Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Pemilu Baru Seteru Lama

14 Januari 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JIKA tak ada gempa politik signifikan, hampir bisa dipastikan pemilihan presiden 2019 bakal jadi pengulangan saja dari pertarungan Joko Widodo versus Prabowo Subianto empat tahun lalu. Ini jelas kemunduran buat demokrasi di negeri ini.

Dengan hanya dua calon presiden-apalagi sama-sama wajah lama-pilihan publik bakal sempit. Tanpa kandidat alternatif, pertarungan gagasan dan program demi kesejahteraan rakyat terancam jadi kontestasi personal. Kampanye bisa-bisa terjebak jadi adu dukung berbasis politik identitas semata. Kalau sudah demikian, polarisasi tajam di tingkat akar rumput jadi rawan memantik konflik.

Di sisi lain, harus diakui bahwa saat ini memang tak ada penantang yang kuat bagi Jokowi dalam memperebutkan kursi RI-1 selain Prabowo. Dalam banyak survei politik, popularitas dan elektabilitas Prabowo masih jauh di atas sederet bakal calon penantang Jokowi yang lain.

Secara konstitusi, tidak ada yang salah dari pencalonan kembali Prabowo. Meski kalah dalam konvensi calon presiden yang diadakan Partai Golkar pada 2004-dan kembali gagal masuk Istana lima tahun kemudian ketika menjadi calon wakil presiden mendampingi Megawati Soekarnoputri-tidak ada alasan untuk menghalangi pencalonan Ketua Umum Gerindra ini. Fakta bahwa dia kalah tipis dari Jokowi pada pemilihan 2014 juga bukan berarti dia tak boleh mencoba menjadi calon presiden untuk keempat kalinya.

Masalahnya bukan pada Prabowo, melainkan pada aturan presidential threshold di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Aturan itulah yang membatasi jumlah calon presiden berdasarkan besar-kecilnya dukungan partai politik pengusungnya. Pasal 222 menegaskan hanya partai politik atau gabungan partai politik dengan 20 persen kursi Dewan Perwakilan Rakyat atau 25 persen suara nasional yang bisa mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Sulit memahami logika demokrasi di balik aturan itu. Pendukung pembatasan jumlah kandidat berdalih, stabilitas sistem presidensial hanya bisa dicapai jika presiden terpilih didukung fraksi dengan perolehan suara yang cukup signifikan di parlemen. Namun bahaya munculnya pemerintahan yang otoriter akibat konsentrasi kekuasaan eksekutif dan legislatif di koalisi partai yang sama tak disinggung sama sekali. Mereka tampaknya lupa bahwa kemungkinan lain bisa terjadi: pemilu presiden dan pemilu legislatif yang dijalankan serentak juga berpeluang melahirkan presiden yang tidak mendapat dukungan DPR. Dengan kata lain, argumen stabilitas sistem presidensial yang mereka sampaikan sesungguhnya tak kukuh.

Ketika Undang-Undang Pemilihan Umum dibahas di Senayan, partai-partai pendukung pemerintah adalah penyokong utama pasal presidential threshold ini. Merekalah yang harus bertanggung jawab atas terbatasnya pilihan rakyat dalam pemilihan presiden 2019. Mereka mengabaikan protes empat partai, yakni Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Amanat Nasional, yang sampai harus walk out dari sidang paripurna.

Putusan Mahkamah Konstitusi pekan lalu yang menguatkan aturan presidential threshold ini tak kalah mengecewakan. Entah bagaimana tujuh dari sembilan hakim Mahkamah bisa menilai aturan itu tak bertentangan dengan Pasal 6-A ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi, "Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum."

Di atas kertas, aturan presidential threshold memang masih memungkinkan setidaknya ada tiga calon presiden yang disokong partai politik. Namun konstelasi saat ini sudah terbelah menjadi dua kubu: pendukung dan penentang pemerintah. Hampir tak ada peluang untuk kandidat alternatif selain inkumben dan penantangnya.

Prabowo sendiri tampaknya sudah bersiap. Jauh-jauh hari, dia sudah mendekatkan partainya dengan Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Amanat Nasional untuk bertarung bersama dalam pemilihan kepala daerah serentak. Aliansi inilah yang sukses memenangkan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada awal 2017. Kita masih ingat: kompetisi politik ketika itu diwarnai upaya memanfaatkan isu agama sebagai bahan kampanye.

Jika pola serupa menyebar ke daerah lain, hampir pasti, temperatur politik Indonesia bakal mendekati titik didih. Partisipasi publik terancam menurun ketika politik terasa sebagai ajang perebutan kekuasaan belaka. Sungguh ironis: titik balik ini justru terjadi pada momentum peringatan 20 tahun reformasi, yang seharusnya menandai puncak konsolidasi demokrasi kita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus