SEKITAR seribu pemuda dan mahasiswa bertingkah laiknya demonstran. Mereka memanjat pagar, menggelar poster, berteriak- teriak, bahkan sempat menggelar "acara mimbar" bebas di pelataran Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa dua pekan lalu. Sebagian dari mereka datang dari Malang, Surabaya, Yogya, dan Bogor. Selebihnya, para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta. Tentu, suasana ini tak biasa terjadi di pengadilan. Selama ini, hakim selalu bersikap tegas kepada para pengunjung sidang pengadilan yang berbuat berisik. Tapi, hari itu, yang diadili di sana adalah 21 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi. Kelompok ini melakukan aksi di Gedung DPR RI Senayan, 14 Desember tahun lalu. Acara itu semula dimaksudkan untuk menunjukkan rasa solidaritas mereka atas nasib Nuku Soleiman, pemimpin Yayasan Pijar Jakarta, yang ditahan polisi, dituduh menghina Presiden (kini sudah divonis 4 tahun penjara). Tapi rupanya aksi berkembang, 21 mahasiswa itu pun ditahan. Dengan pengunjung seperti ini, pengadilan memang menjadi lain. Coba, ketika ketua majelis yang memeriksa 11 terdakwa di lantai tiga gedung itu menanyakan pekerjaan Saeb -- salah seorang terdakwa -- yang menjawab adalah pengunjung tadi. "Pekerjaannya memusuhi Soeharto...," teriak mereka. Padahal, jabatan Saeb, terdakwa itu, adalah Kepala Sekolah Madrasah Diniyyah, di sebuah kota di Jawa Barat. Merasa terganggu seperti itu, ketua majelis hakim, L.L. Hutagalung, terpaksa beberapa kali mengetukkan palu meminta agar pengunjung sidang bersikap tertib. Tapi mereka terus saja bertingkah. Suasana serupa terjadi pula di lantai dua, tempat sebagian lagi dari 21 mahasiswa itu diadili. Di ruang sidang mereka berteriak, menyanyi, dan bahkan ada yang merokok dengan bebasnya. Berkas perkara ini dipisah tiga. Teddy Wibisono bersama 10 temannya diadili di lantai tiga. Sedangkan Gunardi Aswantoro bersama tiga temannya, kemudian Yeni Rosa Damayanti dengan lima lainnya, diadili di lantai dua gedung yang terletak di Jalan Gajah Mada, Jakarta. Dalam dakwaannya para jaksa penuntut umum menuduh 21 terdakwa itu melakukan demonstrasi di Gedung DPR RI dengan menggelar poster, berteriak, dan membaca puisi bersama 150-an massa lainnya. Di antara poster itu berbunyi "Seret Presiden ke Sidang Istimewa MPR", "Pendekatan Keamanan = Pembantaian". Poster, teriakan, dan puisi yang mereka bacakan hari itu dianggap jaksa menyerang nama baik dan martabat Kepala Negara. Karena itu, jaksa menjaring mereka dengan Pasal 134, 137, 207, dan 208 KUHP, mirip dengan pasal yang dituduhkan ke pemimpin Yayasan Pijar tadi. Mereka diancam hukuman 6 tahun penjara. Untuk menghadapi perkara ini, LBH Jakarta menyiapkan 50 pengacara, suatu jumlah yang tak kepalang tanggung. Maka, perkara ini -- akan dilanjutkan mulai Selasa pekan ini -- tampaknya akan menjadi pentas yang riuh. Sayang, rupanya, tak semua mahasiswa itu mempercayakan perkaranya ke 50 pengacara tadi. Sampai perkara ini disidangkan pengadilan, setidaknya sudah lima terdakwa yang menarik kuasanya dari LBH. Gunardi Aswantoro, mahasiswa ITS, dan Anthony Leroy John Ratag dari Unair Surabaya menyerahkan kuasanya ke Soeprapto, pengacara di Jakarta yang lulusan Unair. Yunus, mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga Yogya, dan Farid, aktivis LSM Palembang, meminta bantuan hukum ke Pengacara Henry Yosodiningrat. Sedangkan Masduki, mahasiswa Universitas Brawijaya Malang, menunjuk Pengacara Saiful Bahri dari Surabaya. Kepada mereka menyempal? Kepada TEMPO Yunus mengaku agak kesal dengan LBH. "LBH tak komunikatif dan jarang sekali datang menemui kami," katanya. "Makanya, ya, sekalian saja kami memanfaatkan pengacara yang lain," kata Anthony, teman- nya. Tapi mereka yang mencabut kuasa dari LBH itu mengaku telah mendiskusikan langkah mereka sebelumnya dengan sesama temannya yang tetap dengan LBH. Hendardi, salah seorang direktur YLBHI, tak membantah tuduhan itu. Tapi, menurut Hendardi, hal itu lebih disebabkan oleh pihak mahasiswa sendiri yang kurang terbuka dan minta perhatian berlebihan. Berbeda-bedanya peng-acara yang mendampingi para mahasiswa itu tampaknya akan menimbulkan masalah. Luhut Pangaribuan dari LBH, misalnya, dengan tegas mengatakan melihat perkara itu sebagai kasus politis. "Kami sudah punya persepsi untuk mengantisipasi segala kemungkinan," katanya. Sedangkan Soeprapto, pengacara dari luar LBH, menegaskan ia hanya akan melihat perkara itu secara yuridis formil. "Soal politis itu bukan urusan saya," katanya. Meski demikian, semua kelompok pengacara itu sama menegaskan bahwa untuk kepentingan kliennya masing-masing mereka akan selalu mengadakan koordinasi. Tapi kenyataannya tiap kelompok pengacara tetap punya visi sendiri-sendiri dalam menafsirkan istilah koordinasi itu. Pengacara Saiful Bahri, misalnya, dengan tegas mengatakan ingin bergabung bersama-sama tim LBH. Sedangkan Pengacara Henry Yosodiningrat, dalam hubungan dengan LBH, dengan tegas berkata, "Saya jelas nggak mau, dong, kalau diatur-atur." Dalam menghadapi tuduhan jaksa, misalnya, sementara yang lain sibuk menyiapkan eksepsi, Henry sendiri tenang-tenang saja. Ia mengatakan tak akan membuat eksepsi. Semua ini boleh jadi membuat perkara tersebut akan tambah berwarna saja.Agus Basri, Bina Bektiati, dan Nunik Iswardhani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini