Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Laporan utama majalah Tempo ”Rekening Gendut Perwira Polisi” bukan dimaksudkan untuk memberi malu kepolisian. Liputan investigasi pada edisi 28 Juni-4 Juli 2010 itu merupakan usaha majalah ini untuk mendukung reformasi di tubuh korps baju cokelat, yang tengah dijalankan Kapolri Bambang Hendarso Danuri. Laporan delapan halaman tentang perwira yang memiliki rekening miliaran rupiah itu seharusnya dipakai sebagai momentum membersihkan tubuh kepolisian.
Siapa pun pasti prihatin dengan keadaan ini. Bergaji kurang dari sepuluh juta rupiah sebulan, ”celengan” sejumlah perwira sesak oleh duit miliaran. Ada yang bertahun-tahun menerima Rp 50 juta per bulan. Ada pula yang mendapat kiriman Rp 2-3 miliar sekali transfer. Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Ito Sumardi, dalam wawancara dengan Tempo, membenarkan tengah menelisik rekening gendut kolega dan anak buahnya. Artinya, laporan yang kami siarkan bukan isapan jempol belaka.
Entah berhubungan entah tidak dengan kesediaan menerima kritik, majalah Tempo edisi ”Rekening Gendut Perwira Polisi” raib di sejumlah kota besar. Sejumlah agen melaporkan pembelian borongan oleh orang tak dikenal—yang di beberapa tempat dilaporkan berseragam polisi. Kami belum menemukan bukti bahwa pemborongan itu instruksi Markas Besar Kepolisian RI, tapi kami yakin itu pekerjaan sia-sia. Masyarakat yang tak bisa membeli edisi cetak bisa mengakses dari Internet, membaca lewat surat kabar atau hasil fotokopi. Membatasi akses informasi di era Internet ini ibarat menangguk air dengan tempayan bocor.
Yang membingungkan adalah kabar bahwa Kepolisian berencana melayangkan gugatan pidana dan perdata kepada majalah ini. Alasan yang disampaikan, yakni sampul majalah—menggambarkan pria berseragam menuntun tiga buah celengan babi—merendahkan martabat seluruh polisi, jelas berlebih-lebihan. Sampul itu karya kreatif berupa metafora dari seseorang yang memiliki atau menguasai beberapa rekening—sesuai dengan isi berita yang ditulis. Lagi pula, yang dipersoalkan hanya beberapa orang perwira, bukan semua anggota kepolisian. Meributkan pemakaian binatang babi juga aneh, karena sejak zaman Majapahit pun tempat menabung biasanya berbentuk celeng alias babi.
Lebih baik menyoroti isi laporan utama itu. Tak perlu sibuk mengaitkan berita rekening gendut dengan persaingan merebut posisi orang pertama di Markas Besar Kepolisian—mengingat pada Oktober mendatang Kapolri menyelesaikan masa jabatan. Yang mesti dilakukan adalah pembersihan ke dalam. Kepala Polri wajib meminta pemilik rekening gemuk itu membuktikan bahwa isi rekening didapat dengan cara tidak melawan hukum.
Jika pembelaan mereka tak meyakinkan, sidik lebih lanjut. Jangan mudah terharu dengan ”kedermawanan” para jenderal yang sering menyumbang kepolisian. Bila kepolisian tak sanggup memeriksa perwira itu, Komisi Pemberantasan Korupsi perlu mengambil alih. Presiden mesti turun tangan. Bila Presiden memerintah Kepala Polri menyerahkan kasus ini ke Komisi, tentu perintah itu perlu diikuti. Untuk perkara penting ini Dewan Perwakilan Rakyat perlu membentuk panitia khusus untuk melacak asal-usul dana rekening para perwira itu.
Kepolisian adalah milik kita bersama, bukan milik segelintir penguasa. Publik—tak terkecuali majalah ini—berkepentingan memiliki kepolisian yang bersih. Liputan rekening perwira kepolisian itu merupakan sumbangan kami yang sedikit. Memasuki usia ke-64, kepolisian mestinya semakin bijak menanggapi kritik. Jangan pula buruk muka cermin dibelah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo