidah Islam di Indonesia" ini dapat mendorong kegiatan investasi secara lebih produktif dan riil, mengingat mayoritas rakyat Indonesia adalah muslim. Di samping itu, diharapkan bank itu nantinya dapat membantu kalangan ekonomi lemah terutama yang kurang memiliki agunan, yang karena itu sulit memperoleh pinjaman dari bank umum. "Dalam penyaluran dananya, Bank Islam tidak mengenal bunga dan tidak terlalu mengutamakan agunan," kata Nasruddin pula. Untuk memenuhi harapan kreditor yang tak memiliki agunan tersebut, Bank Muamalat Islam Indonesia merencanakan menyediakan dana Rp 30 milyar, pada saat bank mulai beroperasi pada September 1991 mendatang. Dana itu, kata Dr. M. Amin Aziz, baru terkumpul Rp 10 milyar. Menurut Amin Aziz, banyak pengusaha terkenal seperti Fadel Muhammad, Sukamdani S. Gitosardjono, Setiawan Djodi, dan pengusaha muslim lainnya, siap membantu. Bahkan, kata Amin Aziz, "BAZIS akan menjadi klien kita." BAZIS, lembaga pengumpul zakat dan sedekah, diharapkan setelah ada surat keputusan bersama dua menteri (Agama dan Dalam Negeri), bulan lalu, bisa memberikan bantuan positif. Kecuali bunga bank, lembaga keuangan Islam ini juga menjaga agar tidak terjadi dominasi dalam kepemilikan. Salah satu caranya, dilakukan penjualan saham Rp 10 ribu per lembar. Lalu para pemegang saham itu, kata Amin Aziz, diminta menyerahkan hak suaranya, minimal 30%, kepada MUI. Dengan cara ini diharapkan Majelis Ulamalah yang bakal menentukan kebijakan. Sedangkan dalam bentuk saham, Majelis Ulama lndonesia mendapat hibahan 10%. Persoalannya sekarang, bagaimana bank ini bisa hidup bila tanpa bunga. Kata Amin Aziz, sebagaimana sistem bank Islam yang sudah berjalan di sebagian dunia Islam, diterapkan sistem bagi hasil. Masalah ini sebenarnya sudah dipraktekkan di sebagian dunia Islam, termasuk di Indonesia. Misalnya, pada 1984, di Bandung berdiri Baitut Tamwil, sebuah lembaga mirip bank Islam. Lembaga ini memberikan kredit tanpa bunga, pada berjenis usaha -- dari penyamakan kulit, apotek, sampai perdagangan kendaraan bermotor. Bila nasabah rugi, apa boleh buat lembaga ini pun ikut menanggungnya. Tak ada kata "sita" dalam kamus lembaga tersebut. Dengan niat seperti itulah, "Insya Allah, bank Islam ini bisa jadi rahmat di Indonesia," kata K.H. Hasan Basri. Julizar Kasiri dan Wahyu Muryadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini