Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JERIT tangis putrinya dari luar rumah membuat Lestaribukan nama sebenarnyaterbirit-birit. Di depan pintu rumahnya di Kecamatan Lubuk Kilangan, Kota Padang, empat hari sebelum peringatan Hari Kemerdekaan, perempuan 29 tahun itu menyaksikan seorang laki-laki menurunkan putrinya yang histeris dari sepeda motor. Pria itu lalu menggeber gasnya dan kabur begitu saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Umi! Umi! Tolong Abi! Abi ditangkap orang!" kata Lestari pada Jumat pekan lalu, menirukan teriakan anaknya yang terlihat ketakutan, kepada Tempo. Pagi itu, suami Lestari, Wawan Zuliardi, bermaksud membeli sambal di warung makan. Mengajak putri sulungnya yang berusia 3 tahun, Wawan mengendarai sepeda motor. Tapi, tak sampai 15 menit, sang putri kembali dengan tangis tanpa henti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari cerita putrinya, Lestari mengetahui bahwa sebuah mobil tiba-tiba memepet sepeda motor yang dikemudikan Wawan. Dia dan anaknya terjatuh. "Kata putri saya, kepala suami saya langsung ditutup dan ia dimasukkan ke dalam mobil," ujar Lestari. "Semua laki-laki yang menyergap suami saya membawa senapan laras panjang."
Lestari meminta kakak iparnya mencari keberadaan Wawan. Di kantor polisi ataupun di rumah sakit, keberadaan penjual garam keliling itu nihil. Merasa ketakutan, Lestari kemudian mengungsikan anak-anaknya ke rumah mertuanya.
Setelah zuhur, sejumlah polisi datang dan menggeledah rumah kontrakan Wawan. Polisi menyita dua senapan angin dan satu telepon seluler. Lestari mengatakan senapan angin itu milik kakak iparnya. "Suami saya suka menembak burung," ucapnya.
Menurut Lestari, meskipun bersikap sopan saat menggeledah dan meminta maaf karena rumahnya menjadi acak-acakan, polisi tidak menunjukkan surat tugas. Seorang di antaranya mengatakan bahwa suaminya ditangkap dan dibawa ke Jakarta karena diduga terkait dengan terorisme. Untuk sementara keluarga tidak bisa menemui Wawan. "Katanya nanti ada penyidik dan pengacara yang datang," ujar Lestari.
Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Sumatera Barat Komisaris Besar Syamsi mengatakan ada lima terduga teroris di wilayahnya yang dicokok hari itu. Polisi meyakini kelimanya anggota Jamaah Ansharud Daulah (JAD), organisasi yang terafiliasi dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada akhir Juli lalu menyatakan JAD sebagai organisasi terlarang dan membekukannya. Syamsi tak mau memberitahukan rencana aksi teror kelima orang yang digulung itu.
Hingga pekan lalu, penyidik dan pengacara yang dijanjikan polisi tak juga datang ke rumah Lestari. Dua pekan setelah Wawan ditangkap, datang surat dari polisi yang menyatakan dia akan ditahan hingga 19 Desember mendatang guna menjalani proses pengadilan. Lemaslah tubuh Lestari.
Sebulan sebelum Wawan dibekuk, atau sehari sebelum Lebaran, Detasemen Khusus 88 Antiteror menangkap Nur Hidayat di Kecamatan Talun, Blitar, Jawa Timur. Wahyunibukan nama sebenarnya, istri Hidayat yang menyaksikan kejadian tersebut--mengatakan suaminya yang berprofesi sebagai dokter umum ditangkap bersama temannya dan pemilik kontrakan sekitar pukul 20.30 di musala di seberang rumah sekaligus tempat praktik.
Menurut Wahyuni, polisi tidak menyerahkan surat penahanan kepadanya. Polisi pun tidak menunjukkan surat penggeledahan di rumahnya pada hari yang sama. Dalam penggeledahan itu, polisi menemukan sepucuk senjata api yang dibantah Wahyuni milik suaminya. Barulah sepekan kemudian, polisi mengirimkan surat yang menyatakan Hidayat sebagai anggota JAD. Lebih dari tiga bulan, Wahyuni tak menerima informasi soal keberadaan suaminya. "Kata polisi ditahan di Jakarta, tapi tidak jelas di mana. Saya tidak bisa menjenguk karena tidak ada biaya," ucapnya.
Baik Lestari maupun Wahyuni menyatakan suami mereka tak terlibat terorisme. "Suami saya tidak pernah ikut pengajian apa pun," kata Lestari. Sedangkan Wahyuni mengatakan suaminya pernah mengikuti pengajian pimpinan JAD Jawa Timur, Syamsul Arifin alias Abu Umarditangkap pada pertengahan Mei laludi musala depan rumahnya. "Tapi suami saya tidak pernah ikut jaringan perakit bom."
Pencidukan di Padang dan Blitar menjadi rangkaian penangkapan terduga teroris yang gencar dilakukan Detasemen Khusus 88 Antiteror Markas Besar Kepolisian RI setelah pengeboman sejumlah gereja di Surabaya pada pertengahan Mei lalu. Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Setyo Wasisto mengatakan sejak teror bom Surabaya, yang mendorong pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada akhir Mei lalu, lebih dari 350 terduga teroris dicokok. Mereka diduga sebagai anggota JAD.
Di antara mereka yang diburu polisi, sebagian terduga teroris tewas ditembak. Pada Sabtu, 23 Juni lalu, dua terduga, yaitu Ahmad Syarifudin, 28 tahun; dan rekannya berinisial AZA alias MRS, tewas ditembak di Jalan Tole Iskandar, Depok, Jawa Barat. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri saat itu, Brigadir Jenderal M. Iqbal, mengatakan keduanya melawan dengan senjata tajam dan senjata api saat disergap. Mereka dituding bakal beraksi dengan mengambil momentum pemilihan Gubernur Jawa Barat, yang digelar 27 Juni.
Ayah Syarifudin, Saroji, menilai tudingan polisi tersebut janggal. Saroji mengaku mendatangi lokasi penembakan putranya tersebut beberapa hari kemudian. Dari warga sekitar, dia mendapatkan keterangan bahwa mobil polisi sempat memepet sepeda motor yang mengangkut anaknya. Setelah keduanya terjatuh, kata Saroji, polisi langsung menembak mereka. "Kalau sudah jatuh dari motor, bagaimana memberikan perlawanan?" ujar Saroji.
Tempo menelusuri kembali lokasi penembakan Syarifudin. Sejumlah penduduk mengaku tak mengetahui dan enggan membicarakan peristiwa itu. Dua penduduk sekitar mengatakan peristiwa itu berlangsung sangat cepat. "Tidak lama setelah saya mendengar suara tembakan, mayatnya langsung diangkut," ujar seorang penduduk.
Wakil Ketua Dewan Pembina Tim Pengacara Muslim, Achmad Michdan, mengatakan, sejak revisi Undang-Undang Antiterorisme disahkan, hampir setiap hari dia menerima laporan penangkapan terduga teroris. Kantornya mencatat ada lebih dari 60 permintaan pendampingan dari keluarga yang kerabatnya ditangkap Detasemen Khusus 88. "Permintaan itu dari berbagai wilayah Sumatera, Jawa, atau Kalimantan," katanya.
Michdan mengaku kesulitan mendampingi terduga teroris yang tidak jelas tempat penahanannya. Dia dan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Yati Andriyani, menilai polisi kurang transparan dalam penangkapan para terduga teroris. Keduanya juga menganggap ada pelanggaran prosedur dalam penangkapan tersebut, seperti tidak diserahkannya surat penahanan dan surat penggeledahan. "Ada kesan penggunaan kekuatan berlebihan saat menangani terduga kasus terorisme," ujar Yati.
Menurut Yati, penggunaan kekuatan berlebihan yang kemudian menewaskan terduga teroris bisa dianggap sebagai pelanggaran hak asasi. Sebab, semua pelaku kejahatan juga berhak mendapat pembelaan ketika dianggap bersalah. "Menembak pada bagian yang mematikan sama saja menghilangkan hidup. Densus seharusnya terlatih untuk menembak pada bagian yang melumpuhkan," kata Yati.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo membantah terjadi pelanggaran hak asasi saat Detasemen Khusus 88 meringkus terduga teroris. Dia mengatakan pada dasarnya penangkapan yang dilakukan Detasemen Khusus merupakan bagian pencegahan aksi terorisme. Polisi berupaya tetap mengedepankan hak asasi saat menangkap terduga teroris. "Petugas dapat melumpuhkan seseorang atau kelompok jika membahayakan keselamatan jiwanya," ujar Dedi.
Achmad Michdan dan Yati Andriyani mengingatkan Detasemen Khusus 88 ihwal berbagai pelanggaran hak asasi saat meringkus terduga teroris. Keduanya mencontohkan kasus Siyono, yang meninggal tak lama setelah ditangkap polisi. Kepala Polri saat itu, Jenderal Badrodin Haiti, mengatakan Siyono tewas setelah bergelut dengan personel Detasemen Khusus di dalam kendaraan yang membawanya. Siyono, yang dituding sebagai anggota Jamaah Islamiyah, disebut berupaya merebut pistol personel Detasemen Khusus. Personel itu berhasil melumpuhkan Siyono. "Tersangka dalam keadaan tertunduk lemas," katanya. Badrodin mengklaim Siyono sempat dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara, tapi tak tertolong.
Ternyata hasil autopsi yang dilakukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Persatuan Dokter Forensik Indonesia, dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah menunjukkan Siyono meninggal karena patah tulang di bagian dada yang mengarah ke jaringan jantung. Hasil forensik juga menunjukkan tak ada tanda perlawanan atau tangkisan dari Siyono.
Tempo mendapatkan keterangan dari dua orang yang pernah mendengar cerita dugaan penyiksaan terhadap Siyono. Menurut kedua orang ini, Siyono sempat berada di dalam satu kamar dan diduga dipukuli oleh lebih dari lima polisi. Tak lama setelah kejadian itu, Siyono tewas. Cerita ini dikuatkan oleh penjelasan Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah Busyro Muqoddas, yang ikut mendampingi keluarga Siyono. "Kalau melihat dari kondisi jenazah Siyono, jelas ada penyiksaan sebelum meninggal," ujar bekas Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut.
Bantahan Siyono melawan polisi juga disampaikan Farid Ghozali, pengacara Tatak Lusiantoro, yang ditangkap sebelum Siyono. Menurut Farid, kliennya mengatakan di pengadilan bahwa dia sempat diperhadapkan dengan Siyono pada saat proses penyidikan. "Jadi tidak benar kalau Siyono disebut melarikan diri setelah ditangkap," kata Farid.
Ayah Siyono, Marso, masih tak menerima kematian putranya yang penuh kejanggalan. Dia masih mengingat putranya itu dijemput tiga lelaki tak dikenal setelah menjadi imam salat magrib di musala rumahnya. Sore itu, tanpa ada surat penangkapan, Siyono meninggalkan musala dengan masih mengenakan baju koko, sarung, dan peci. "Setelah itu, saya melihat dia dalam kondisi lebam di sekujur tubuhnya," ujar Marso.
Stefanus Pramono, Raymundus Rikang (Jakarta), Pito Agustin (Yogyakarta)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo