Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kata “kalah” dan “menang” lazimnya mesti hadir dalam sebuah lomba, persaingan, atau permainan.
“Kalah” dan “menang” ternyata dipakai sebuah portal berita daring untuk menilai berita yang tak mengandung unsur permainan, persaingan, apalagi perlombaan.
Menang-kalah dalam portal berita itu bisa dilihat sebagai manifestasi dari hasrat subyektifikasi lingga dan obyektifikasi yoni.
LAZIMNYA, kata “kalah” dan “menang” mesti hadir dalam sebuah lomba, persaingan, atau permainan. Dalam perebutan Piala AFF 2020, umpamanya. Kata “menang” untuk menunjukkan pihak yang menjuarai pertandingan, kata “kalah” untuk pihak yang dicundangi. Namun, dalam sebuah portal berita daring, kata “kalah” dan “menang” ternyata dipakai pula untuk menilai sejumlah berita yang sama sekali tidak mengandung unsur permainan, persaingan, apalagi perlombaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pihak-pihak yang berhadapan di sana adalah seorang laki-laki dan seorang perempuan yang pernah menjalin kasih, lantas berpisah atau berseteru. Juga kedua pihak yang terlibat kasus perundungan seksual. Tanpa membuang waktu atau menunggu akhir persidangan kasus yang bersangkutan, warganet sudah menentukan milik siapa kedua kata tersebut melalui kolom komentar berita. “Menang” untuk laki-laki, “kalah” untuk perempuan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai produk sosial, bahasa jelas dipengaruhi oleh ragam kepentingan. Adapun dalam dunia patriarki, relasi sosial yang berkepentingan adalah relasi laki-laki atas perempuan; maskulin atas feminin. Maka kata, sebagai bagian dari bahasa, lekat pula dengan sistem pendominasian ini. Ia tidak selugu makna-makna yang dipresentasikannya dalam kamus, melainkan lebih daripada itu.
Dalam konteks dominasi maskulin, tubuh dikonstruksikan sebagai realitas yang diseksualkan. Namun, lantaran tubuh perempuan dan laki-laki berbeda, baik secara biologis maupun sosial, prinsip pembagian yang pincang dan kontradiktif pun berlaku.
Sebagai pemegang kendali dunia patriarki, laki-laki telah menetapkan dirinya sebagai pihak yang mendominasi, yang mampu bergerak aktif, berdiri tegak menjulang, kuat, dan tak terkalahkan. Itulah mengapa kata “atas”, “keluar”, “naik”, “keras”, dan “menang” selalu diasosiasikan dengan laki-laki.
Adapun sebagai pihak terdominasi, dengan sewenang-wenang perempuan didapuk sebagai sumber dari segala hal yang pasif, rendah, dan lemah. Sifat-sifat hasil konstruksi dominasi maskulin inilah yang membuat kata “bawah”, “masuk”, “turun”, “empuk”, dan “kalah” dianggap pantas diberikan kepada perempuan.
Pengasosiasian sebuah kata dengan aktivitas atau atribut seksual memang kerap terjadi dan terbiarkan di tengah masyarakat kita. Dalam bukunya, Dominasi Maskulin, Pierre Bourdieu mengakui bahwa, “Karena mirip dalam perbedaannya, maka oposisi-oposisi itu cukup cocok untuk selalu disetujui secara timbal balik, yaitu disetujui dalam dan lewat permainan transfer dan metafora yang tidak pernah habis.”
Tanpa perlu mengetahui alasan di balik putusnya Gisel dan Wijin, sejumlah komentator berita awam lekas berasumsi bahwa Wijinlah juara di akhir hubungan tersebut karena dia sudah “menang banyak”. Nilai lebih karena “menang banyak” juga diberikan kepada seorang selebgram laki-laki yang diseret ke meja hijau oleh almarhumah mantan kekasihnya atas kasus kecelakaan lalu lintas. Bahkan, dalam berita kriminal, satu-dua warganet menilai pelaku perundungan seksual atas banyak gadis telah “menang banyak” berkat prestasinya sebagai laki-laki bajingan tiada tara.
Sehubungan dengan kata “menang” dan “kalah” dalam berita-berita di atas, ia bisa dilihat sebagai manifestasi dari hasrat subyektifikasi lingga dan obyektifikasi yoni. Kata “menang” jelas merepresentasikan penguasaan laki-laki atas tubuh perempuan. Tubuh perempuan yang telah direduksi menjadi benda dipandang sebagai sesuatu yang pantas direbut, dikuasai, dan dimenangkan.
Sementara itu, dalam sudut pandang maskulin, kata “kalah” jelas tercipta untuk perempuan. Apa pun yang terjadi, dan terlepas dari bagaimana bentuk hubungan yang pernah ada, Gisel dan perempuan sesamanya selalu dianggap “kalah” di hadapan laki-laki mantan kekasih mereka. Jika tubuh perempuan dipandang mengandung anasir negatif, tubuh perempuan mantan kekasih bernasib lebih buruk. Ia direduksi nilainya serendah mungkin hanya gara-gara riwayat asmaranya. Kian banyak jumlah mantan kekasih si perempuan, kian rendah nilai tubuhnya. Hal serupa tidak dialami oleh lelaki yang gemar bergonta-ganti kekasih.
Maka terciptalah konstruksi sosial atas tubuh yang sangat timpang antara laki-laki dan perempuan. Sebuah ironi yang terbingkai dengan jelas dan menyakitkan lewat frasa “kalah-menang” atau “menang-kalah”. Bahwa kendati diposisikan sejajar, kata “kalah” akan selalu berarti lebih rendah daripada kata “menang” selayaknya posisi perempuan di hadapan laki-laki.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo