Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PIALA Dunia Jerman sudah berakhir di Berlin Senin pekan lalu, tapi orang masih bicara tentang sepak bola. Bukan kemenangan Italia atas Prancis yang diperbincangkan. Lebih asyik bicara "duel" Zinedine Zidane, kapten tim Prancis, dan Marco Materazzi, pemain belakang Italia. Sebuah "duel" yang celaka, sekaligus menjadi momen paling tak terlupakan dalam P-iala Dunia 2006.
Seluruh dunia bertanya, kenapa Zidane yang selalu santun itu tiba-tiba menghampiri dan menanduk dada Materazzi tanpa ada bola yang diperebutkan. Kartu merah memang sangat pantas untuk Zidane, tapi mengapa pensiun dari Piala Dunia dengan cara seburuk malam di Berlin itu?
Dan Materazzi-aha, pandai nian dia bermain drama-kelihatan terjatuh dan tergeletak, meringis sambil memegangi dada. Ia ingin memberi kesan akibat tandukan Zidane itu parah. Padahal, dengan latihan berat yang teratur, pemain bertahan sekaliber dia sangat terlatih menahan hantaman bola-bola keras. Kalau tidak, sulit membayangkan Materazzi mampu menjadi "pagar" untuk membentengi gawangnya dari tendangan bebas yang b-iasanya dilakukan pemain lawan sekuat tenaga. Dan benar, lihat Materazzi yang mampu terus bermain penuh, bahkan mencetak gol dalam adu penalti.
Materazzi, kalaupun ia berpura-pura, tak bisa di-bilang bersalah. Zidanelah yang menyerangnya secara fisik. Pe-nyebab kemarahan anak Prancis berdarah Aljazair berusia 34 tahun itu belum seluruhnya terungkap. Sebagian kisah pedih itu masih jadi misteri. Ya, sama misteriusnya dengan angka-angka ini: kejadian buruk itu muncul di menit ke-108 dan pada saat Zidane bermain yang ke-108 kali untuk tim nasional negaranya.
Tak perlu serius benar dengan serba kebetulan ini. Yang perlu serius diungkap, terutama oleh FIFA, federasi sepak bola internasional, adakah penghinaan itu berbau rasis atau tidak. Semula tersiar kabar, ahli forensik spesialis baca bibir Jessica Rees dari London mendapati Materazzi mengejek Zidane dengan kata-kata "anak seorang teroris kotor". Kalau benar, ini ejekan berbahaya. Ungkapan "teroris", terutama setelah Tragedi 911 di New York, sering dialamatkan secara tidak sepatutnya pada penganut Islam, agama yang dianut Zidane. Menurut ketentuan FIFA, umpatan bernada rasis harus langsung diganjar kartu merah.
Tapi Zidane mengakui Materazzi tidak mengucapkan kata "teroris". Bekas pemain klub Juventus yang selama lima tahun berada di Italia itu berkata Materazzi menghina ibu dan saudara perempuannya. Pembaca bibir Jessica Rees mendapati tambahan kata-kata "viffanculo" keluar dari mulut Materazzi, yang dalam bahasa Inggris berarti "f*** off". Rupanya, di situ titik batas ke-sabaran Zidane. Ia meledak. Kartu merah ke-14 sepanjang kariernya akhirnya harus ia terima tanpa protes berarti.
Apa pun pengakuan Zidane, juga Mate-razzi, investigasi FIFA tetap penting dija-lankan. Keputusan FIFA yang, konon, diambil pada Jumat mendatang, sungguh me-narik ditunggu. Di tengah kampanye antirasisme yang kini gencar dikampanyekan, FIFA perlu benar membongkar tabir tragedi di menit ke-108 itu. Lapangan sepak bola harus dipastikan bebas dari teror yang dilancarkan pemain atas perbedaan agama, asal-usul, ras, atau apa pun.
Semua kemungkinan masih terbuka, termasuk apakah Zidane tetap layak dinobatkan sebagai Pemain Terbaik Piala Dunia 2006. Tanpa "tandukan" mautnya, jelas ia yang terbaik. Semua kriteria sebagai yang paling hebat dia miliki: penuh inspirasi, tajam, dan mampu mengangkat timnya. Tapi kini dia mengandung "cacat" yang serius: ia menumbangkan lawan tanpa ada bola. Gelar yang terbaik tak bisa disandang-nya dengan citra yang cedera demikian parah. Apalagi, sebagian besar wartawan yang memilihnya memasukkan suara sebelum partai final dimulai.
Yang bisa kita terima: pemain-pemain besar, di cabang olahraga mana pun, kadang kala punya ulah yang bodoh dan berbahaya. Pele, pujaan penggila bola asal Brasil itu, pernah dua kali dianggap sengaja mematahkan kaki lawan. Dalam pertandingan persahabatan melawan Jerman Barat pada 1965, korbannya adalah Kiesman. Sedangkan ketika bermain untuk klubnya, Santos, melawan klub Cruzeiro, pada 1968, korban "keganasan" Pele adalah Procopio. Pada semifinal Piala Dunia 1970, Pele menyikut keras pemain Uruguay, Fontes.
Tentu Anda belum lupa betapa bodoh dua pemain sehebat Frank Rijkaard dari Belanda dan Rudi Voller dari Jerman yang saling meludahi wajah di Piala Dunia 1990. Keduanya kena kartu merah.
Bintang besar dengan kelakuan paling gila tentulah Mike Tyson. Pada Juni 1997, bertanding di Las Vegas, Amerika Serikat, melawan Evander Holyfield, dalam partai "balasan" setelah Tyson kalah sebelumnya. Di ronde ketiga kegilaan itu datang: Tyson menggigit kuping kanan Holyfield sampai "sompel" dan meludahkan potongan kecil kuping itu.
Zidane tidak sesinting Tyson. Yang paling menarik, Zidane tahu kesalahannya tak termaafkan. Itu sebabnya ia tak mau menerima medali perak sebagai juara kedua. Seharusnya ia juga menolak gelar Pemain Terbaik. Mengutip Michel Hidalgo, bekas pelatih Prancis, Zidane hebat tapi dia manusia biasa yang bisa rapuh dan patah. "Dia bukan Zorro atau Tuhan Sepak Bola."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo