Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERUNTUNGAN Richard Joost Lino benar-benar seperti roller coaster. Belum lama ini, ia tampil dalam sebuah seminar di hotel berbintang, berbicara tentang ekonomi negeri dan mengungkap isi brankas badan usaha milik negara yang dipimpinnya, PT Pelindo II, yang kata dia solid berisi belasan triliun rupiah. Di seminar itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang pasti mafhum Lino dalam bidikan penegak hukum, mengaku kerap dituduh sebagai beking Lino. Padahal, kata Kalla melempar humor, beking biasanya berada di belakang, sedangkan, "Saya selalu berada di depan Pak Lino."
Penghormatan untuk Lino itu sayangnya tak seterusnya ia nikmati. Sejak pertengahan bulan lalu, ketika Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkannya sebagai tersangka, nasib Lino seakan-akan meluncur deras ke bawah. Jabatan direktur utama yang disandangnya copot setelah ia diberhentikan dewan komisaris. Ia mencoba mengajukan gugatan praperadilan, tapi usahanya untuk bebas jelas memerlukan perjuangan berat.
Semua kasus yang menghampirinya tidak datang begitu saja. Gaya kepemimpinan Lino yang keras dan kenekatannya mengambil risiko kerap mendatangkan masalah baginya. Perkara dugaan korupsi quay container crane (QCC) di pelabuhan Palembang, Pontianak, dan Panjang, Lampung, yang sekarang menyeretnya, juga bermula dari dua hal itu. KPK menerima laporan pada Februari 2014 dari 15 mantan pegawai Pelindo II, yang dipecat Lino—versi Lino, mereka mengundurkan diri. Paling tidak, ada dua tindakan Lino yang berakibat pelanggaran hukum.
Pertama, ia melakukan penunjukan langsung. Dengan dalih sudah sembilan kali tender, sejak 2007 sampai 2010, tanpa pemenang, ia menunjuk langsung pemasok derek itu. Lino menentukan perusahaan Cina, Wuxi HuaDong Heavy Machinery (HDHM), sebagai pemenang. Penunjukan langsung begini melanggar aturan tender pemerintah, meski Lino berdalih ada keputusan menteri yang membenarkannya.
Kedua, ia mengubah spesifikasi derek yang diduga berkaitan dengan upaya memenangkan HDHM. Tiga pelabuhan itu pada awal tender menentukan spesifikasi single lift yang mampu mengangkut barang 40 ton. Masalah datang ketika Lino mengubah spesifikasi menjadi twin lift berdaya angkut 61 ton. Pertimbangan Lino, tipe single lift hanya sanggup mengangkat satu kontainer 20 feet, sedangkan kemampuan twin lift lebih besar karena bisa mengangkat dua kontainer 20 feet. Menurut Lino, harga produk Cina untuk twin lift sebesar US$ 5,9 juta lebih murah ketimbang produk lokal buatan PT Barata sebesar US$ 6,4 juta untuk tipe single lift.
Soalnya bukan sekadar harga. Ternyata derek twin lift tidak sesuai dengan kebutuhan pelabuhan Pontianak dan Palembang. Pemanfaatannya pun tidak akan optimal di dua pelabuhan itu seperti halnya single lift.
Untuk memperkuat argumennya memilih HDHM, Lino memasukkan biaya kontrak pemeliharaan sebagai kelengkapan tender. HDHM, menurut Lino, memberikan kontrak lima tahun yang lebih murah dibandingkan dengan penyedia jasa lain.
Kenekatan Lino mengambil risiko—kendati menurut sejumlah sumber sudah dicegah bawahannya di Pelindo II—berakibat fatal: kerugian negara. Jumlah pasti kerugian itu sedang dihitung Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
Di luar soal prosedural dan administrasi, KPK masih perlu mengumpulkan bukti lebih banyak untuk meyakinkan publik bahwa status tersangka Lino memang kuat dasarnya. Argumen hukum itu juga diperlukan KPK untuk meladeni gugatan praperadilan yang diajukan Lino.
Dengan menuduh Lino melanggar Pasal 2 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi—tentang perbuatan memperkaya diri atau orang lain—KPK perlu menyiapkan bukti, misalnya, aliran dana untuk Lino atau orang lain yang menikmati kucuran dana itu. KPK juga sepatutnya bisa menyangkal pernyataan Lino bahwa biaya angkut kontainer menjadi lebih murah dengan beroperasinya QCC.
Bila mampu menemukan aliran dana ke kantong Lino, KPK selangkah lebih maju ketimbang polisi yang menangani kasus pembelian sepuluh mobile crane oleh PT Pelindo II. Kasus yang ditangani Badan Reserse Kriminal pada 2013 itu—terpisah dari kasus QCC yang dikawal KPK—hanya menetapkan Direktur Teknik Pelindo II Ferialdy Noerlan sebagai tersangka. Pengadaan mobile crane senilai Rp 45 miliar itu disangka tak sesuai dengan perencanaan. Sejauh ini, polisi belum "menyentuh" Lino.
Lino sebenarnya bukan tanpa prestasi. Andilnya cukup signifikan dalam membesarkan Pelindo II. Ia masuk daftar 41 orang yang dijaring Presiden Joko Widodo untuk jabatan menteri pada akhir 2014. Ketika itulah KPK menyematkan tanda merah pada namanya lantaran ia diduga terlibat kasus crane ini. Lino pun tersingkir dari bursa calon menteri. Di pengadilan antikorupsi nanti, Lino perlu membuktikan dirinya bersih dari "tanda merah" agar lolos dari jerat hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo