DALAM riwayat perkabean banyak jalan yang sudah dilalui menuju
keluarga kecil. Begitu banyak jalan ke Roma. Banyak yang
secara formal menentukan target tanggal tiba di kota molek
penuh air mancur itu.
Walhasil, ada yang perjalanannya macel total. Ada yang setengah
macet, belum apa-apa sudah kesasar, walaupun semuanya sudah
dipetakan mulus sekali di atas kertas impor. Namun aneh bin
ajaib, ada yang tanpa direncanakan sebelumnya, tanpa
ribut-ribut soal ledakan penduduk yang mengerikan, kok sudah
tiba di Roma. Sudah lihat Air Mancur Trevi yang aduhai, Coleseum
yang kekar dan malah menatap wajah Musa yang anggun di St.
Peter.
Yomo Kenyatta di Kenya sudah memasukkan program KB ke dalam
proram pembangunannya 15 tahun yang lalu, tahun 1966. Suatu
program yang betul-betul masak digodok dan setgera menjadi model
yang terkenal. Kalau pada akhir enampuluhan anda berkonsultasi
perihal merencanakan program KB, para konsultan niscaya tak lupa
menyodorkan program KB Kenya yang luwes itu. Coklat warna
kulitnya. Sekarang, 15 tahun kemudian, program yang luwes itu
seperti tak ada artinya. Seolah di bawah Kenyatta tidak terjadi
apa-apa dalam perkabean, juga tidak apa-apa di bawah
penggantinya Daniel Moi.
Kalau anda ngobrol dengan konsultan di Nairobi perihal angka
kelahiran Kenya, jelas dia geleng kepala. Kendati program begitu
muluk tertuang di atas kertas, angka fertilitas tidak menurun
juga, malah cenderung menaik. Fertilitas total tinggi sekali
(8,1), angka kelahiran kasar kini di atas 50, angka pertumbuhan
penduduk seputar 3,8 persen. Kalau terus begitu, penduduk akan
lipat dua dalam 1,4 tahun.
Rupanya KB dengan berbagai alatnya itu masih tetap asing bagi
pasangan-pasangan Kenya, walau sudah digarap 15 tahun. Jumlah
anak yang diinginkan tetap tinggi.
Banyak yang pikir, jumlah anak bukan untuk dibatasi. Ada apa,
kak dibatasi segala? Ibu-ibu itu heran jika tidak hamil lagi
kalau bayinya sudah berumur 3 tahun, walaupun sudah punya anak 7
orang. Lho, kok belum hamil lagi? Ada apa ini ?
Kiranya pola berpikir begini tersebar di Afrika Timur dan
Afrika Barat -- Ethiopia, Ruanda, Zambia, Liberia, Niger, Togo
dan lain-lain -- mengakibatkan angka kelahiran terus sekitar 50
per 1000 penduduk per tahun.
Negeri Matahari Terbit lain lagi riwayatnya. Kehamilan keempat
saja bisa membikin si ibu panik. Tapi ibu-ibu Jepang yang
teramat halus itu praktis pendekatannya. Digugurkan, habis
perkara. Pemerintah tidak perlu repot-repot menyusun target,
mengejar-ngejar calon akseptor, membina PLKB, memberikan hadiah
kepada akseptor lesi tari, mendengung-dengungkan norma-norma
keluarga kecil bahagia dan sejahtera (NKKBS). Kerepotan
Pemerintah Dai Nippon malah bagaimana menyusun strategi
menciutkan motivasi ibu-ibu Jepang menggugurkan kandungan.
Jelas Pemerintah bingung kalau pada tahun 1955 saja dilaporkan
sebanyak 1,17 juta orok digugurkan. Belum terhitung yang
tidak dilaporkan. Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan
terpaksa repot menyebar-luaskan cara-cara yang manusiawi:
kondom, diafrahma, tablet busa, jelly dan pantan berkala. Pil
dan spiral belum ada waktu itu. Pada tahun 1957 angka kelahiran
kasar sudah rendah sekali (17 per 1000 penduduk), berkat
motivasi masyarakat yang sudah meluap.
Sebuah revolusi demografi telah usai dalam waktu singkat. Sim
salabim, tau tau kabe Nippon sudah di Roma. Tidak perlu analisa
ini itu, cukup disamakan dengan proses transisi demografi di
Barat.
Pendeknya, semua itu digiring modernisasi, industrialisasi,
sekularisasi. Tidak perlu dikait-kaitkan dengan status wanita,
sebab nanti bisa muncul polemik berkepanjangan. Sebab banyak
yang bilang wanita Jepang perlu dibelas kasihani, statusnya
belum beres. Chie Nakane (dikutip Mely Tan) bilang: " . . .
dalam keluarga Jepang, yang selalu tetap di rumah adalah si ibu
suaminya bekerja dan sesudah bekerja masih minum-minum dengan
kawan-kawannya, di kedai minum . . . "
Tapi mereka yang cuma mengurut dapur, anak dan suami ini kok
bisa ambil keputusan yang ekstrim? Sampai-sampai menggugurkan
orok dari rahim, jutaan di seantero negeri.
Konon, di negeri Sirikit seorang pria tampan meniup-niup kondom.
Dari hari ke hari, dari tahun ke tahun, di tiap pelosok
ditiupnya kondom bersama anak sekolah. Program utama Mechai
Viravaidya -- demikian namanya -- membalonkan kondom. Supaya
kondom terhormat seperti balon. Tidak heran nama Mechai menjadi
lebih tersohor daripada program KB Thailand dan untuk
pengabdiannya ia terpaksa mendapat hadiah internasional, Paul G.
Hoffman Award.
Tingkat fertilitas di Thailand menurun dengan cepat, bukan
karena kondom Mechai itu tetapi lantaran pil, sterilisasi
sukarela dan spiral. Di daerah tertentu penurunan fertilitas
lebih drastis daripada di Pulau Bali. Penyebab utamanya tidak
bisa dipautkan dengan modernisasi dan industrialisasi seperti
di Jepang, karena mayoritas mereka masih petani yang bertebaran
di pedesaan. Jalannya ke Roma lain lagi rupanya.
Di samping Mechai, program KB Thailand tidak luput dari pujian
para ahli dan pengamat. Tetapi ahli-ahli kependudukan tentang
Thailand merasa tidak lengkap kalau faktor kultural dan status
wanita tidak diperhitungkan. Kata sementara ahli, faktor
kebudayaan ini terlalu kerap diabaikan dalam analisa. Nah, di
dalam agama mereka, Budha Theravada, individu bertanggungjawab
atas keselamatan sendiri, dan ini dianggap memperlicin
penerimaan KB. Status wanita Thai lumayan: cukup punya kebebasan
dalam kehidupan ekonomi dan sosial. Ini juga memperlancar
praktek KB.
Adakah persamaan antara Thailand dan Bali, bintang Indonesia
dalam perkabean? Mana tau, di samping sistem banjar yang khas,
ada pula sesuatu dalam agama Hindu Bali dan status wanita di
sana yang membikin perjalanan mereka lebih lancar menuju Roma.
Apakah kawin larinya? Apakah pekerjaan wanita yang tak kalah
dengan pria, yang turut membenahi jalan raya dan membuat gedung?
Atau karena di Bali yang jadi dukun beranak tradisional (balian)
boleh laki-laki boleh perempuan? Tidak mustahil, ada sesuatu di
situ.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini