Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font face=arial size=1 color=brown><B>Waralaba</B></font><BR />Masih Jago Kandang

Waralaba Indonesia sulit menembus pasar luar negeri. Masalah teknis dan sulitnya izin menjadi kendala.

5 Juli 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WARALABA lokal kini ditantang untuk mengepakkan sayapnya ke luar negeri. Mereka berkumpul dalam program ekspor waralaba yang digagas Kamar Dagang dan Industri Indonesia, pada pertengahan Juni lalu. Kadin akan memberikan pelatihan dan pendampingan kepada pewaralaba yang memenuhi kriteria, antara lain memiliki kandungan bahan baku lokal minimal 60 persen, bermerek lokal, dan berbudaya Indonesia. ”Tahap awal akan direkrut 20 hingga 40 pewaralaba,” ujar Amir Karamoy, Ketua Komisi Tetap Waralaba dan Lisensi Kadin.

Kadin tak sendiri. Eximbank digandeng untuk memberikan fasilitas pembiayaan kepada pewaralaba yang lolos seleksi. Tak tanggung-tanggung, bank khusus pembiayaan ekspor ini menyediakan fasilitas kredit senilai Rp 1 triliun. Menurut Kepala Divisi Jasa Konsultasi Indonesia Eximbank Djoko S. Djamhoer, alokasi pinjaman dan skema pembayaran akan disesuaikan dengan kemampuan pewaralaba. ”Targetnya mulai mengucur September ini,” ujarnya.

Para pewaralaba yang lolos saringan akan didampingi konsultan hukum dan bisnis yang dipersiapkan Kadin. Ini penting, terutama saat mereka melakukan negosiasi dengan calon mitra asing dan ketika mengurus perizinan. Dengan langkah itu, diharapkan dalam lima tahun ke depan sudah ada 500 waralaba Indonesia yang beroperasi di luar negeri. ”Mereka diharapkan tak sekadar jago kandang,” ujar Amir.

Begitu mudahkah membuka gerai bisnis waralaba ke mancanegara? Ternyata tidak. Kesulitan itu dirasakan oleh Evi Diah Puspitawati, Manajer PT Panen Raya Bersama, saat hendak memperluas jaringan waralabanya ke luar negeri. Evi bersama mitranya mencoba membuka gerai Restoran Ayam Tulang Lunak Hayam Wuruk di Malaysia. ”Ternyata repot, ada saja yang kurang, banyak sekali printilan yang harus dikerjakan,” katanya kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.

Persiapan sudah matang, mulai menganalisis peraturan, perizinan, dan lokasi hingga menyiapkan personel untuk ditempatkan di negeri jiran tersebut. Jejaring pemasok bahan baku ayam, bebek, dan ikan bandeng juga sudah dijajaki. Lantaran tak berpengalaman, Evi akhirnya kedodoran. Dia gagal. Padahal selama 10 tahun dia sukses membuka 21 gerai baru di beberapa daerah di Tanah Air.

Pewaralaba lokal yang berpengalaman juga terantuk-antuk saat mengembangkan sayap bisnisnya di negeri lain. Lihat saja ekspansi Kebab Turki Baba Rafi di Malaysia yang juga terseok-seok. Gara-gara kesulitan mendapat izin, target waralaba milik Hendry Setiono itu meleset. ”Dari target delapan, hanya dua gerai yang bisa dibuka selama dua tahun ini,” ujarnya mengeluh. Padahal, di Indonesia, peraih penghargaan pebisnis andal 2009 versi Ernst & Young ini berhasil membangun 600 jejaring waralaba roti Arab itu dalam tujuh tahun.

Padahal waralaba Indonesia sangat potensial jika harus bersaing di luar negeri. Sampai tahun ini, tercatat ada 1.200 waralaba yang beroperasi di Indonesia. Sebanyak 900 di antaranya merupakan waralaba lokal. Sisanya waralaba asing. Dari jumlah waralaba sebanyak itu, baru 10 waralaba lokal yang menembus pasar luar negeri, antara lain Sour Sally, AutoBridal, J.Co, Kebab Baba Rafi, Es Teler 77, dan Taman Sari Royal Heritage Spa.

Adapun franchise asing makin menyerbu Tanah Air. Sejak dua dekade lalu, ratusan waralaba asing, sebagian besar usaha jasa boga dan retail, merambah kota-kota besar di Indonesia. Pada tahun ini omzet perusahaan pengelola waralaba bisa mencapai Rp 114 triliun, naik 20 persen dibanding tahun lalu. Fulus sebesar itu jelas sangat menggiurkan. ”Itu sebabnya, Indonesia dikatakan sebagai pasar terseksi bagi waralaba,” ujar Amir Karamoy.

Para pewaralaba nasional kerap terbentur peraturan di luar negeri yang belum mereka pahami. ”Selama ini mereka jalan sendiri dan sekadar jual merek,” ujar Amir. Anton Widjaja, Wakil Presiden Direktur PT Top Food Indonesia, pemegang waralaba Es Teler 77, mengatakan bahwa kesulitan terbesar membuka cabang di luar negeri terjadi pada saat mengurus izin. Di Malaysia, misalnya, ada aturan yang mewajibkan pengusaha membuka usaha minimal tiga tahun sebelum dijual kepada mitra lain. ”Ini menyulitkan para pemula,” ujarnya. ”Penyediaan bahan baku juga tak mudah.”

Fery Firmansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus