Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ancaman hukuman kebiri terbukti tak membuat jeri kaum pedofil. Rentetan kejahatan seksual terhadap bocah belakangan ini semestinya mendorong pemerintah menerapkan strategi baru untuk melindungi anak. Orang yang memiliki catatan kejahatan seksual terhadap anak harus diawasi ketat.
Langkah ekstra perlu dilakukan lantaran kejahatan keji tetap merajalela. Seorang guru di Tangerang diduga menyodomi 41 anak. Ia memperdaya mereka dengan iming-iming bisa mendapatkan ajian semar mesem untuk memelet lawan jenis. Di Bandung, tiga bocah dibujuk beradegan seks dengan perempuan dewasa, lalu direkam. Dan di Blok M, Jakarta, anak jalanan menjadi korban kejahatan seksual oleh warga negara asing.
Tiga kasus itu mencuat justru setelah kita memberlakukan hukuman kebiri kimia bagi pedofil. Sanksi pidana yang mengerikan ini dimuat dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016. Peraturan yang sudah disahkan menjadi undang-undang pada November 2016 itu sempat mengundang kontroversi. Pihak penentang menilai hukuman kebiri melanggar hak asasi manusia dan tidak akan bisa meredam kasus pedofilia.
Kritik tersebut tak keliru. Data Kementerian Sosial memperlihatkan angka kekerasan seksual terhadap anak terus meningkat. Pada 2017, kementerian ini menangani 2.117 kasus, meningkat 161 kasus dibanding tahun sebelumnya. Komisi Nasional Perlindungan Anak juga mencatat angka kejahatan seksual terhadap anak tetap tinggi. Sepanjang tahun lalu, Komnas menerima 2.737 laporan dan lebih dari separuhnya berupa kekerasan seksual, seperti sodomi, pencabulan, pemerkosaan, dan inses.
Negara kita sebaiknya mengutamakan hukuman "kebiri sosial" bagi orang yang memiliki rekam jejak sebagai pelaku pedofilia. Tentu saja, vonis bahwa seseorang memiliki kelainan orientasi seksual itu harus dibuktikan di pengadilan dan melalui pemeriksaan medis. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia pun lebih menyokong cara ini ketimbang hukuman kebiri kimia.
Pengebirian sosial telah dipraktikkan di Amerika Serikat. Selain dihukum bui, pelaku didenda dan didata sebagai pelaku kejahatan seksual selama hidupnya untuk memudahkan pelacakan. Hak sebagai orang tua juga dicabut dan akses ke anak-anak dibatasi. Di paspornya pun tertulis, "Pemegang paspor ini dijatuhi hukuman karena melakukan kejahatan seksual terhadap anak di bawah umur dan pelaku kejahatan seksual."
Orang yang pernah terlibat kasus pedofilia perlu diawasi ketat karena sangat mungkin mengulangi perbuatannya di tempat lain. Kelainan seksual ini seolah-olah juga bisa menular. Kasus pedofilia di Jakarta International School pada 2014 memperlihatkan kecenderungan itu. Salah satu pelaku mengaku pernah menjadi korban pencabulan William James Vahey, predator anak incaran Biro Penyelidik Federal (FBI).
Anak-anak korban kejahatan seksual pun perlu mendapat perlindungan dan perawatan secara maksimal. Sebanyak 20 korban sodomi dari guru di Tangerang, misalnya, mengalami trauma hebat. Pemerintah daerah semestinya bergerak cepat untuk menolong mereka.
Demi mencegah jatuhnya korban pedofilia, pemerintah perlu mendorong masyarakat melindungi anak-anaknya. Tak ada salahnya kita mencontoh negara maju yang menerapkan aturan ketat. Misalnya, orang tua dilarang meninggalkan anak sendirian di rumah, mobil, dan tempat umum.
Mencegah kejahatan seksual terhadap anak sekaligus mengawasi ketat para pedofil jauh lebih penting ketimbang mengebiri pelaku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo