Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Rem Kejut Amerika dan Kita

Kebijakan Bank Sentral AS mengancam perekonomian kita. Biarkan BI menangkalnya dengan bebas.

11 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengantin baru biasa diberi guyonan happy landing, selamat mendarat. Perekonomian dunia, kendati bukan pengantin baru, juga pantas mendapatkan ucapan itu—walau dengan sedikit modifikasi: sudah happy jika bisa landing.

Belum lama lolos dari krisis, perekonomian dunia tengah menanti datangnya bahaya baru. Ancaman itu datang dari Amerika Serikat—negeri yang selama krisis justru menjadi ''surga nyaman". Berkat kesentosaannya, Amerika mengisap seluruh sumber keuangan dunia. Maret lalu saja, jumlah uang asing yang memborong saham perusahaan Amerika mencapai US$ 24 miliar lebih—delapan kali belanjaan Maret tahun lalu. Kuartal pertama tahun ini saja, laju perekonomian mereka tumbuh 5,4 persen—dua kali lipat biasanya.

Masalahnya, pertumbuhan fantastis itu mulai kepanasan. Federal Reserve, kumpulan bank sentral negara-negara bagian AS, melihatnya sebagai petunjuk adanya sumber inflasi. Untuk mendinginkannya, The Fed telah mulai mengerem pertumbuhan ekonomi dengan menaikkan suku bunga dolar, sejak setahun lalu. Terakhir, pertengahan Mei lalu, bunga dolar naik 0,5 persen sekaligus, menjadi 6,5 persen.

Hasil pengereman itu mulai tampak dari lesunya penjualan barang konsumsi dan rumah hunian, yang mulai muncul bulan lalu. Statistik terbaru yang diumumkan Jumat kemarin mempertegas sinyal tersebut: penjualan mobil merosot dan tingkat pengangguran naik menjadi 4,1 persen. Dari angka-angka ini, perekonomian Amerika diperkirakan akan kembali ke rel yang benar: tumbuh cuma 3,5-4 persen.

Meskipun demikian, tak ada yang menjamin The Fed akan berhenti mengerem. Selama berpuluh tahun terakhir, tingkat pertumbuhan Amerika yang dianggap aman adalah 2,5 persen. Selain itu, tingkat pengangguran yang dipercaya tak merangsang kenaikan upah (sehingga tak memompa inflasi) adalah 5-5,25 persen. Dengan tingkat pengangguran 4,1 persen saat ini, ancaman inflasi tak bisa dilupakan—kecuali jika perekonomian direm lebih pakem hingga tinggal 2 persen selama beberapa bulan. Tapi apa artinya itu? Tidak lain: perekonomian AS akan direm mendadak.

Pengereman mendadak yang biasa disebut hard landing inilah yang dikhawatirkan akan mengancam perekonomian dunia, saat ini. Jika mesin perekonomiannya melamban tiba-tiba, mudah dibayangkan, dunia bakal diancam resesi global. Pengaruh Amerika sebagai negara dengan perekonomian terbesar, tampaknya, tak perlu diperdebatkan. Tapi soalnya: siapa bakal kena setrum paling dahsyat? Negara-negara yang pasarnya ada di Amerika, seperti Taiwan dan Korea, mungkin akan menderita. Tapi dua jagoan ekspor elektronik itu akan mendapat kompensasi dari basis pasarnya yang beragam.

Indonesia tak mengandalkan ekspornya ke AS, tapi bukan berarti tak terancam. Sebagai negara pengutang, kenaikan suku bunga dolar akan menaikkan jumlah cicilan utang luar negeri. Menurut catatan Bank of International Settlements (BIS), Indonesia merupakan pengutang besar di Asia Tenggara. Dengan beban utang pemerintah hampir US$ 80 miliar, tiap kenaikan satu persen bunga dolar akan menambah beban cicilan Rp 6,4 triliun.

Lebih celaka lagi, pinjaman pemerintah ke pasar domestik juga segede gunung. Kenaikan bunga dolar pasti mendesak bunga rupiah. Akibatnya, pengeluaran pemerintah untuk membayar kupon obligasi melonjak. Jika suku bunga rupiah naik satu persen saja, belanja pemerintah akan naik sekitar Rp 3 triliun. Sekarang saja, Indonesia telah menghabiskan 35 persen dari pos pendapatannya untuk membayar kupon obligasi. Kalau anggaran jebol, pemerintahan bisa terguling. Tapi, jika suku bunga tak dinaikkan, nilai tukar rupiah yang ganti terancam. Jika ini terjadi, pemerintahan juga bisa terguling.

Apa yang bisa kita lakukan? Tak banyak. Tapi salah satu yang penting: menyerahkan segala keputusan pengelolaan moneter kepada bank sentral, sesuai dengan amanat undang-undang—tanpa curiga. Pelbagai prasangka seolah-olah pemerintah dan bank sentral saling menjatuhkan bukan cuma tak menghilangkan ancaman hard landing, tapi malah memperberatnya. Setiap pelanggaran ''wilayah" pihak lain hanya akan mengirimkan sinyal ketidakpastian yang berakibat buruk kepada pasar.

Sebaliknya, dengan kewenangan begitu besar, bank sentral harus bisa membuktikan kemandiriannya, bukan cuma terhadap pemerintah, tapi juga terhadap bagian kekuasaan yang lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus