PRESIDEN Abdurrahman Wahid tampaknya terus-menerus ketiban apes belakangan ini. Maksud hati menjelaskan ketidakterlibatannya dalam skandal Bulog, eh, malah lahir kasus lain yang tak kalah serunya: bantuan Sultan Brunei.
Bantuan itu berjumlah US$ 2 juta, dan katanya untuk membantu rakyat Aceh. Tentu saja banyak orang tercengang, bagaimana juntrungannya bantuan itu bisa diberikan, kapan mintanya, siapa yang menerima uangnya. Tapi, bukanlah Gus Dur kalau tidak segera bisa berkelit. Penjelasan lanjutan yang disampaikan "orang dekatnya" adalah bahwa bantuan Sultan Brunei Darussalam, Hassanal Bolkiah, itu sifatnya pribadi, dan Gus Dur pun menerimanya sebagai pribadi.
Sudah jelas? Justru semakin kabur dan semakin menyudutkan sang Presiden. Seandainya Gus Dur bukan presiden, apakah Sultan Brunei juga memberikan bantuan kepada pribadi Gus Dur? Banyak orang meragukan hal ini.
Mungkin Gus Dur akan berkelit lagi, entah dengan cara apa. Namun, ketimbang repot-repot "memahami Gus Dur", lebih baik kita merancang suatu aturan bagaimana kalau presiden menerima sesuatu dari negara sahabat. Sesuatu itu bisa berupa uang, bisa berupa benda, yang biasa dikategorikan cendera mata. Di masa Orde Baru, Presiden Soeharto acap kali menerima cendera mata. Tak jelas persoalannya, apakah benda-benda itu menjadi milik pribadi atau milik negara. Yang diketahui masyarakat adalah beberapa dari cendera mata yang memang ada yang bernilai tinggi itu tersimpan di museum yang dibangun keluarga Soeharto di kompleks Taman Mini Indonesia Indah.
Selama ini, aturan mengenai presiden menerima sesuatu dari negara asing yang sifatnya personal belum ada. Karena itu, ada semacam desakan dari masyarakat agar presiden, baik sebagai pribadi maupun kepala negara, tak bisa begitu saja menerima sesuatu dari negeri sahabat. Harus ada rambu-rambunya. Tujuannya justru untuk menyelamatkan presiden dari gunjingan yang tak perlu. Bukankah presiden terikat pada sumpah jabatan yang membatasinya untuk menerima hadiah, hibah, atau pemberian-pemberian lainnya?
Apalagi, itu menyangkut dana besar dan untuk kepentingan kemanusiaan, kepentingan sebuah bangsa. Kenapa pembantu presiden tidak dilibatkan? Atau, kenapa DPR tidak diberi tahu lebih dahulu? Kalau sejak awal transparan, gunjingan bisa diredam, dan bisa jadi presiden akan mendapatkan nilai positif karena bisa mendapatkan dana tanpa terikat utang untuk kepentingan yang mendesak. Lagi pula, pertanggungjawaban bantuan itu bisa lebih rapi.
Tindakan dan langkah Presiden Gus Dur belakangan ini memang rada sulit untuk dipahami, betapapun kita berusaha memahaminya. Bagaimana kalau sekali-sekali Gus Dur yang memahami rakyat yang berjuta-juta ini? Sebab, yang dituntut rakyat sangatlah jelas: kestabilan politik untuk mengakhiri krisis ekonomi yang panjang ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini