Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pagebluk juga memunculkan persoalan gawat: memburuknya kesehatan mental kaum muda.
Masalah yang paling menonjol adalah kecemasan, depresi, dan trauma psikologis.
Kepedulian pemerintah dan masyarakat akan problem kesehatan jiwa masih rendah.
PANDEMI Covid-19 tidak hanya menyuguhkan angka kematian yang masif atau terpuruknya dunia usaha. Pagebluk juga memunculkan persoalan gawat: memburuknya kesehatan mental masyarakat, khususnya kaum muda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa kasus bunuh diri belakangan ini bisa jadi hanya letupan kecil dari persoalan besar kesehatan mental masyarakat. Pelbagai masalah yang membelit di masa pandemi membuat angka kasus depresi melonjak tajam pada anak-anak dan remaja. Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) mencatat satu dari lima remaja berusia 15-24 tahun menderita depresi selama masa pagebluk. Rasio di Indonesia lebih buruk, yaitu satu berbanding tiga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasil survei Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) menunjukkan tren yang lebih mengkhawatirkan. Dalam lima bulan pertama masa pandemi, dari 4.010 orang yang mengakses sistem swaperiksa PDSKJI, sekitar 64,8 persennya mengaku mengalami masalah psikologis.
Masalah yang paling menonjol adalah kecemasan, depresi, dan trauma psikologis. Bahkan satu dari lima orang berpikiran lebih baik mati. Gangguan psikologis terbanyak ditemukan pada kelompok usia 17-29 tahun dan di atas 60 tahun.
Banyak faktor yang memicu depresi pada anak-anak dan remaja, di antaranya pembatasan mobilitas masyarakat oleh pemerintah. Pembatasan aktivitas itu memaksa anak-anak menghabiskan waktu yang berharga terpisah dari teman sebaya dan sekolah. Akibatnya, mereka kehilangan kesempatan bermain dan bersosialisasi. Padahal semua itu penting bagi anak-anak dan remaja.
Perhatian pemerintah terhadap kesehatan mental masyarakat juga masih rendah. Pemerintah belum memprioritaskan pemenuhan kebutuhan akan pelayanan kesehatan jiwa. Hal itu, misalnya, terlihat dari tidak masuknya kesehatan mental sebagai prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.
Bukan hanya itu. Kementerian Kesehatan malah mematikan nomor kontak (hotline) pencegahan bunuh diri. Padahal angka gangguan kejiwaan meningkat dari tahun ke tahun. Fasilitas untuk kesehatan mental di pelayanan kesehatan tingkat dasar pun tak mendukung. Dokter yang paham soal kesehatan mental di pusat kesehatan masyarakat terbatas.
Pemahaman dan kepedulian masyarakat akan kesehatan mental juga masih rendah. Sebagian masyarakat menganggap orang yang berkonsultasi ke psikolog adalah gila. Stigma seperti itu harus dihilangkan.
Pemerintah dan masyarakat tidak boleh menyepelekan kasus depresi yang berujung bunuh diri, meski jumlahnya masih bisa dihitung jari. Pemerintah semestinya lebih sigap dengan menyediakan pelbagai layanan krisis, baik lewat telepon maupun akun media sosial, untuk konseling masalah kejiwaan. Pemerintah juga harus meningkatkan cakupan layanan kesehatan mental di puskesmas dan rumah sakit.
Membangun pelayanan kesehatan jiwa yang lebih baik merupakan kewajiban pemerintah yang diamanatkan Undang-Undang Kesehatan Jiwa. Berlaku sejak 2014, undang-undang ini sejatinya telah mengatur pelbagai aspek pelayanan kesehatan mental, dari urusan pencegahan, pengobatan, hingga rehabilitasi. Pemerintah seharusnya memastikan apa yang tersurat dalam aturan menjadi kenyataan di lapangan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo