KEJADIAN itu diketahui pertama kali di udara, sekitar jam 10.18
Sabtu pekan lalu. Kapten Pilot A. Sapari, di kokpit F-28 milik
Garuda yang terbang beberapa puluh menit yang lalu dari
Pakanbaru, melihat sebuah DC-9 dari jurusan Palembang. Ia tahu
dengan siapa ia berpapasan: Kapten Herman Rante, dengan pesawat
nomor 206 -- seperti biasa. Tapi ada yang agak ganjil hari itu.
Biasanya, Herman Rante akan menaikkan pesawatnya sampai ke
ketinggian di atas 25 ribu kaki, dan di saat itu kontak
percakapan antara mereka lazimnya terjadi, dengan saling
bercanda. Tapi pada hari itu, Herman tetap terbang pada
ketinggian 24 ribu kaki -- dua belas menit setelah ia tinggal
landas dari Palembang. Dan ketika kedua pilot itu berhubungan,
Sapari mendengar suara Herman yang gugup. Herman berbicara,
"Being hijacked . . . being hijacked .."
Sapari kaget. Menyadari bahwa temannya kena bajak, Sapari segera
menghubungi menara pengawas bandar udara Kemayoran. Sesampai di
Kemayoran, ia juga memberitahu kantor Garuda. Dari sinilah No.
206 mulai dijejaki arahnya.
Pesawat itu seharusnya sudah turun di bandar Polonia, Medan,
pukul 10.55. Tapi para penumpang yang menunggu ternyata harus
tetap menunggu. Pesawat tak muncul. Yang mereka lihat hanya dua
pancar gas dan pasukan yang tiba-tiba berjaga-jaga di pelbagai
pojok lapangan. Tak lama kemudian, mereka mendengar desas-desus
itu: pesawat dibajak.
Memang, berita sudah sampai di Medan beberapa puluh menit
sebelumnya, seperti kata Letkol Daryatmo, kepala penerangan
Kowilhan I kepada TEMPO. Info datang dari Pakanbaru.
Rupanya kontak antara Kapten Sapari dengan Herman ditangkap pula
oleh menara pengawas di bandar Simpangtiga. Yang juga pertama
kali mengetahui pembajakan terjadi ialah pesawat patroli AL
"Nomad", yang sedang terbang di atas Kepulauan Riau. Patroli,
yang melihat Garuda No. 206 itu terbang di luar jalur
penerbangan, bertanya. Dari kokpit Herman Rante terdengar
jawaban, bahwa pesawat itu sedang dibajak. Tak jelas oleh siapa.
Ia tak terbang menuju Medan.
Ke mana? Di kantornya di gedung Wisma Central, di Pulau Penang,
Malaysia, petugas utarna Garuda di kota itu Supangat Yuzar, 47
tahun, sudah beberapa hari gelisah. Ketika ia bertugas di Bali,
tahun 1974, orang Garuda itu pernah merasakan firasat yang sama
-- meskipun kali ini lebih lemah. Di tahun 1974 itu, April,
sebuah pesawat Pan American Airlines jatuh dan 100 orang lebih
tewas. Kini apa yang akan terjadi?
Sabtu sekitar pukul 10.50, ia yang berada di kantornya melihat
ke pesawat teleks. Di sana disebut: Garuda No. 206 dibajak.
Berita dari Jakarta.
Dia mula-mula tak percaya. Tapi setelah yakin ia menelepon ke
rumah Wakil Konsul Indonesia di Penang, Bakrie Kamaluddin. Hari
itu hari Sabtu, kantor tutup, dan Bakrie adalah salah satu
petugas senior yang ada waktu itu, karena Konsul sedang berada
di Medan. Setelah petugas senior yang lain, Slamet Munaryo,
dihubungi, Bakrie kontan ke bandar udara Bayan Lepas dengan
mobil. Sebab pesawat yang dibajak dari Palembang dikabarkan
sedang menuju ke Bayan Lepas.
Di Bayan Lepas, perkembangan dengan cepat terjadi -- dan tak
sepenuhnya dapat dijelaskan. Sekitar pukul 11.00, dari udara
Kapten Herman Rante menghubungi bandar udara negeri tetangga
itu, yang jaraknya cuma setengah terbang dari Medan. Waktu itu
pesawat 206 sudah berada 140 mil dari Penangg Herman
memberitahu jelas, pesawat sedang dibajak. Ia minta mendarat.
Di ruang tunggu airport sejumlah awak Garuda dipimpin Kapten
Djoko Setyoso, sudah menantikan pesawat akan mereka gantikan
crew-nya beberapa puluh menit sebelum pukul 12.25 Mereka akan
bertugas dengan pesawat No. 911. Dan ketika mereka melihat
sebuah DC-9 mendarat pada pukul 11.48, salah seorang pramugari
bergurau, "Ayo kita main cepat-cepatan ke sana."
Tapi ternyata pesawat itu berhenti di kejauhan. Para awak Garuda
itu tak bisa menebak bahwa pesawat itu bernomor dan bertuliskan
Woyla, nama sungai di Aceh Barat. Mereka juga tak tahu suasana
gawat yang mencekam di menara awas dan sekitarnya.
Di menara itu telah hadir Komandan Polisi Penang, Haji Zaman
Khan, dalam baju safari ungu muda dan dengan tampang tegasnya
yang tegang. Juga Slamet Munaryo dan Bakrie Kamaluddin. Tak
lama kemudian, datang Perdana Menteri Negara Bagian Penang
sendiri, Lim Chong Eu. Mereka menunggu, apa yang dimaui
pembajak, sementara pasukan polisi disiagakan di bawah bersama
satuan Cadangan Federal yang berpakaian biru tua.
Jam 12.20 perundingan dengan pembajak dimulai. Tapi prosedurnya
agak unik: para pembajak hanya berbicara melalui Kapten Herman
Rante. Yang diminta untuk berhubungan juga pejabat Garuda bukan
pejabat pemerintahan setempat. Karena itu Supangat Yusar-lah
yang harus di hadapan mike. Supangat, yang -- seperti juga
seluruh Indonesia waktu itu -- belum bisa menebak siapa
pembajaknya, bertanya-tanya, mengapa justru dia yang dipilih.
Dalam komunikasi antara menara dan pesawat yang 2,5 km jaraknya
itu Supangat mendengar suara Herman. Kapten berusia 28 tahun itu
terdengar sekali gugup, bahkan gementar. "Tenang saja, Herman,"
kata Supangat sebagaimana ia ceritakan kemudian.
Mendengar suara kalem pejabat Garuda berambut putih yang
dikenalnya pribadi itu, Herman kontan lega. Lalu ia membacakan
tuntutan pembajak -- sementara di menara semua yang hadir
mencoba menebak-nebak siapa gerangan pembajaknya, bangsa apa,
dan dengan niat apa.
Tebakan itu sedikit demi sedikit mulai menemukan jejak.
Sementara di bawah, di seantero bandar udara, banyak yang belum
tahu persis bahwa pembajakan telah terjadi, meskipun sejak pukul
13 lapangan dinyatakan ditutup total di puncak menara para
petugas mulai mengambil kesimpulan jika pembajak lebih dari
satu, paling sedikit ada seorang Indonesia di antara mereka.
Petunjuk itu dipetik dari suara yang sampai di menara. Seorang
pembajak kedengaran menggertak, lewat Kapten Herman, "Tidak
boleh didelay!" Bahasa Indonesianya, menurut Supangat, mempunyai
aksen Sumatera Utara.
Tapi setelah itu, suara para pembajak tak terdengar ke menara
lagi. Meskipun demikian, wajah mereka kemudian segera dilihat
orang luar. Yakni ketika pada pukul 14, Inspektur Polisi Nasir
Yang, 25 tahun, datang mengantarkan peta terbang ke jurusan
Kolombo sebagaimana diminta para perompak yang tak dikenal itu.
Mereka sebenarnya minta, agar peta, dibawa ke pesawat oleh
seorang anak berumur 15 tahun -- mungkin untuk menghindarkan
pembokongan. Tapi tak ada anak seusia itu di sekitar sana. Maka
Nasir-lah yang dipilih. Perwira ini agak pendek dan potongan
rambutnya tak menunjukkan dia polisi. Para pembajak membiarkan
Nasir mendekat, dengan syarat agar ia datang cuma dengan
bercelana dalam. Nasir pun, dalam pakaian yang terbatas itu,
diantarkan dengan sepeda motor yang berhenti beberapa meter dari
pesawat.
NASIR mendekat, dan sempat melihat dua wajah pembajak. Terutama
ketika ia harus membawa seorang penumpang, seorang nenek berumur
76 tahun, turun. Nenek Hulda Panjaitan boru Tobing, yang
terbang dari Jakarta sendirian pulang ke Medan, rupanya terkejut
dengan apa yang disangkanya sebagai "perang". Ia menangis terus.
Para pembajak akhirnya memutuskan nenek itu harus dikeluarkan.
Dan Nasir Yang pula yang harus membawa nenek Hulda ke luar. Sang
nenek dinaikkan ke sepeda motor yang menanti, lalu dibonceng ke
menara.
Di pintu pesawat itu, selama beberapa menit, Nasir -- meskipun
dalam keadaan tegang -- sempat melihat dua wajah pembajk.
Seorang berkulit hitam, keriting. Seorang berkulit lebih putih.
Anggota polisi lain yang mengincar Garuda No. 206 dengan
teropong, juga melihat seorang pembajak berkulit putih, tapi
pada dahinya ada bercak hitam.
Kesaksian itulah, tapi terutama kesaksian Nenek Hulda (lihat
box: Nenek Hulda, Saksi Pertama), yang akhirnya bisa
memperkirakan lebih lanjut siapa gerangan para pembajak. Yang
belum jelas pada waktu itu adalah motifnya.
Namun untuk menjejaki para pembajak itu lebih lanjut, waktu
nampaknya tak cukup. Dua puluh menit setelah perlnintaan pertama
-- sebuah peta -- dipenuhi, dan Nenek Hulda diturunkan lewat
tangga pesawat, para pejabat Malaysia di menara memenuhi
permintaan pembajak selanjutnya. Sebuah mobil tangki Petronas
dikirim ke dekat pesawat. Sesuai dengan permintaan pembajak,
mobil itu harus hanya membawa dua petugas. Sebelum menempel ke
lesawat untuk mengisi bahan bakar, ia harus berkeliling dua
kali dulu.
Proses pengisian bahan bakar berlang sung hampir satu jam.
Selama itu percakapan antara petugas Petronas dengan pembajak
dilakukan dengan bahasa isyarat. Bahan bakar yang diisikan
adalah 10210 liter, untuk menambah yang tersisa, hingga perut
pesawat penuh dan sanggup terbang lagi selama 4,5 jam.
Pukul 15.45 mobil tangki itu kembali. Dengan segera permintaan
pembajak berikutnya juga dipenuhi. Sebuah truk ringan MAS
(penerbangan nasional Malaysia) membawa 60 kotak makan-siang,
berisi ayam, roti kismis, kue dan cangkir plastik berisi teh
dengan susu.
Para pembajak sebelumnya minta 60 nasi bungkus, tapi tentu saja
itu sukar didapat di bandar udara Penang. "Kalau yang diminta
nasi," kata Supangkat Yusar menceritakan kembali bagaimana ia
berbicara kepada para pembajak lewat Kapten Herman Rante,
"waktunya akan lebih lama."
Para pejabat keamanan di Indonesia pada saat itu sebenarnya
justru menghendaki, agar pesawat yang dibajak bisa ditahan lebih
lama di Penang. Tapi hubungan antara Indonesia dan Malaysia
nampaknya tak begitu lancar.
Menteri Dalam Negeri Tun Sri Ghazali Shafie, yang membawahkan
dinas kepolisian Malaysia, biasa punya kontak dengan para
pejabat intel Indonesia waktu itu tengah berada dalam sebuah
upacara pekan kepolisian di ibukota negara. Ia cepat ke Markas
Besar Kepolisian di Bukit Aman, Kuala Lumpur begitu ia dengar
laporan dari Penang. Dari sana ia mengikuti perkembangan
sementara para pejabat teras urusan keamanan Indonesia
mengikuti kejadian ini jauh di Ambon. Mereka tengah ikut dalam
Rapat Pimpinan ABRI.
Kehendak untuk menahan pesawat yang dibajak lebih lama di Penang
memang tak kesampaian -- karena terlambat. Toh beberapa
kesimpulan sudah bisa ditarik. Pesawat tinggal landas dari Bayan
Lepas pada pukul 16.05, tapi menjelang itu baik Jakarta maupun
Kuala Lumpur sudah bisa mempunyai beberapa informasi kuat:
Pembajak kira-kira terdiri dari 5 orang, berumur sekitar 30
tahun. Senjata mereka pistol, pisau dan barangkali juga granat.
Sebagian besar, kalau tak semuanya, orang Indonesia. Ada seorang
tegap tinggi seperti orang Eropa, tapi mungkin juga Arab.
Dari teknik pembajakan, mereka cukup berencana, terutama dalam
menghadapi kemungkinan sergapan. Permintaan agar orang yang
mendekat tak boleh mengenakan pakaian lain selain celana
dalam, menunjukkan itu. Demikian juga halnya permintaan agar
mobil tangki berkeliling dua kali, sebelum menempel ke pesawat.
Di pesawat, mereka mengumpulkan arloji, uang, dan barang
perhiasan para penumpang. Juga kartu-kartu keterangan.
Sebelumnya, mereka menyuruh sebanyak 48 orang penumpang, yang
hanya mengisi separuh saja dari pesawat DC-9 yang mampu memuat
lebih dari 100 orang, duduk di bagian belakang. Bagian depan
kosong.
Motif mereka belum jelas benar, tapi ada beberapa petunjuk.
Mereka berbicara tentang "di jalan yang benar." Mungkin mereka
kaum fanatik semacam "Islam sungsang" di Malaysia, yang
mengkafirkan orang Islam lain -- apalagi yang bukan Islam, dan
tak segan-segan menggunakan kekerasan. Tapi kenapa merampas
arloji dan sebagainya? Barangkali dana mereka terbatas. Diduga
mereka menuju ke Timur Tengah, lewat Kolombo.
Mungkin mereka berangkat dari lapangan udara Talangbetutu,
Palembang. Pemeriksaan terhadap senjata di Kemayoran cukup
ketat, sementara di Talangbetutu tidak. Tentu saja ada
kemungkinan, bahwa mereka berangkat dari Kemayoran, sedang
senjata diselundupkan di Talangbetutu. Di sini, penumpang
transit, yang mengasoh sebentar sebelum berangkat ke tempat
lain, mudah dihubungi dari luar. Tapi diduga lebih praktis
mereka berangkat langsung dari Palembang, untuk menghindari
pemeriksaan.
Agaknya berdasarkan itu semua, intelijen Indonesia sudah dengan
segera mencium siapa para pembajak itu. Ketika pada pukul 17.02
pesawat Garuda No. 206 itu mendarat di lapangan terbang militer
Muangthai, Don Muang, setelah ditolak untuk mendarat di Kolombo,
Sri Langka, dan Madras, India, di Indonesia pencarian sudah
digerakkan.
Nama-nama mereka, yang tercatat di daftar manifes penumpang dari
Palembang, segera dicocokkan dengan daftar orang-orang yang
telah dicurigai belakangan ini -- terutama setelah peristiwa
penyerbuan pos polisi di Bandung bulan lalu. Di Palembang, hasil
pencarian jejak memperkuat dugaan itu.
Sementara di beberapa kota di Jakarta pencarian jejak dan
pencegahan terhadap teror lebih lanjut diadakan, di Don Muang
para pembajak harus menghadapi kenyataan pahit. Mereka tahu,
bahan bakar sudah nyaris habis. Kemungkinan terbang ke Barat
makin sulit, karena Kolombo dan Madras menolak pesawat mendarat.
Para pembajak nampaknya karena itu memutuskan untuk menggertak
dengan tuntutan lain. Sementara polisi Angkatan Udara Kerajaan
Muangthai dan pasukan khusus Angkatan Daratnya siaga pada jarak
hampir 0,5 km dari pesawat, para pembajak minta agar ada
hubungan dengan pejabat Indonesia.
Dutabesar RI di Muangthai, yang sudah memonitor berita
pembajakan sewaktu pesawat masih di Penang, sudah siap di Don
Muang bahkan sebelum pesaat mendarat. Maka komunikasi pun
berlangsung. Kini yang berbicara lewat radio bukanlah Kapten
Herman Rante lagi, melainkan salah seorang pembajak yang jadi
pemimpin mereka. Namanya diketahui sudah, Machrizal.
Pemuda inilah agaknya, yang oleh Nenek Hulda dilukiskan sebagai
bermata ceruk ke dalam, berkumis dan berjanggut tipis. Sebuah
sumber mengatakan, ia anak Syekh Muhammad Thoyib, seorang
keturunan Arab yang bermukim di Arab Saudi. Bahasa Inggrisnya
cukup lancar, tapi pembicaraan dengan Dubes Hasnan Habib
dilakukan dalam bahasa Indonesia.
Para pembajak segera mengeluarkan tuntutan. Namun mereka memberi
kesan, bahwa tuntutan ini agak kacau balau. Tuntutan pertama:
agar sebanyak 80 orang tahanan yang disebut sebagai "tahanan
politik," dibebaskan.
Nama-nama tak disebutkan, tapi tampaknya dihubungkan dengan
orang-orang yang ditangkap karena penyerbuan ke markas polisi
Cicendo, Bandung, baru-baru ini. Juga yang ditangkap karena
"teror Warman" -- bekas DI -- yang menembak polisi dan tentara
di Rajapolah, Jawa Barat beberapa waktu yang silam. Para tahanan
itu agar dikirim ke luar negeri -- tapi ke mana, tujuan tak
disebut.
Tuntutan kedua, mereka meminu uang kontan sebanyak US$ 1,5 juta.
Tuntutan lain adalah agar "orang rsrael dikeluarkan dari
Indonesia." Dan yang terakhir: agar Adam Malik dicopot sebagai
Wakil Presiden, karena dia "koruptor besar."
Kecuali uang yang US$ 1,5 juta itu, tak ada yang kongkrit
sebenarnya dari semua tuntutan para pembajak: jika pemerintah
Indonesia misalnya menyatakan sudah memenuhinya, para pembajak
itu tak akan bisa melihat sendiri buktinya secara langsung.
Agaknya karena itu kalangan keamanan di Jakarta menyimpulkan,
bahwa tujuan para pembajak itu pertama-tama sebenarnya hanya
untuk "melarikan diri" -- setelah penyerbuan di Cicendo
menyebabkan mereka diburu-buru.
Dan pemerintah jelas tak akan membiarkan hal itu. Dari Bangkok
dikabarkan, bahwa pemerintah Indonesia sudah meminta pemerintah
Muangthai untuk mengizinkan digunakan "jalan militer" terhadap
para pembajak. Di Jakarta, dengan keras sumber-sumber pemerintah
juga membantah berita yang tersiar di luar negeri, bahwa
Presiden Soeharto telah menyetujui untuk mengalah kepada
tuntutan pembajak.
Yang dilakukan mungkin adalah mengulur waktu, seraya
mempersiapkan pukulan -- taktik yang efektif dalam menghadapi
pembajakan selama ini. Sebab dalam kesiagaan yang panjang dan
terus-menerus, para pembajak akan tegang dan letih.
Tanda-tanda bahwa moral para pembaj,ak di Don Muang itu terpukul
nampak, setelah peristiwa yang tak terduga-duga, terjadi:
seorang penumpang, seorang warga negara Inggris, Robert
Waimright, 27 tahun membuka pintu darurat dan meloncat ke luar.
Dia selamat.
Dari dia -- yang segera diwawancarai oleh para pejabat Indonesia
dan Muangthai yang bermarkas di tingkat ke-4 bandar udara Dong
Muang -- dapat diketahui, para pembajak sebenarnya hanya 5
orang.
Enam jam kemudian, percobaan melarikan kedua terjadi. Ketika
pukul 4 sore hari Minggu pesawat diberi tambahan bahan bakar dan
oli, seorang penumpang bangsa Amerika, Karl Schneider, sekitar
40 tahun, menerobos melalui sebuah pintu samping. Ia meloncat
tapi agak telat. Seorang pembajak menembaknya, dan mengenai bahu
Schneider. Ia jatuh langsung ke landasan yang keras.
Beberapa sumber juga memastikan, bahwa Ko-pilot Hendy Juantoro,
ditembak. Tubuhnya dilemparkan dari kokpit. Belum diketahui
benar, apakah Juantoro tewas. Yang pasti, Schneider, yang dibawa
ke rumahsakit dengan ambulans beberapa puluh menit kemudian
berhasil dioperasi dan lepas dari maut.
Sementara itu, jam-jam mendekati batas waktu -- yang oleh para
pembajak ditentukan pukul 21.00 Senin malam. Batas waktu itu
telah dilalui. Di Don Muang belum terjadi apa-apa. Tapi beberapa
belas jam sebelumnya, tanpa diketahui para pembajak, sebuah
DC-10 Garuda mendarat -- tanpa lampu runway, hanya dibimbing
oleh dua mobil jeep yang menyalakan lampunya. Di dalamnya,
bersiap satu pasukan komando dengan segala peralatan.
"Kansnya 50-50," kata seorang pejabat keamanan. Sudah tentu
diusahakan agar para penumpang yang tak bersalah dapat terhindar
dari bahaya, tapi risiko tetap ada. Hanya risiko ini bagaimana
pun telah dipilih. Sebab, seperti dikatakan oleh pejabat lain,
sekali kita menyerah kepada teror, senjata ini akan digunakan
terus -- dan makin banyak orang tak bersalah menderita sebagai
sandera.
"Ada cara Pakistan -- menyerah," kata pejabat tersebut, "ada
cara Jerman Barat." Banyak pemerintah, termasuk negara-negara
Barat yang biasanya sangat berhati-hati dengan jiwa rakyat
pembayar pajak mereka, menggunakan cara terakhir. Seperti kata
ahli antiterorisme dari AS Robert Kupperman, setelah komando
Jerman menyerbu pembajak di Mogadishu (1977), "dunia yakin bahwa
pemerintah Barat akan mengambil risiko membunuh siapa saja jika
keadaan memaksa."
Dan di Don Muang, 31 Maret sekitar pukul 2.45, apa yang
dilakukan komando Jerman Barat di tahun 1977 itu dicoba --
pertama kalinya dalam riwayat pembajakan besar yang memang baru
pertama kali ini pula dalam sejarah Indonesia.
Sekitar 100 orang pasukan gabungan Indonesia dan Thailand,
dinihari 31 Maret menyerbu pesawat Garuda yang dibajak itu di
Don Muang, Bangkok. Sebagian pasukan menyerbu dari tangga depan,
sebagian dari pintu belakang pesawat, selebihnya mengepung di
luar pesawat. Setelah 3 menit tembak-menembak antara pembajak
dengan pasukan kedua pemerintah itu 5 pembajak meninggal dunia
di tempat itu juga.
Selain itu, sepuluh orang -- terdiri dari seorang awak pesawat,
seorang pasukan komando Indonesia, selebihnya penumpang --
terluka. Tapi inilah operasi yang sukses, yang menyebabkan
Indonesia bangga. Kita telah punya Mogadishu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini