Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Aturan janggal tentang perpanjangan kontrak buruh migran adalah contoh terbaru rendahnya komitmen pemerintah melindungi mereka.
Perlindungan buruh migran selama ini baru sebatas pasal dalam undang-undang, belum terealisasi secara konkret.
Presiden Joko Widodo perlu mengevaluasi bawahannya dan memberikan jaminan perlindungan buruh migran secara maksimal.
KISRUH terbaru dalam aturan perpanjangan perjanjian kerja buruh migran hanya satu contoh buruknya perlindungan negara untuk para pekerja migran Indonesia. Alih-alih mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI), pemerintah malah kerap menjadi aktor utama yang menghambat upaya memenuhi hak-hak buruh migran. Di negeri ini, pelayanan dan perlindungan yang mudah, murah, cepat, dan aman untuk buruh migran tampaknya memang masih sebatas cita-cita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski saat ini penerapannya ditunda, syarat baru dalam proses perpanjangan perjanjian kerja pekerja migran belum dicabut. Syarat yang diatur dalam Surat Edaran Konsulat Jenderal Hong Kong tertanggal 10 Desember 2021 itu merujuk pada Pasal 9 Peraturan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Nomor 1 Tahun 2020 tentang standar, penandatanganan, dan verifikasi perjanjian kerja pekerja migran Indonesia. Warkat itu memuat ketentuan bahwa perpanjangan kontrak pekerja migran harus disertai surat persetujuan suami, istri, orang tua, atau wali yang diketahui kepala desa atau lurah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pencabutan aturan baru BP2MI tersebut seharusnya tak sulit karena pasal itu tak punya landasan hukum. Undang-Undang PPMI hanya mengatur soal syarat adanya persetujuan keluarga atau wali bagi calon pekerja migran, bukan buruh migran yang akan memperpanjang perjanjian kerjanya di luar negeri. Tak hanya cacat hukum, syarat baru itu jelas memperpanjang rantai birokrasi dan menambah beban buruh migran—dua masalah lama yang semula hendak dipecahkan dengan pengesahan Undang-Undang PPMI.
Harus diakui, sejak disahkan Dewan Perwakilan Rakyat empat tahun lalu, undang-undang perlindungan pekerja migran belum punya dampak riil pada kesejahteraan mereka. Sebutan “pahlawan devisa” yang kerap disematkan pejabat pemerintah kepada para buruh migran kita masih sebatas retorika. Aturan terakhir BP2MI adalah bukti kesekian bahwa pemerintah tak sungguh-sungguh menjalankan kewajibannya memberikan pelayanan mudah, murah, cepat, dan aman untuk mereka.
Undang-Undang PPMI, yang lahir sebagai komitmen Indonesia untuk memenuhi amanat konstitusi dan konvensi internasional tentang perlindungan hak pekerja migran dan keluarganya, bahkan hingga kini tak dilengkapi aturan pelaksana. Dualisme kewenangan antara Kementerian Ketenagakerjaan dan BP2MI—dulu Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI)—pun berlanjut. Itu salah satu sebab pelayanan dan perlindungan buruh migran tak pernah maksimal.
Walhasil, pekerja migran terus terjebak pada posisi paling rentan dieksploitasi. Jika beruntung tak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang, pekerja migran kerap terjebak jadi sapi perahan para calo, perusahaan penyalur tenaga kerja yang nakal, hingga penyelenggara negara yang culas. Kondisi ini diperparah oleh sikap aparatur pemerintah yang abai menghormati harkat, martabat, dan hak-hak perempuan—kelompok terbesar buruh migran.
Presiden Joko Widodo harus segera mengevaluasi kinerja para bawahannya. Mereka yang tak punya komitmen melindungi buruh migran harus diberi sanksi tegas. Tanpa pembenahan mendasar, pemerintah bisa dituding ikut melanggengkan pola lama bisnis penyediaan buruh Indonesia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo