Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kaum papa

20 Agustus 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOMPAS, 27 Juli 198, memuat pernyataan Menteri Muda Perindustrian Ir. Tungky Ariwibowo, tentang tingkat upah buruh Indonesia yang rendah, namun tidak perlu dipertahankan. Pada hari yang sama, Bisnis Indonesia melaporkan jatuhnya harga rotan, yang barangkali disebabkan karena adanya larangan ekspor rotan mentah ke luar negeri. Ada hubungan yang menarik dari kedua berita itu. Pertama, bahwa orientasi ekspor pada industri kita, telah memberikan cakrawala yang lebih cerah bagi kesejahteraan masyarakat kita. Kedua, bahwa ternyata cakrawala yang cerah, hanya akan tampak oleh mereka yang berdiri pada ketinggian yang cukup. Mereka yang berada di bawah batas ketinggian itu sama sekali tidak akan melihat cakrawala yang cerah. Siapakah mereka? Para petani dan pekebun kita. Begitu papanya mereka, sehingga angan-angan hidup layak saja, bahkan sudah menjadi barang mewah bagi mereka. Bahkan mereka sering pula dituding sebagai faktor yang menggayuti pendulum ekonomi, dan membuat kita sulit beranjak ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi. Sulit bagi Indonesia untuk mencapai tahap NIC (newly industrialized country), kalau sektor agrikultur masih jadi bagian terbesar dari produksi domestik. Dan dengan nilai tukar dolar yang makin tinggi, sebetulnya makin merosot tingkat penghasilan rata-rata bangsa kita. Coba tengok kisah anjloknya harga rotan. Siapa yang menderita? Tak lain adalah para rimbawan, yang setiap hari keluar-masuk hutan mengumpulkan rotan. Padahal ketika harga rotan selangit, mereka tidak ikut menikmati margin besar, yang mengendap di kantung-kantung para tengkulak. Dan ketika harga rotan turun, para tengkulak yang ingin mempertahankan koceknya, akan ganti menekan para pengolah rotan agar menurunkan harga beli, bahkan menunda-nunda pembayaran. Dan coba lihat petani singkong. Pada saat ini semestinya mereka bergembira, karena akan segera panen. Kita juga tahu, bahwa gaplek adalah komoditi yang gampang dijual dan cukup baik harganya. Indonesia bahkan sampai saat ini belum mampu mencukupi kuota pasar Eropa dalam hal gaplek. Tapi apakah angin surga itu, bertiup juga ke arah petani singkong? Nyatanya, harga mereka tetap saja ditekan oleh para tengkulak. Para transmigran di Lampung, misalnya, terpaksa antre menjual singkong basah ke sebuah pabrik aci dengan harga rendah. Kalaupun mereka olah menjadi gaplek, tak ada truk untuk mengangkutnya ke gudang-gudang di kota, yang bisa mengekspornya ke Eropa. Lagi pula, biarlah uang sedikit, karena kebutuhan sehari-hari tak dapat ditunda. Menjadi tak terlalu aneh memang, kalau kita kemudian mendengar, bahwa Indonesia sebagai negara penghasil karet nomor dua kalau tidak sudah nomor tiga di dunia ternyata tidak mempunyai cukup lateks pekat untuk menghidupi produksi dalam negeri. Soalnya, untuk memproduksi lateks pekat, terlalu banyak persyaratan yang harus dipenuhi oleh para pekebun. Menyadapnya harus lebih pagi. Susu karetnya harus ditampung dalam mangkuk-mangkuk yang bersih. Pengangkutannya ke emplasemen harus hati-hati. Dan berbagai persyaratan lain, yang memang memerlukan usaha ekstra dari petani. Tetapi apakah semua itu akan menghasilkan nilai tambah bagi mereka? Ternyata tidak. Margin yang diperoleh pengusaha lateks pekatl tidak menetes ke lapis di bawahnya. Ekspor adalah kunci untuk membuka masa depan yang lebih cerah. Itu sudah lama kita akui. Di Indonesia untuk pertama kali pada tahun 1987, ekspor nonmigas melebihi ekspor komoditi migas. Tapi apakah kenyataan itu akan secara otomatis meningkatkan kesejahteraan bangsa kita? Tak dapat dipungkiri bahwa gaji buruh yang bekerja di sektor industri ekspor memang lebih baik daripada buruh lainnya. Tapi belum tentu bisa menjadi lebih baik lagi, bila kesejahteraan di sektor hulu belum diperbaiki. Contohya? Mari kembali ke soal lateks pekat. Gara-gara AIDS, kondom dan sarung tangan karet laris bukan kepalang. Banyak pengusaha Indonesia ikut menyerbu sektor ini. Tapi karena lateks pekatnya harus diimpor dari Malaysia, produsen Indonesia itu menjadi kurang mampu menggaji buruhnya lebih baik. Ketergantungan industri kita pada bahan baku impor, telah terbukti menjadi rem yang terlalu pakem, untuk menunda kenaikan upah buruh. Industri tekstil kita telah membuktikannya. Industri otomotif kitapun setidaknya dahulu -- menghadapi persoalan serupa. Industri rotan yang tengah digalakkan pada saat ini, bukan tak mungkin akan juga menghadapi kesulitan bahan baku, bila para pengolah rotan tidak cukup termotivasi, gara-gara harganya yang buruk. Lalu, apa ya perlu menteri khusus, untuk menangani persoalan kaum papa yang menjadi "penghambat" kemajuan kita? Bondan Winarno

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus