Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kabe menuju roma

Para wanita jepang menggugurkan kandungannya apabila telah punya empat anak. sedang keluarga berencana di thailand berhasil dengan pil, sterilisasi dan spiral. faktor kultural juga berpengaruh.

4 April 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM riwayat perkabean banyak jalan yang sudah dilalui menuju keluarga kecil. Begitu banyak jalan ke Roma. Banyak yang secara formal menentukan target tanggal tiba di kota molek penuh air mancur itu. Walhasil, ada yang perjalanannya macel total. Ada yang setengah macet, belum apa-apa sudah kesasar, walaupun semuanya sudah dipetakan mulus sekali di atas kertas impor. Namun aneh bin ajaib, ada yang tanpa direncanakan sebelumnya, tanpa ribut-ribut soal ledakan penduduk yang mengerikan, kok sudah tiba di Roma. Sudah lihat Air Mancur Trevi yang aduhai, Coleseum yang kekar dan malah menatap wajah Musa yang anggun di St. Peter. Yomo Kenyatta di Kenya sudah memasukkan program KB ke dalam proram pembangunannya 15 tahun yang lalu, tahun 1966. Suatu program yang betul-betul masak digodok dan setgera menjadi model yang terkenal. Kalau pada akhir enampuluhan anda berkonsultasi perihal merencanakan program KB, para konsultan niscaya tak lupa menyodorkan program KB Kenya yang luwes itu. Coklat warna kulitnya. Sekarang, 15 tahun kemudian, program yang luwes itu seperti tak ada artinya. Seolah di bawah Kenyatta tidak terjadi apa-apa dalam perkabean, juga tidak apa-apa di bawah penggantinya Daniel Moi. Kalau anda ngobrol dengan konsultan di Nairobi perihal angka kelahiran Kenya, jelas dia geleng kepala. Kendati program begitu muluk tertuang di atas kertas, angka fertilitas tidak menurun juga, malah cenderung menaik. Fertilitas total tinggi sekali (8,1), angka kelahiran kasar kini di atas 50, angka pertumbuhan penduduk seputar 3,8 persen. Kalau terus begitu, penduduk akan lipat dua dalam 1,4 tahun. Rupanya KB dengan berbagai alatnya itu masih tetap asing bagi pasangan-pasangan Kenya, walau sudah digarap 15 tahun. Jumlah anak yang diinginkan tetap tinggi. Banyak yang pikir, jumlah anak bukan untuk dibatasi. Ada apa, kak dibatasi segala? Ibu-ibu itu heran jika tidak hamil lagi kalau bayinya sudah berumur 3 tahun, walaupun sudah punya anak 7 orang. Lho, kok belum hamil lagi? Ada apa ini ? Kiranya pola berpikir begini tersebar di Afrika Timur dan Afrika Barat -- Ethiopia, Ruanda, Zambia, Liberia, Niger, Togo dan lain-lain -- mengakibatkan angka kelahiran terus sekitar 50 per 1000 penduduk per tahun. Negeri Matahari Terbit lain lagi riwayatnya. Kehamilan keempat saja bisa membikin si ibu panik. Tapi ibu-ibu Jepang yang teramat halus itu praktis pendekatannya. Digugurkan, habis perkara. Pemerintah tidak perlu repot-repot menyusun target, mengejar-ngejar calon akseptor, membina PLKB, memberikan hadiah kepada akseptor lesi tari, mendengung-dengungkan norma-norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera (NKKBS). Kerepotan Pemerintah Dai Nippon malah bagaimana menyusun strategi menciutkan motivasi ibu-ibu Jepang menggugurkan kandungan. Jelas Pemerintah bingung kalau pada tahun 1955 saja dilaporkan sebanyak 1,17 juta orok digugurkan. Belum terhitung yang tidak dilaporkan. Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan terpaksa repot menyebar-luaskan cara-cara yang manusiawi: kondom, diafrahma, tablet busa, jelly dan pantan berkala. Pil dan spiral belum ada waktu itu. Pada tahun 1957 angka kelahiran kasar sudah rendah sekali (17 per 1000 penduduk), berkat motivasi masyarakat yang sudah meluap. Sebuah revolusi demografi telah usai dalam waktu singkat. Sim salabim, tau tau kabe Nippon sudah di Roma. Tidak perlu analisa ini itu, cukup disamakan dengan proses transisi demografi di Barat. Pendeknya, semua itu digiring modernisasi, industrialisasi, sekularisasi. Tidak perlu dikait-kaitkan dengan status wanita, sebab nanti bisa muncul polemik berkepanjangan. Sebab banyak yang bilang wanita Jepang perlu dibelas kasihani, statusnya belum beres. Chie Nakane (dikutip Mely Tan) bilang: " . . . dalam keluarga Jepang, yang selalu tetap di rumah adalah si ibu suaminya bekerja dan sesudah bekerja masih minum-minum dengan kawan-kawannya, di kedai minum . . . " Tapi mereka yang cuma mengurut dapur, anak dan suami ini kok bisa ambil keputusan yang ekstrim? Sampai-sampai menggugurkan orok dari rahim, jutaan di seantero negeri. Konon, di negeri Sirikit seorang pria tampan meniup-niup kondom. Dari hari ke hari, dari tahun ke tahun, di tiap pelosok ditiupnya kondom bersama anak sekolah. Program utama Mechai Viravaidya -- demikian namanya -- membalonkan kondom. Supaya kondom terhormat seperti balon. Tidak heran nama Mechai menjadi lebih tersohor daripada program KB Thailand dan untuk pengabdiannya ia terpaksa mendapat hadiah internasional, Paul G. Hoffman Award. Tingkat fertilitas di Thailand menurun dengan cepat, bukan karena kondom Mechai itu tetapi lantaran pil, sterilisasi sukarela dan spiral. Di daerah tertentu penurunan fertilitas lebih drastis daripada di Pulau Bali. Penyebab utamanya tidak bisa dipautkan dengan modernisasi dan industrialisasi seperti di Jepang, karena mayoritas mereka masih petani yang bertebaran di pedesaan. Jalannya ke Roma lain lagi rupanya. Di samping Mechai, program KB Thailand tidak luput dari pujian para ahli dan pengamat. Tetapi ahli-ahli kependudukan tentang Thailand merasa tidak lengkap kalau faktor kultural dan status wanita tidak diperhitungkan. Kata sementara ahli, faktor kebudayaan ini terlalu kerap diabaikan dalam analisa. Nah, di dalam agama mereka, Budha Theravada, individu bertanggungjawab atas keselamatan sendiri, dan ini dianggap memperlicin penerimaan KB. Status wanita Thai lumayan: cukup punya kebebasan dalam kehidupan ekonomi dan sosial. Ini juga memperlancar praktek KB. Adakah persamaan antara Thailand dan Bali, bintang Indonesia dalam perkabean? Mana tau, di samping sistem banjar yang khas, ada pula sesuatu dalam agama Hindu Bali dan status wanita di sana yang membikin perjalanan mereka lebih lancar menuju Roma. Apakah kawin larinya? Apakah pekerjaan wanita yang tak kalah dengan pria, yang turut membenahi jalan raya dan membuat gedung? Atau karena di Bali yang jadi dukun beranak tradisional (balian) boleh laki-laki boleh perempuan? Tidak mustahil, ada sesuatu di situ.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus