Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Kejaksaan dan Tantangan Dua Tersangka

5 Juli 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PROSES hukum perkara korupsi proyek Sistem Administrasi Badan Hukum—biasa disingkat Sisminbakum—menghadapi tantangan serius. Yusril Ihza Mahendra, mantan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, tersangka kasus yang diduga merugikan negara Rp 420 miliar, melabrak kantor Kejaksaan Agung. Selain menolak diperiksa jaksa, dia menggugat keabsahan Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung.

Yusril menganggap jabatan Hendarman tidak sah karena sudah kedaluwarsa. Hendarman diangkat berdasarkan keputusan Presiden Yudhoyono sampai 2009, serta tak pernah diperbarui dan dilantik sebagaimana anggota kabinet lainnya. Kalau Hendarman tidak sah duduk di kursinya, dalam pikiran Yusril, berarti tak sah pula hukum yang ditetapkannya dalam perkara ini.

Tampaknya Yusril memang sengaja mengais-ngais sisi administrasi negara yang dianggapnya punya kelemahan. Ia tentu berharap celah hukum ini bisa dijadikan kartu truf untuk menyelamatkan diri dari jerat pidana. Ketika bersaksi di persidangan, pernah pula Yusril meyakinkan hakim dengan cara ”melempar bola ke atas”: bahwa proyek ini sudah ia sampaikan dalam sidang kabinet dan disetujui Presiden Megawati.

Argumen Yusril bukannya tak bisa dipatahkan. Mencoba menyeret-nyeret risiko hukum ini dengan tameng sepersetujuan Presiden Megawati pasti banyak sisi bolongnya. Selain hal ini bukanlah kebijakan presiden, tentulah kepala pemerintahan tak sampai tahu persis ihwal perincian proyek, siapa yang ditunjuk, siapa pemegang sahamnya, apalagi detail pembagian keuntungan. Sidang kabinet lazimnya hanya merekam dan mencatat hal-hal pokok yang diputuskan oleh presiden.

Ketimbang masuk ke ranah politik yang sumir, sebaiknya jaksa berpatokan pada aspek material kasusnya saja. Banyak indikasi yang menunjukkan bahwa Yusril berperan penting dalam proyek ini. Dialah yang memutuskan penunjukan langsung kepada PT Sarana Rekatama Dinamika. Dia pula yang menentukan persentase pembagian rezeki, termasuk untuk Koperasi Pengayoman Pegawai Departemen Kehakiman yang menjadi pengelola proyek. Yusril meneken dua surat keputusan berkaitan dengan proyek itu pada 2000.

Toh, di pengadilan, Yusril sudah mengaku kecipratan dana. Duit yang masuk Koperasi akhirnya dialirkan untuk jatah tetap para pejabat, termasuk dipakai Yusril untuk perjalanan ke luar negeri, di antaranya ke Malaysia. Fulus juga diduga mengalir ke istrinya waktu itu, Sukesih. Dugaan hubungan Yusril dengan PT Sarana juga harus ditelusuri. Apalagi salah satu komisaris perusahaan itu adalah Gerald Yakobus, yang saat itu menjadi bendahara Partai Bulan Bintang, partai yang didirikan dan diketuai Yusril.

Sangatlah mungkin terjadi konflik kepentingan dalam keputusan Yusril, sehingga Sarana mudah ditunjuk untuk mendapatkan proyek gendut itu. Jaksa diharapkan mampu membuktikan bahwa pembentukan PT Sarana diduga berbau rekayasa, karena salah satu pemegang sahamnya ternyata juga Gerald Yakobus. Yang jelas, duit yang dikeruk Sarana sangat besar, saban bulan ditaksir masuk hingga Rp 30 miliar. Jaksa mesti mampu menelisik ke mana saja aliran dana itu.

Tantangan berikutnya dari Hartono Tanoesoedibjo. Dialah pengendali perusahaan dan kini menjadi tersangka kasus itu bersama Yusril. Namun Hartono keburu menggunakan trik lama: kabur ke Taiwan, sehari sebelum dicekal kantor Imigrasi. Kaburnya Hartono menunjukkan betapa aparat kita gagal mengantisipasi cara-cara licik yang kerap dipakai sejumlah tersangka kejahatan perbankan di Tanah Air. Kalau petugas bekerja secara profesional, dan tidak membantu memberikan ”bocoran cekal”, lolosnya tersangka kakap ini ke luar negeri bisa dihindari.

Kejaksaan Agung tak usah gentar dengan gebrakan kedua tersangka ini. Untuk memburu Hartono, kendati tak mudah, kejaksaan perlu segera berkoordinasi dengan kepolisian agar menjalin kontak dengan Interpol di negara yang diduga dipakai ngumpet. Tak usah panik, toh banyak kerabat Hartono di Jakarta yang bisa diajak bekerja sama. Di antaranya bos Media Nusantara Citra (MNC) Group, Hary Tanoesoedibjo, yang tak lain adalah adik tersangka.

MNC berinduk ke PT Bhakti Investama, dan Hartono menjadi salah satu komisarisnya. Bekas Direktur Utama PT Sarana, yang menjadi terpidana, Yohanes Waworuntu, mengungkapkan di persidangan bahwa duit proyek itu banyak mengalir dan dipakai Hartono untuk membeli sejumlah aset. Jaksa harus sanggup membuktikan aliran dana proyek ini sampai ke pucuknya.

Siapa saja tokoh penting di balik proyek bau amis ini harus diusut tuntas. Kongkalikong seperti yang terlihat jelas dalam kasus ini tentu merugikan negara. Otoritas negara telah disalahgunakan untuk sebesar-besarnya keuntungan pihak swasta dan para pejabatnya. Tugas jaksalah sekarang untuk menuntut hukuman setimpal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus