"Tuan-tuan kepala negeri Lebak, kita semua menginginkan itu.
Tapi jika ada orang di antara kita yang melalaikan kewajibannya
untuk mencari keuntungan, yang menjual keadilan demi uang, atau
yang merampas kerbau dari orang miskin, dan buah kepunyaan orang
yang lapar. . . siapa yang akan menghukumnya?"
-- Multatuli dalam Max Havelaar (1860).
SAIJAH pulang dari Betawi. Di kota besar itu ia sudah 36 bulan
bekerja seba gai jongos pada seorang tuan Belanda. Ia ingin
balik ke Badur, dusunnya nun jauh di daerah Lebak itu. Di sana
ia bayangkan Adinda telah menantinya di bawah pohon ketapang,
seperti janji mereka sebelum berpisah, ketika Saijah berkata:
"Adinda, buatlah garis pada lesungmu pada tiap bulan baru."
Dengan tiga puluh mata uang Spanyol dalam bumbung yang diikat
dengan tali kulit, dengan keris bergagang kemuning berukir
halus, dengan ikat pinggang rantai dari perak berpending emas
(untuk Adinda), ia melangkah penuh harap. Tapi Adinda ternyata
tak menantinya di bawah ketapang. Di jalan yang menghubungkan
Badur dengan pohon itu, yang ada hanya sepi.
Badur memang bukan yang dulu lagi. Adinda telah tak di sana.
Kesewenang-wenangan telah terjadi. Kepala distrik Parangkujang
merampas kerbau ayah Adinda dan ibu gadisi itu meninggal
lantaran sedih. Adiknya yang bungsu menyusul karena tak ada lagi
yang menetekinya. Dan ayahnya, yang ketakutan dihukum jika tak
membayar pajak tanah, pergi meninggalkan desa. Ia sebetulnya
bisa ke Bogor. Tapi bukankah sebelumnya di Bogor itu pula
seorang kenalannya dihukum dera dengan rotan, karena
meninggalkan Lebak tanpa pas? Bukankah orang itu kemudian dibawa
kembali oleh polisi ke Badur, dimasukkan dalam penjara dan mati
dalam sel? Dan ia tak lain adalah calon besannya, ayah Saijah?
Maka ayah Adinda pun tidak ke Bogor. Ia ke Cilangkahan dekat
laut, bersembunyi dalam hutan, menantikan sejumlah temannya yang
kerbaunya juga dirampas oleh kepala distrik. Mereka sama-sama
takut karena tak bisa membayar pajak tanah. Dari Cilangkahan
orang-orang itu berperahu ke Lampung. Adinda bersama mereka. Ia
tak bisa menemui Saijah.
Tapi Saijah akhirnya tahu juga ke mana kekasihnya pergi. Ia
menyusul. Di Lampung itu gerombolan orang Bantam memberontak
melawan kekuasaan Belanda. Saijah ikut, bukan buat bertempur
tapi buat mencari Adinda -- yang rupanya berada di desa lain
dalam rombongan orang Bantam lain. Suatu hari ia sampai ke
sebuah desa yang baru di-"tertib"-kan oleh tentara pemerintah
dan dibakar. Mayat masih bergelimpangan. Di antaranya ternyata
terkaparlah ayah Adinda. Juga: mayat Adinda, yang "telanjang,
teraniaya dengan cara mengerikan . . . "
Saijah kalap. Ia menyongsong beberapa prajurit Belanda yang
dengan bedil terkokang menghalau sisa-sisa pemberontak yang
masih hidup ke dalam api rumah-rumah yang tengah terbakar. Tak
lama kemudian, pemuda itu pun tewas.
"Saya bertanya kepada tuan, kepala-kepala negeri Lebak, mengapa
banyak yang pergi untuk tidak dikuburkan di tempat kelahirannya?
Mengapa pohon bertanya: "di mana orang yang kulihat bermain
sebagai anak kecil di kakiku dahulu?"
DALAM novel Max Havelaar, tragedi Saijah dan Adinda hanya
sepotong kecil dari buku. Tapi ia merupakan ilustrasi pokok dari
tema ketidak-adilan yang hendak dilawan tokoh utama kisah ini,
asisten residen Lebak Max Havelaar -- seorang Belanda yang
selalu terdorong membela yang lemah dan kecil. Dan di
wilayahnya, yang lemah dan kecil itu adalah Saijah, Adinda, ayah
mereka, rakyat dusun yang serba ketakutan oleh kekuasaan feodal
pribumi.
Memang agaknya memerlukan suatu pandangan sejarah untuk
memahami, bahwa problim keadilan dan ketidak-adilan seperti yang
tergurat dalam Max Havelaar bukanlah problim antara si "asing"
dan si "bukan-asing." Sungguh mengagumkan bahwa generasi sebelum
1945 -- Muh. Yamin, Ki Hadjar Dewantara, Bung Karno dan Bung
Hatta --memahami hal itu. Mereka, yang dibesarkan dengan ide-ide
universil, yang tergerak oleh rasa kebangsaan dan sekaligus
kemanusiaan, tergetar pula oleh Multatuli. Mengherankankah bila
mereka melawan kolonialisme tanpa lupa menyingkirkan
feodalisme: penghisapan asing dan kesewenang-wenangan
pribumi?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini