Di tengah ramainya media massa memberitakan kasus korupsi Rp 1,3 triliun di Bapindo, saya tergelitik untuk memberi komentar. Yakni tentang beberapa kejanggalan di sekitar kasus korupsi tersebut. Kejanggalan pertama, mengapa BPKP tidak jeli mencium bahwa telah terjadi penyalahgunaan uang negara sebesar Rp 1,3 triliun di tubuh Bapindo. Ternyata yang pertama kali mencium dan membeberkan kasus itu ke permukaan adalah A. Baramuli, salah seorang anggota DPR. Maka, dapat disimpulkan, aparat BPKP seolah-olah "menutup mata" atas kasus korupsi tersebut. Kejanggalan kedua, ada tudingan bahwa "surat sakti" (katebelece) Sudomo, sebenarnya, besar peranannya dalam kasus korupsi tersebut, tapi mengapa Kejaksaan Agung tak pernah menyelidiki sejauh mana sebenarnya keampuhan "surat sakti" Sudomo itu sehingga mereka yang dikirimi merasa tertekan dan tak berdaya menolak permohonan kredit Eddy Tansil. Padahal dalam KUHAP diatur bahwa suatu "surat" merupakan salah satu alat bukti sah untuk menilai dan membuktikan benar tidaknya seseorang melakukan suatu tindak pidana. Jika dikaji lebih saksama, sebenarnya, tindakan Sudomo itu bukan tak mungkin telah melanggar Pasal 55-56 KUHP (turut serta melakukan perbuatan yang dapat dihukum). Juga melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, di samping melanggar sumpah jabatan. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan tersebut, di samping Sudomo sendiri dengan terus terang mengaku bahwa ia bersedia diperiksa dan diadili, sekali lagi, mengapa Kejaksaan Agung tak berani menjerat Sudomo dengan undang-undang tersebut? Bukankah kita sendiri menganut prinsip "tak seorang pun yang kebal hukum di tanah air"? Kejanggalan ketiga, adanya rencana Mar'ie Muhammad mengajak manajemen asing di Bapindo untuk memulihkan kepercayaan internasional terhadap sistem perbankan Indonesia dengan alasan kita kekurangan tenaga profesional. Tampaknya, gagasan itu terlalu mengada-ada alias tak logis. Mengapa demikian? Siapa pun tahu, para mantan direktur utama Bapindo yang kini ditahan Kejaksaan Agung sebenarnya adalah bankir profesional (senior). Mereka itu mengawali kariernya dari bawah, bukan bankir karbitan. Mereka tentu paham mana yang "halal" dan mana yang "haram". Kasus itu terjadi lebih karena masalah moral mereka. Tepatnya, rendahnya tingkat loyalitas mereka terhadap tanah air dan bangsa.ERWIN, S.H.Jalan W.R. Supratman 49 Kecamatan Lubuk Pakam I-II Deli Serdang, Sumatera Utara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini