SEORANG dosen yang baru pulang dari luar negeri pernah mengeluh:
"Saya bukannya tidak mau naik biskota. Tetapi hampir setiap kali
naik, saya kecopetan di sana." Mungkin ungkapan ini terlalu
dilebih-lebihkan, tetapi tidak mustahil pula ada benarnya sebab
perasaan tersebut dicetuskan pada awal tahun 1970-an.
Lain halnya dengan cerita seorang teman. Ini terjadi di awal
tahun 1979. Dia selalu datang ke kantor dengan Bajaj. Agak
mengherankan, lantaran rumahnya cukup jauh dari Salemba dan
tidak terjangkau operasi kendaraan roda tiga. "Saya menumpang
mobil kakak dan turun di depan RSCM. Lalu ambil bajaj ke sini."
Bukan main. Kalau tak salah jarak RSCM-Salemba tidak lebih dari
200 meter.
Kesan yang tersembunyi dari dua pengalaman berbeda di atas tetap
sama. Penilaian yang tinggi terhadap kegunaan (utility) waktu.
Keinginan untuk memiliki mobil pribadi.
Orang Jakarta: Makin Kaya
Menurut tulisan yang berbeda dalam majalah Widyapura No. 1 dan 2
Tahun ke II 1978-1979, terlihat gambaran umum dari banyaknya
kendaraan dan tingkat pendapatan di wilayah DKI Jakarta.
Ternyata semenjak periode 1968-1976 jumlah kendaraan bermotor di
Jakarta secara keseluruhan telah meningkat dengan 309,36%.
Sedangkan peningkatan jumlah sepeda motor sebesar 3g3,93%, mobil
penumpang 235,03% dan untuk otobis 272,49%.
Peningkatan jumlah kendaraan ini rupanya diikuti pula dengan
bertambahnya jumlah tabrakan/kecelakaan dengan sebesar 555,42%
selama periode 1968-1976. Dari kecelakaan yang telah terjadi
tersebut, tercatat 351,34% peningkatan mereka yang mati, sedang
yang luka berat telah meningkat dengan 675,20% selama kurun
waktu enam tahun tersebut.
Jumlah kendaraan yang meningkat secara mengesankan itu tidak
bisa terlepas dari peningkatan tingkat pendapatan. Dari data
yang dikemukakan dalam laporan IBRD, dan dikutip oleh Widyapura,
ternyata penduduk Jakarta semakin menjadi kaya. Bila pada tahun
1973 hanya terdapat 14,8% dari seluruh penduduk Jakarta yang
berpenghasilan di atas Rp 35.000 per bulan, angka tersebut
meningkat menjadi 39% pada tahun 1976. Sementara bagi kelompok
penghasilan Rp 20.000 sampai Rp 35.000 terdapat peningkatan dari
27% di tahun 1973 menjadi 37% pada tahun 1976.
Sebagai akibatnya sudah tentu kelompok berpenghasilan rendah di
bawah Rp 20.000 per bulan menjadi mengecil. Jumlah kelompok ini,
sebanyak 58,2% dari seluruh penduduk Jakarta di tahun 1973,
telah berkurang dan menjadi hanya 24,4% pada tahun 1976.
Jelas bahwa peningkatan yang mengesankan telah terjadi pada
"golongan atas" dengan 24,2% sedangkan "golongan menengah"
hanya naik dengan 10%. Sementara itu medan pendapatan telah
meningkat dari Rp 21.000 menjadi Rp 30.000 atau sebesar 142,86%
selama jangka waktu yang hanya tiga tahun tersebut.
Semakin bertambahnya jumlah kendaraan akan mempercepat
pencapaian suatu tujuan yang berarti pula penghematan waktu.
Namun pada tingkat kecepatan tertentu tidak samarata dan juga
akan meningkat. Demikian pendapat Ivan Illich dalam bukunya
Energy & Equity.
Kegunaan batas (marginai utility) bagi sekelompok orang akan
diimbangi dengan ketidakgunaan batas (marginal disutility) dari
mayoritas penduduk. Karena pada tingkat kecepatan kritis ini
tidak mungkin orang bisa menghemat waktu tanpa memaksa orang
lain kehilangan waktunya.
Jadi jelas bahwa sekali masyarakat memberikan nilai pada waktu,
kesamarataan dan kecepatan alat-alat pengangkutan akan
berhubungan secara terbalik (inversely correlated).
Menurut Ivan Illich, penduduk Amerika Serikat menghabiskan 1.600
jam setiap tahunnya hanya untuk kegiatan mobil mereka. Termasuk
di dalamnya kegiatan memarkir mobil dan menemukannya kembali,
mengurus pajak serta membayar tilang, dan masih banyak lagi. Dan
ternyata pembiayaan untuk mobil ini telah memakan sebesar 28%
dari total budget.
Sebab itu, pendeta radikal ini menganjurkan penggunaan sepeda
sebagai alat pengangkutan. Harga sepeda cukup murah sehingga
terbeli oleh rakyat miskin. Selain itu sepeda tidak memerlukan
adanya jalan-jalan yang lebar serta modern. Menurut bukunya, 18
buah sepeda muat dalam satu tempat parkir mobil. Bahkan 30 buah
sepeda bisa dikendarai sekaligus di jalan yang hanya cukup
digunakan oleh satu truk. Sementara itu enersi pun dapat
dihemat, Kalau untuk setiap kilometer seorang pejalan kaki
memerlukan 0,75 kalori, seorang pengendara sepeda cukup
mengkonsumir seperlimanya, atau hanya 0,15 kalori.
Titik-titik Pertemuan
Kecepatan pencapaian tujuan yang tercermin dari bertambahnya
jumlah alat angkutan, selain menimbulkan masalah pengamanan di
jalan, ternyata juga mengusik soal kesamarataan. Terlebih lagi
kalau alat-alat pengangkutan tersebut telah menguasai kehidupan
sosial, menentukan kelas-kelas dalam masyarakat. Status sosial
telah diperlambangkan dengan jejeran mobil mewah di halaman
sekolah-sekolah menengah di Jakarta, sebagai salah satu
contohnya.
Lalu timbul gagasan, mengapa tidak dilakukan car-pooling semacam
pengadaan bus-bus mini untuk para pelajar, sehingga jurang
pendapatan tidak terlihat nyata. Beberapa sekolah yang
diusahakan oleh bangsa asing dan juga sekolah-sekolah
internasional banyak yang menempuh cara terakhir ini. Selain
mengurangi kemacetan, juga mencoba menghilangkan perbedaan
golongan pendapatan.
Tetapi masih mengganggu pertanyaan: siapa nanti yang akan
membayar gaji sopir dan biaya-biaya pemeliharaan kendaraan?
Kalau sudah sampai sini, kembali terngiang satu tanya tanpa
jawab yang selalu mengusik di kala tidur: kapan akan tiba
masanya para orang kaya bersedia menyisihkan sebagian hartanya
untuk kebahagiaan sekelompok saudara sebangsanya yang masih
hidup menderita?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini