Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Forum G-20
Indonesia Tak Terapkan Pajak Perbankan
PEMERINTAH Indonesia memutuskan tak akan menerapkan pajak sektor perbankan (financial levy). Pajak perbankan ini direkomendasikan dalam pertemuan negara-negara G-20 yang diselenggarakan di Toronto, Kanada, pekan lalu. ”Kita sudah punya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Bank telah membayar premi ke LPS,” kata Menteri Keuangan Agus Martowardojo kepada Tempo di Jakarta, Kamis pekan lalu.
Konsekuensinya, kata dia, pemerintah dan Bank Indonesia harus menjaga lembaga keuangan agar tak menyebabkan krisis dan membebani masyarakat. Financial levy diterapkan negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Jerman, dan Prancis, untuk mencegah krisis akibat kegagalan sektor perbankan, seperti yang terjadi pada 2008. Amerika dan Inggris berkomitmen mengenakan pajak sektor keuangan US$ 20 miliar dalam 10 tahun mendatang.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Halim mengatakan beberapa negara, termasuk Indonesia, tak setuju dengan penerapan financial levy lantaran bakal mengurangi ekspansi perbankan.
Otomotif
Nissan Berinvestasi US$ 20 Juta
NISSAN Motor Company, pabrikan mobil asal Jepang, akan menambah investasi US$ 20 juta (sekitar Rp 186 miliar) di Indonesia mulai tahun ini. Dana itu untuk menambah kapasitas produksi hingga dua kali lipat. Rencana itu terungkap setelah Carlos Ghosn, Chief Executive Officer Nissan, bertemu dengan Wakil Presiden Boediono di Jakarta, Selasa pekan lalu.
Ghosn mengatakan investasi tambahan itu antara lain digunakan untuk pembangunan pabrik perakitan baru, sehingga Nissan Motor Indonesia memiliki kapasitas produksi hingga 100 ribu unit per tahun. Pertimbangannya, pasar otomotif Indonesia terus tumbuh dan rasio penggunaan mobil bisa mencapai 600 unit per seribu penduduk. ”Setara dengan negara maju baru, seperti Brasil, Rusia, India, dan Cina serta negara-negara Eropa,” katanya.
Nissan menguasai lima persen pangsa pasar otomotif Indonesia. ”Setiap tahun Nissan akan memasarkan minimal sebuah produk baru yang disesuaikan dengan keinginan pasar Indonesia,” ujarnya.
Perpajakan
Transfer Pricing Rp 1.300 Triliun
PEMERINTAH berpotensi kehilangan penerimaan dari sektor perpajakan akibat maraknya transfer pricing (upaya rekayasa alokasi keuntungan di antara beberapa perusahaan dalam satu grup perusahaan multinasional sehingga pajak yang dibayarkan rendah). Praktek curang itu sama masifnya dengan penggelapan pajak lainnya, seperti kasus restitusi fiktif dan mafia perpajakan.
Menurut pengamat pajak dari Lumbung Informasi Rakyat Tax Watch, Iwan Piliang, tahun lalu saja, kerugian negara akibat praktek transfer pricing mencapai Rp 1.300 triliun. ”Ini data dari Direktorat Jenderal Pajak. Saya tak mengada-ada,” kata Iwan dalam seminar reformasi perpajakan bertajuk ”Membedah Problematika Kebijakan dan Mafia Perpajakan di Indonesia”, di Hotel Sultan, Jakarta, Rabu pekan lalu.
Hampir semua perusahaan multinasional di Indonesia, kata Iwan, mempraktekkan transfer pricing, yakni transaksi ”dengan harga khusus” antarpihak yang memiliki hubungan istimewa. ”Bahkan, berdasarkan data Organization for Economic Co-operation and Development, 60 persen dari total perdagangan di dunia terindikasi melakukan praktek itu,” ujarnya.
Kepala Subbidang Informasi Perpajakan Lucky al-Firman mengatakan transfer pricing merupakan permasalahan semua negara di dunia. ”Tidak hanya di Indonesia,” ujarnya. Direktorat Jenderal Pajak serius menelusuri indikasi praktek tersebut. Tapi, ”Sering kali ada ketidakcocokan antara bukti transfer dan barang yang ada di lapangan.”
Prospek Ekonomi
Konsumen Indonesia Optimistis
MASYARAKAT Indonesia yakin prospek perekonomian nasional akan tetap stabil. Optimisme tersebut tergambar dari hasil survei lembaga riset Nielsen Indonesia terhadap 505 konsumen di Tanah Air. Menurut Direktur Eksekutif Riset Konsumen Nielsen Indonesia Catherine Eddy, konsumen di Indonesia optimistis dengan situasi keuangannya hingga 12 bulan mendatang. Mereka menyisihkan lebih banyak uang untuk kepuasan pribadi, seperti berlibur dan membeli baju baru. ”Mereka banyak mengeluarkan uang untuk kesenangan diri,” katanya di Jakarta, Selasa pekan lalu.
Berdasarkan hasil survei, kata dia, 39 persen responden konsumen akan menambah anggaran liburan, 24 persen menyisihkan uang untuk membeli baju baru, dan 28 persen lagi menggunakan uang tersisa untuk membayar utang.
Naiknya pengeluaran konsumen menjadi berkah bagi perusahaan retail. Salah satunya PT Matahari Putra Prima Tbk. Kepala Komunikasi Perusahaan Matahari Roy Mandey menyatakan, selama Januari hingga Mei, penjualan Hypermart dan Matahari Department Store naik 15-20 persen dibanding periode yang sama tahun lalu, masing-masing menjadi Rp 3 triliun dan Rp 2,4 triliun. ”Kami terus mengantisipasi tingginya minat konsumen dengan menambah variasi produk dan menawarkan harga terbaik,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo