Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semakin jelas bahwa kasus yang dituduhkan kepada penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan, tampak dicari-dicari. Ombudsman Republik Indonesia menemukan dugaan rekayasa dalam penyidikan polisi. Perkara Novel yang telah dilimpahkan ke kejaksaan tidak selayaknya pula dibawa ke pengadilan.
Keanehan mudah tercium lantaran Novel dijerat dengan urusan lama. Ia ditetapkan sebagai tersangka kasus yang terjadi pada 2004, saat ia masih bertugas di Kepolisian Resor Kota Bengkulu. Ia dituduh membiarkan anak buahnya melakukan penganiayaan berat terhadap pencuri sarang burung walet. Kasus ini sesungguhnya sudah selesai karena pada tahun itu juga Novel telah diberi peringatan keras. Tapi masalah ini diungkit lagi oleh kepolisian ketika Novel selaku penyidik KPK membongkar korupsi di Korps Lalu Lintas Polri.
Polisi seharusnya menyetop kasus Novel sejak dini karena proses penyidikannya tidak wajar. Kejanggalan kasus ini semakin terlihat setelah tim Ombudsman turun tangan. Sesudah berbulan-bulan menelusuri kasus ini, tim Ombudsman menemukan sederet keganjilan. Terungkap, misalnya, Brigadir Polisi Yogi Haryanto yang melaporkan kembali kasus Novel pada 2012 ternyata tidak berada di tempat perkara. Padahal syarat seorang saksi pelapor adalah melihat langsung peristiwa.
Ombudsman juga membongkar manipulasi berita acara pengambilan proyektil peluru yang bersarang di kaki Irwansyah Siregar, salah satu pencuri sarang walet yang kakinya ditembak polisi Bengkulu. Polisi mengatakan pengambilan proyektil dilakukan di Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Jakarta Timur. Faktanya, pengambilan berlangsung di Rumah Sakit Jitra Bhayangkara, Bengkulu. Polisi diduga pula menggunakan data visum orang lain bernama Rahmat yang sama sekali tidak berkaitan dengan kasus pencurian sarang walet.
Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti seharusnya segera melaksanakan rekomendasi Ombudsman. Badrodin selama ini tidak mau menghentikan kasus Novel karena menganggap anak buahnya telah bertindak profesional. Kini terungkap, kasus ini ditangani secara serampangan. Polisi perlu menyelidiki dugaan penyalahgunaan prosedur penanganan kasus Novel, lalu memberikan sanksi bagi pejabat dan petugas yang bersalah. Dugaan pemalsuan alat bukti itu jelas melanggar Kode Etik Polri.
Jaksa Agung Prasetyo pun harus menyikapi temuan dan rekomendasi Ombudsman. Kejaksaan perlu segera menerbitkan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP) buat Novel Baswedan. Kasus ini layak disetop karena bukti-bukti yang dituduhkan kepada tersangka diduga direkayasa atau setidaknya tidak diperoleh dengan prosedur yang sah.
Kejaksaan akan dianggap ikut memainkan bola panas bila tetap membawa kasus Novel ke pengadilan. Bila kejaksaan masih berkukuh bahwa alat bukti kepolisian itu sah, Presiden Joko Widodo perlu segera bersikap tegas. Presiden bisa memerintahkan kejaksaan mengeluarkan deponering kasus Novel. Tapi langkah mengesampingkan perkara demi kepentingan umum ini sebaiknya menjadi opsi terakhir.
Berbeda dengan penghentian penuntutan lewat SKPP, deponering mengasumsikan bukti-bukti perkara telah cukup untuk menjerat tersangka. Jika dilakukan, langkah ini akan merugikan Novel Baswedan karena ia sebetulnya tidak layak dijerat, seperti yang terungkap dalam temuan Ombudsman. Langkah yang paling tepat bagi kejaksaan tentu saja mengeluarkan SKPP buat mengakhiri kasus aneh Novel Baswedan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo