Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Setelah 65 jam, dibebaskan Garuda dibajak! dan bebas!

Peristiwa pembajakan pesawat garuda dc-9 "woyla" dan jalannya operasi pembebasan para sandera. para pembajak diduga anggota kelompok imran, pasukan komando indonesia membebaskannya.(nas)

4 April 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEJADIAN itu diketahui pertama kali di udara, sekitar jam 10.18 Sabtu pekan lalu. Kapten Pilot A. Sapari, di kokpit F-28 milik Garuda yang terbang beberapa puluh menit yang lalu dari Pakanbaru, melihat sebuah DC-9 dari jurusan Palembang. Ia tahu dengan siapa ia berpapasan: Kapten Herman Rante, dengan pesawat nomor 206 -- seperti biasa. Tapi ada yang agak ganjil hari itu. Biasanya, Herman Rante akan menaikkan pesawatnya sampai ke ketinggian di atas 25 ribu kaki, dan di saat itu kontak percakapan antara mereka lazimnya terjadi, dengan saling bercanda. Tapi pada hari itu, Herman tetap terbang pada ketinggian 24 ribu kaki -- dua belas menit setelah ia tinggal landas dari Palembang. Dan ketika kedua pilot itu berhubungan, Sapari mendengar suara Herman yang gugup. Herman berbicara, "Being hijacked . . . being hijacked .." Sapari kaget. Menyadari bahwa temannya kena bajak, Sapari segera menghubungi menara pengawas bandar udara Kemayoran. Sesampai di Kemayoran, ia juga memberitahu kantor Garuda. Dari sinilah No. 206 mulai dijejaki arahnya. Pesawat itu seharusnya sudah turun di bandar Polonia, Medan, pukul 10.55. Tapi para penumpang yang menunggu ternyata harus tetap menunggu. Pesawat tak muncul. Yang mereka lihat hanya dua pancar gas dan pasukan yang tiba-tiba berjaga-jaga di pelbagai pojok lapangan. Tak lama kemudian, mereka mendengar desas-desus itu: pesawat dibajak. Memang, berita sudah sampai di Medan beberapa puluh menit sebelumnya, seperti kata Letkol Daryatmo, kepala penerangan Kowilhan I kepada TEMPO. Info datang dari Pakanbaru. Rupanya kontak antara Kapten Sapari dengan Herman ditangkap pula oleh menara pengawas di bandar Simpangtiga. Yang juga pertama kali mengetahui pembajakan terjadi ialah pesawat patroli AL "Nomad", yang sedang terbang di atas Kepulauan Riau. Patroli, yang melihat Garuda No. 206 itu terbang di luar jalur penerbangan, bertanya. Dari kokpit Herman Rante terdengar jawaban, bahwa pesawat itu sedang dibajak. Tak jelas oleh siapa. Ia tak terbang menuju Medan. Ke mana? Di kantornya di gedung Wisma Central, di Pulau Penang, Malaysia, petugas utarna Garuda di kota itu Supangat Yuzar, 47 tahun, sudah beberapa hari gelisah. Ketika ia bertugas di Bali, tahun 1974, orang Garuda itu pernah merasakan firasat yang sama -- meskipun kali ini lebih lemah. Di tahun 1974 itu, April, sebuah pesawat Pan American Airlines jatuh dan 100 orang lebih tewas. Kini apa yang akan terjadi? Sabtu sekitar pukul 10.50, ia yang berada di kantornya melihat ke pesawat teleks. Di sana disebut: Garuda No. 206 dibajak. Berita dari Jakarta. Dia mula-mula tak percaya. Tapi setelah yakin ia menelepon ke rumah Wakil Konsul Indonesia di Penang, Bakrie Kamaluddin. Hari itu hari Sabtu, kantor tutup, dan Bakrie adalah salah satu petugas senior yang ada waktu itu, karena Konsul sedang berada di Medan. Setelah petugas senior yang lain, Slamet Munaryo, dihubungi, Bakrie kontan ke bandar udara Bayan Lepas dengan mobil. Sebab pesawat yang dibajak dari Palembang dikabarkan sedang menuju ke Bayan Lepas. Di Bayan Lepas, perkembangan dengan cepat terjadi -- dan tak sepenuhnya dapat dijelaskan. Sekitar pukul 11.00, dari udara Kapten Herman Rante menghubungi bandar udara negeri tetangga itu, yang jaraknya cuma setengah terbang dari Medan. Waktu itu pesawat 206 sudah berada 140 mil dari Penangg Herman memberitahu jelas, pesawat sedang dibajak. Ia minta mendarat. Di ruang tunggu airport sejumlah awak Garuda dipimpin Kapten Djoko Setyoso, sudah menantikan pesawat akan mereka gantikan crew-nya beberapa puluh menit sebelum pukul 12.25 Mereka akan bertugas dengan pesawat No. 911. Dan ketika mereka melihat sebuah DC-9 mendarat pada pukul 11.48, salah seorang pramugari bergurau, "Ayo kita main cepat-cepatan ke sana." Tapi ternyata pesawat itu berhenti di kejauhan. Para awak Garuda itu tak bisa menebak bahwa pesawat itu bernomor dan bertuliskan Woyla, nama sungai di Aceh Barat. Mereka juga tak tahu suasana gawat yang mencekam di menara awas dan sekitarnya. Di menara itu telah hadir Komandan Polisi Penang, Haji Zaman Khan, dalam baju safari ungu muda dan dengan tampang tegasnya yang tegang. Juga Slamet Munaryo dan Bakrie Kamaluddin. Tak lama kemudian, datang Perdana Menteri Negara Bagian Penang sendiri, Lim Chong Eu. Mereka menunggu, apa yang dimaui pembajak, sementara pasukan polisi disiagakan di bawah bersama satuan Cadangan Federal yang berpakaian biru tua. Jam 12.20 perundingan dengan pembajak dimulai. Tapi prosedurnya agak unik: para pembajak hanya berbicara melalui Kapten Herman Rante. Yang diminta untuk berhubungan juga pejabat Garuda bukan pejabat pemerintahan setempat. Karena itu Supangat Yusar-lah yang harus di hadapan mike. Supangat, yang -- seperti juga seluruh Indonesia waktu itu -- belum bisa menebak siapa pembajaknya, bertanya-tanya, mengapa justru dia yang dipilih. Dalam komunikasi antara menara dan pesawat yang 2,5 km jaraknya itu Supangat mendengar suara Herman. Kapten berusia 28 tahun itu terdengar sekali gugup, bahkan gementar. "Tenang saja, Herman," kata Supangat sebagaimana ia ceritakan kemudian. Mendengar suara kalem pejabat Garuda berambut putih yang dikenalnya pribadi itu, Herman kontan lega. Lalu ia membacakan tuntutan pembajak -- sementara di menara semua yang hadir mencoba menebak-nebak siapa gerangan pembajaknya, bangsa apa, dan dengan niat apa. Tebakan itu sedikit demi sedikit mulai menemukan jejak. Sementara di bawah, di seantero bandar udara, banyak yang belum tahu persis bahwa pembajakan telah terjadi, meskipun sejak pukul 13 lapangan dinyatakan ditutup total di puncak menara para petugas mulai mengambil kesimpulan jika pembajak lebih dari satu, paling sedikit ada seorang Indonesia di antara mereka. Petunjuk itu dipetik dari suara yang sampai di menara. Seorang pembajak kedengaran menggertak, lewat Kapten Herman, "Tidak boleh didelay!" Bahasa Indonesianya, menurut Supangat, mempunyai aksen Sumatera Utara. Tapi setelah itu, suara para pembajak tak terdengar ke menara lagi. Meskipun demikian, wajah mereka kemudian segera dilihat orang luar. Yakni ketika pada pukul 14, Inspektur Polisi Nasir Yang, 25 tahun, datang mengantarkan peta terbang ke jurusan Kolombo sebagaimana diminta para perompak yang tak dikenal itu. Mereka sebenarnya minta, agar peta, dibawa ke pesawat oleh seorang anak berumur 15 tahun -- mungkin untuk menghindarkan pembokongan. Tapi tak ada anak seusia itu di sekitar sana. Maka Nasir-lah yang dipilih. Perwira ini agak pendek dan potongan rambutnya tak menunjukkan dia polisi. Para pembajak membiarkan Nasir mendekat, dengan syarat agar ia datang cuma dengan bercelana dalam. Nasir pun, dalam pakaian yang terbatas itu, diantarkan dengan sepeda motor yang berhenti beberapa meter dari pesawat. NASIR mendekat, dan sempat melihat dua wajah pembajak. Terutama ketika ia harus membawa seorang penumpang, seorang nenek berumur 76 tahun, turun. Nenek Hulda Panjaitan boru Tobing, yang terbang dari Jakarta sendirian pulang ke Medan, rupanya terkejut dengan apa yang disangkanya sebagai "perang". Ia menangis terus. Para pembajak akhirnya memutuskan nenek itu harus dikeluarkan. Dan Nasir Yang pula yang harus membawa nenek Hulda ke luar. Sang nenek dinaikkan ke sepeda motor yang menanti, lalu dibonceng ke menara. Di pintu pesawat itu, selama beberapa menit, Nasir -- meskipun dalam keadaan tegang -- sempat melihat dua wajah pembajk. Seorang berkulit hitam, keriting. Seorang berkulit lebih putih. Anggota polisi lain yang mengincar Garuda No. 206 dengan teropong, juga melihat seorang pembajak berkulit putih, tapi pada dahinya ada bercak hitam. Kesaksian itulah, tapi terutama kesaksian Nenek Hulda (lihat box: Nenek Hulda, Saksi Pertama), yang akhirnya bisa memperkirakan lebih lanjut siapa gerangan para pembajak. Yang belum jelas pada waktu itu adalah motifnya. Namun untuk menjejaki para pembajak itu lebih lanjut, waktu nampaknya tak cukup. Dua puluh menit setelah perlnintaan pertama -- sebuah peta -- dipenuhi, dan Nenek Hulda diturunkan lewat tangga pesawat, para pejabat Malaysia di menara memenuhi permintaan pembajak selanjutnya. Sebuah mobil tangki Petronas dikirim ke dekat pesawat. Sesuai dengan permintaan pembajak, mobil itu harus hanya membawa dua petugas. Sebelum menempel ke lesawat untuk mengisi bahan bakar, ia harus berkeliling dua kali dulu. Proses pengisian bahan bakar berlang sung hampir satu jam. Selama itu percakapan antara petugas Petronas dengan pembajak dilakukan dengan bahasa isyarat. Bahan bakar yang diisikan adalah 10210 liter, untuk menambah yang tersisa, hingga perut pesawat penuh dan sanggup terbang lagi selama 4,5 jam. Pukul 15.45 mobil tangki itu kembali. Dengan segera permintaan pembajak berikutnya juga dipenuhi. Sebuah truk ringan MAS (penerbangan nasional Malaysia) membawa 60 kotak makan-siang, berisi ayam, roti kismis, kue dan cangkir plastik berisi teh dengan susu. Para pembajak sebelumnya minta 60 nasi bungkus, tapi tentu saja itu sukar didapat di bandar udara Penang. "Kalau yang diminta nasi," kata Supangkat Yusar menceritakan kembali bagaimana ia berbicara kepada para pembajak lewat Kapten Herman Rante, "waktunya akan lebih lama." Para pejabat keamanan di Indonesia pada saat itu sebenarnya justru menghendaki, agar pesawat yang dibajak bisa ditahan lebih lama di Penang. Tapi hubungan antara Indonesia dan Malaysia nampaknya tak begitu lancar. Menteri Dalam Negeri Tun Sri Ghazali Shafie, yang membawahkan dinas kepolisian Malaysia, biasa punya kontak dengan para pejabat intel Indonesia waktu itu tengah berada dalam sebuah upacara pekan kepolisian di ibukota negara. Ia cepat ke Markas Besar Kepolisian di Bukit Aman, Kuala Lumpur begitu ia dengar laporan dari Penang. Dari sana ia mengikuti perkembangan sementara para pejabat teras urusan keamanan Indonesia mengikuti kejadian ini jauh di Ambon. Mereka tengah ikut dalam Rapat Pimpinan ABRI. Kehendak untuk menahan pesawat yang dibajak lebih lama di Penang memang tak kesampaian -- karena terlambat. Toh beberapa kesimpulan sudah bisa ditarik. Pesawat tinggal landas dari Bayan Lepas pada pukul 16.05, tapi menjelang itu baik Jakarta maupun Kuala Lumpur sudah bisa mempunyai beberapa informasi kuat:  Pembajak kira-kira terdiri dari 5 orang, berumur sekitar 30 tahun. Senjata mereka pistol, pisau dan barangkali juga granat. Sebagian besar, kalau tak semuanya, orang Indonesia. Ada seorang tegap tinggi seperti orang Eropa, tapi mungkin juga Arab.  Dari teknik pembajakan, mereka cukup berencana, terutama dalam menghadapi kemungkinan sergapan. Permintaan agar orang yang mendekat tak boleh mengenakan pakaian lain selain celana dalam, menunjukkan itu. Demikian juga halnya permintaan agar mobil tangki berkeliling dua kali, sebelum menempel ke pesawat.  Di pesawat, mereka mengumpulkan arloji, uang, dan barang perhiasan para penumpang. Juga kartu-kartu keterangan. Sebelumnya, mereka menyuruh sebanyak 48 orang penumpang, yang hanya mengisi separuh saja dari pesawat DC-9 yang mampu memuat lebih dari 100 orang, duduk di bagian belakang. Bagian depan kosong.  Motif mereka belum jelas benar, tapi ada beberapa petunjuk. Mereka berbicara tentang "di jalan yang benar." Mungkin mereka kaum fanatik semacam "Islam sungsang" di Malaysia, yang mengkafirkan orang Islam lain -- apalagi yang bukan Islam, dan tak segan-segan menggunakan kekerasan. Tapi kenapa merampas arloji dan sebagainya? Barangkali dana mereka terbatas. Diduga mereka menuju ke Timur Tengah, lewat Kolombo.  Mungkin mereka berangkat dari lapangan udara Talangbetutu, Palembang. Pemeriksaan terhadap senjata di Kemayoran cukup ketat, sementara di Talangbetutu tidak. Tentu saja ada kemungkinan, bahwa mereka berangkat dari Kemayoran, sedang senjata diselundupkan di Talangbetutu. Di sini, penumpang transit, yang mengasoh sebentar sebelum berangkat ke tempat lain, mudah dihubungi dari luar. Tapi diduga lebih praktis mereka berangkat langsung dari Palembang, untuk menghindari pemeriksaan. Agaknya berdasarkan itu semua, intelijen Indonesia sudah dengan segera mencium siapa para pembajak itu. Ketika pada pukul 17.02 pesawat Garuda No. 206 itu mendarat di lapangan terbang militer Muangthai, Don Muang, setelah ditolak untuk mendarat di Kolombo, Sri Langka, dan Madras, India, di Indonesia pencarian sudah digerakkan. Nama-nama mereka, yang tercatat di daftar manifes penumpang dari Palembang, segera dicocokkan dengan daftar orang-orang yang telah dicurigai belakangan ini -- terutama setelah peristiwa penyerbuan pos polisi di Bandung bulan lalu. Di Palembang, hasil pencarian jejak memperkuat dugaan itu. Sementara di beberapa kota di Jakarta pencarian jejak dan pencegahan terhadap teror lebih lanjut diadakan, di Don Muang para pembajak harus menghadapi kenyataan pahit. Mereka tahu, bahan bakar sudah nyaris habis. Kemungkinan terbang ke Barat makin sulit, karena Kolombo dan Madras menolak pesawat mendarat. Para pembajak nampaknya karena itu memutuskan untuk menggertak dengan tuntutan lain. Sementara polisi Angkatan Udara Kerajaan Muangthai dan pasukan khusus Angkatan Daratnya siaga pada jarak hampir 0,5 km dari pesawat, para pembajak minta agar ada hubungan dengan pejabat Indonesia. Dutabesar RI di Muangthai, yang sudah memonitor berita pembajakan sewaktu pesawat masih di Penang, sudah siap di Don Muang bahkan sebelum pesaat mendarat. Maka komunikasi pun berlangsung. Kini yang berbicara lewat radio bukanlah Kapten Herman Rante lagi, melainkan salah seorang pembajak yang jadi pemimpin mereka. Namanya diketahui sudah, Machrizal. Pemuda inilah agaknya, yang oleh Nenek Hulda dilukiskan sebagai bermata ceruk ke dalam, berkumis dan berjanggut tipis. Sebuah sumber mengatakan, ia anak Syekh Muhammad Thoyib, seorang keturunan Arab yang bermukim di Arab Saudi. Bahasa Inggrisnya cukup lancar, tapi pembicaraan dengan Dubes Hasnan Habib dilakukan dalam bahasa Indonesia. Para pembajak segera mengeluarkan tuntutan. Namun mereka memberi kesan, bahwa tuntutan ini agak kacau balau. Tuntutan pertama: agar sebanyak 80 orang tahanan yang disebut sebagai "tahanan politik," dibebaskan. Nama-nama tak disebutkan, tapi tampaknya dihubungkan dengan orang-orang yang ditangkap karena penyerbuan ke markas polisi Cicendo, Bandung, baru-baru ini. Juga yang ditangkap karena "teror Warman" -- bekas DI -- yang menembak polisi dan tentara di Rajapolah, Jawa Barat beberapa waktu yang silam. Para tahanan itu agar dikirim ke luar negeri -- tapi ke mana, tujuan tak disebut. Tuntutan kedua, mereka meminu uang kontan sebanyak US$ 1,5 juta. Tuntutan lain adalah agar "orang rsrael dikeluarkan dari Indonesia." Dan yang terakhir: agar Adam Malik dicopot sebagai Wakil Presiden, karena dia "koruptor besar." Kecuali uang yang US$ 1,5 juta itu, tak ada yang kongkrit sebenarnya dari semua tuntutan para pembajak: jika pemerintah Indonesia misalnya menyatakan sudah memenuhinya, para pembajak itu tak akan bisa melihat sendiri buktinya secara langsung. Agaknya karena itu kalangan keamanan di Jakarta menyimpulkan, bahwa tujuan para pembajak itu pertama-tama sebenarnya hanya untuk "melarikan diri" -- setelah penyerbuan di Cicendo menyebabkan mereka diburu-buru. Dan pemerintah jelas tak akan membiarkan hal itu. Dari Bangkok dikabarkan, bahwa pemerintah Indonesia sudah meminta pemerintah Muangthai untuk mengizinkan digunakan "jalan militer" terhadap para pembajak. Di Jakarta, dengan keras sumber-sumber pemerintah juga membantah berita yang tersiar di luar negeri, bahwa Presiden Soeharto telah menyetujui untuk mengalah kepada tuntutan pembajak. Yang dilakukan mungkin adalah mengulur waktu, seraya mempersiapkan pukulan -- taktik yang efektif dalam menghadapi pembajakan selama ini. Sebab dalam kesiagaan yang panjang dan terus-menerus, para pembajak akan tegang dan letih. Tanda-tanda bahwa moral para pembaj,ak di Don Muang itu terpukul nampak, setelah peristiwa yang tak terduga-duga, terjadi: seorang penumpang, seorang warga negara Inggris, Robert Waimright, 27 tahun membuka pintu darurat dan meloncat ke luar. Dia selamat. Dari dia -- yang segera diwawancarai oleh para pejabat Indonesia dan Muangthai yang bermarkas di tingkat ke-4 bandar udara Dong Muang -- dapat diketahui, para pembajak sebenarnya hanya 5 orang. Enam jam kemudian, percobaan melarikan kedua terjadi. Ketika pukul 4 sore hari Minggu pesawat diberi tambahan bahan bakar dan oli, seorang penumpang bangsa Amerika, Karl Schneider, sekitar 40 tahun, menerobos melalui sebuah pintu samping. Ia meloncat tapi agak telat. Seorang pembajak menembaknya, dan mengenai bahu Schneider. Ia jatuh langsung ke landasan yang keras. Beberapa sumber juga memastikan, bahwa Ko-pilot Hendy Juantoro, ditembak. Tubuhnya dilemparkan dari kokpit. Belum diketahui benar, apakah Juantoro tewas. Yang pasti, Schneider, yang dibawa ke rumahsakit dengan ambulans beberapa puluh menit kemudian berhasil dioperasi dan lepas dari maut. Sementara itu, jam-jam mendekati batas waktu -- yang oleh para pembajak ditentukan pukul 21.00 Senin malam. Batas waktu itu telah dilalui. Di Don Muang belum terjadi apa-apa. Tapi beberapa belas jam sebelumnya, tanpa diketahui para pembajak, sebuah DC-10 Garuda mendarat -- tanpa lampu runway, hanya dibimbing oleh dua mobil jeep yang menyalakan lampunya. Di dalamnya, bersiap satu pasukan komando dengan segala peralatan. "Kansnya 50-50," kata seorang pejabat keamanan. Sudah tentu diusahakan agar para penumpang yang tak bersalah dapat terhindar dari bahaya, tapi risiko tetap ada. Hanya risiko ini bagaimana pun telah dipilih. Sebab, seperti dikatakan oleh pejabat lain, sekali kita menyerah kepada teror, senjata ini akan digunakan terus -- dan makin banyak orang tak bersalah menderita sebagai sandera. "Ada cara Pakistan -- menyerah," kata pejabat tersebut, "ada cara Jerman Barat." Banyak pemerintah, termasuk negara-negara Barat yang biasanya sangat berhati-hati dengan jiwa rakyat pembayar pajak mereka, menggunakan cara terakhir. Seperti kata ahli antiterorisme dari AS Robert Kupperman, setelah komando Jerman menyerbu pembajak di Mogadishu (1977), "dunia yakin bahwa pemerintah Barat akan mengambil risiko membunuh siapa saja jika keadaan memaksa." Dan di Don Muang, 31 Maret sekitar pukul 2.45, apa yang dilakukan komando Jerman Barat di tahun 1977 itu dicoba -- pertama kalinya dalam riwayat pembajakan besar yang memang baru pertama kali ini pula dalam sejarah Indonesia. Sekitar 100 orang pasukan gabungan Indonesia dan Thailand, dinihari 31 Maret menyerbu pesawat Garuda yang dibajak itu di Don Muang, Bangkok. Sebagian pasukan menyerbu dari tangga depan, sebagian dari pintu belakang pesawat, selebihnya mengepung di luar pesawat. Setelah 3 menit tembak-menembak antara pembajak dengan pasukan kedua pemerintah itu 5 pembajak meninggal dunia di tempat itu juga. Selain itu, sepuluh orang -- terdiri dari seorang awak pesawat, seorang pasukan komando Indonesia, selebihnya penumpang -- terluka. Tapi inilah operasi yang sukses, yang menyebabkan Indonesia bangga. Kita telah punya Mogadishu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus