Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kasus medan

Protes buruh di medan menjurus kepada kerusuhan rasial. pemerintah menuduh dalangnya adalah SBSI, organisasi buruh yang tak diakui. Muchtar Pakpahan, ketua umumnya, diminta bertanggung jawab.

30 April 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAYA punya seorang teman. Dia anti pemerintah. Apa saja yang dia katakan, pasti penilaiannya negatif terhadap pemerintah. Saya agak segan berbicara dengan dia, apalagi kalau ada di antara banyak orang. Karena, orang seperti ini, saya tahu, sering diikuti intel. Suatu kali, saya berpapasan dengan dia di sebuah toko swalayan yang ramai. Sebenarnya, saya sudah berusaha mengelak, tapi dia sudah keburu melihat saya. Dia langsung memanggil dan menghampiri saya. "Kau sudah dengar aksi pemogokan buruh di Medan?" katanya. "Ya, mengapa?" tanya saya, acuh tak acuh. Maka, tanpa diminta, dia pun mulai nyerocos. Menurut dia, aksi tersebut memang digerakkan oleh Serikat Buruh Sejahtera Indonesia alias SBSI. "Tujuannya murni, yakni menaikkan upah buruh demi memperbaiki nasibnya. Saya kenal Muchtar Pakpahan, pemimpin SBSI. Dia orang yang keras, tapi jujur dan idealis," katanya. Pemerintah tak senang dengan adanya SBSI. "Pemerintah sekarang kan pemerintah yang menekankan pertumbuhan ekonomi. Karena itu, pemerintah lebih berpihak pada pengusaha. Pengusaha adalah golongan wiraswasta yang bisa meningkatkan produksi. Tugas pemerintah adalah menciptakan iklim bisnis yang baik bagi para pengusaha ini. Antara lain buruh yang dibayar murah dan tidak suka membuat onar," ia menjelaskan. "Karena itu, pemerintah hanya mengizinkan satu serikat buruh, yakni SPSI atau Serikat Pekerja Seluruh Indonesia. Tapi para buruh tahu bahwa serikat buruh yang satu ini lebih dekat kepada majikan dan pemerintah ketimbang buruh. Bahkan di satu daerah, ketua SPSI adalah seorang pemilik perusahaan besar. Ini sebenarnya tak mengherankan, karena bukankah Menteri Tenaga Kerja kita, Abdul Latief, adalah juga seorang majikan pemilik perusahaan besar?" katanya lagi. Saya belum sempat menjawab apa-apa, tapi teman saya terus melanjutkan ceritanya dengan suara keras. Saya mulai waswas, apalagi karena dia menyebut-nyebut nama Menteri Tenaga Kerja. Saya lihat ada beberapa orang menengok dan mulai memperhatikan apa yang dikatakan teman ini. "Pendeknya, pemerintah ingin supaya buruh tidak berbuat macam-macam. Lihat saja, Marsinah dibunuh karena memimpin aksi pemogokan. Adanya SBSI jelas menyulitkan pemerintah. Sebenarnya, serikat buruh ini akan dibubarkan. Tapi Muchtar cukup pandai untuk menggunakan peluang yang ada, yakni tekanan pemerintah Amerika Serikat yang menginginkan di Indonesia terdapat sistem perburuhan yang demokratis. Kalau tidak, ekspor kita ke negara ini akan kehilangan kemudahan-kemudahan khusus yang diberikan oleh pihak Amerika. SBSI berlindung di balik 'kartu' Amerika ini." Dia berhenti sebentar sambil menengok kepada orang berkacamata hitam yang membaca koran di dekatnya, yang tampaknya menaruh perhatian pada apa yang dikatakannya. Tapi teman saya tampaknya tak peduli. "Adanya SBSI dan Muchtar Pakpahan yang besar mulut ini sungguh-sungguh menjengkelkan. Memang organisasi ini tak bisa menggoyangkan kekuasaan pemerintah. Tapi, ibarat nyamuk, dia terus mengaum di kuping kita, dan ini membuat pusing. SBSI dan Muchtar Pakpahan harus dihentikan geraknya," katanya. "Lalu, apa yang akan dilakukan oleh pemerintah?" saya bertanya, mulai tertarik terhadap ceritanya ini. "Me-Malari-kan SBSI dan meng-Hariman-Siregar-kan Muchtar Pakpahan," kata teman saya dengan wajah yang puas, seperti seorang bapak yang sedang memamerkan kebolehannya kepada anaknya yang sedang menantikan jawaban untuk sebuah pertanyaan sulit yang dia ajukan. "Maksudnya bagaimana?" tanya saya, kurang paham. "Begini. Kau ingat kan peristiwa Malari pada tahun 1974. Pada waktu itu ada demonstrasi mahasiswa yang dipimpin oleh Hariman Siregar dan kawan-kawannya. Demo ini memalukan pemerintah Indonesia yang sedang menerima tamu Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka. Karena itu, demo ini harus dihentikan, dan Hariman harus dihukum," kata teman saya. "Lalu, apa yang dilakukan oleh pemerintah?" tanya saya, mengulang pertanyaan sebelumnya. "Ya, demo yang dirancang secara damai oleh Hariman dan kawan-kawannya tiba-tiba menjadi kasar dan merusak. Mobil diterbalikkan dan kompleks pertokoan Senen dibakar. Atas dasar ini, maka kesatuan militer diturunkan, dan Hariman bersama kawan-kawannya ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara," teman saya tersenyum. "Ya, logis dong. Kalau demo itu menjadi kasar dan merusak, dia harus dihentikan," kata saya tegas. "Nah, itulah kehebatan pemerintah. Demo Hariman kehilangan simpati masyarakat, dan tindakan pemerintah mendapat dukungan. Tapi, dari pengadilan dan dari keterangan-keterangan yang diperoleh kemudian, menjadi jelas bahwa tindak perusakan itu diatur oleh pemerintah. Pendeknya, aksi kekerasan tersebut bertujuan menjerumuskan Hariman dan kawan-kawannya, supaya aksi-aksinya bisa ditumpas." "Jadi...," tanya saya terperangah atas keterangan teman ini. "Jadi, ya, jelas. Aksi perusakan yang terjadi di Medan bisa juga rekayasa, dengan tujuan menghancurkan SBSI. Supaya lebih dramatis, perusakan itu juga diarahkan kepada pengusaha- pengusaha Cina, sehingga unsur rasialisnya bertambah jelas. Maka, kalau nanti pemerintah melakukan aksi penumpasan dan penangkapan terhadap kader-kader SBSI, tindakan ini akan mendapatkan simpati dan dukungan masyarakat. Paham?" tanya teman saya dengan nada menang. Sebagai warga negara yang baik, tentu saja saya tak setuju dengan pendapat teman saya yang penuh prasangka ini. Bagi dia, pemerintah selalu menjadi dalang segala bencana. Karena itu, saya berkata, "Kamu ini ngawur. Bagi saya, dalang peristiwa Medan adalah SBSI, seperti yang dikatakan oleh Kepala Staf Umum ABRI Letjen Mantiri. Titik." Saya sengaja memperkeras suara saya supaya orang berkacamata hitam yang sedang membaca koran di dekat saya bisa mendengarnya. Lalu, saya buru-buru pergi, meninggalkan teman saya yang masih melongo. Dalam hati, saya berkata, teman saya ini sudah gila. "Kingkong mau dia lawan."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus