Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Kekejaman pribumi

Karya multatuli dlm max havellar mengisahkan ketidak adilan pribumi terhadap rakyat lebak, penduduk penuh ketakutan oleh kekuasaan feodal pribumi. generasi selama 1945 melawan kolonial dan menghancurkan feodal.

6 Agustus 1977 | 00.00 WIB

Kekejaman pribumi
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
"Tuan-tuan kepala negeri Lebak, kita semua menginginkan itu. Tapi jika ada orang di antara kita yang melalaikan kewajibannya untuk mencari keuntungan, yang menjual keadilan demi uang, atau yang merampas kerbau dari orang miskin, dan buah kepunyaan orang yang lapar. . . siapa yang akan menghukumnya?" -- Multatuli dalam Max Havelaar (1860). SAIJAH pulang dari Betawi. Di kota besar itu ia sudah 36 bulan bekerja seba gai jongos pada seorang tuan Belanda. Ia ingin balik ke Badur, dusunnya nun jauh di daerah Lebak itu. Di sana ia bayangkan Adinda telah menantinya di bawah pohon ketapang, seperti janji mereka sebelum berpisah, ketika Saijah berkata: "Adinda, buatlah garis pada lesungmu pada tiap bulan baru." Dengan tiga puluh mata uang Spanyol dalam bumbung yang diikat dengan tali kulit, dengan keris bergagang kemuning berukir halus, dengan ikat pinggang rantai dari perak berpending emas (untuk Adinda), ia melangkah penuh harap. Tapi Adinda ternyata tak menantinya di bawah ketapang. Di jalan yang menghubungkan Badur dengan pohon itu, yang ada hanya sepi. Badur memang bukan yang dulu lagi. Adinda telah tak di sana. Kesewenang-wenangan telah terjadi. Kepala distrik Parangkujang merampas kerbau ayah Adinda dan ibu gadisi itu meninggal lantaran sedih. Adiknya yang bungsu menyusul karena tak ada lagi yang menetekinya. Dan ayahnya, yang ketakutan dihukum jika tak membayar pajak tanah, pergi meninggalkan desa. Ia sebetulnya bisa ke Bogor. Tapi bukankah sebelumnya di Bogor itu pula seorang kenalannya dihukum dera dengan rotan, karena meninggalkan Lebak tanpa pas? Bukankah orang itu kemudian dibawa kembali oleh polisi ke Badur, dimasukkan dalam penjara dan mati dalam sel? Dan ia tak lain adalah calon besannya, ayah Saijah? Maka ayah Adinda pun tidak ke Bogor. Ia ke Cilangkahan dekat laut, bersembunyi dalam hutan, menantikan sejumlah temannya yang kerbaunya juga dirampas oleh kepala distrik. Mereka sama-sama takut karena tak bisa membayar pajak tanah. Dari Cilangkahan orang-orang itu berperahu ke Lampung. Adinda bersama mereka. Ia tak bisa menemui Saijah. Tapi Saijah akhirnya tahu juga ke mana kekasihnya pergi. Ia menyusul. Di Lampung itu gerombolan orang Bantam memberontak melawan kekuasaan Belanda. Saijah ikut, bukan buat bertempur tapi buat mencari Adinda -- yang rupanya berada di desa lain dalam rombongan orang Bantam lain. Suatu hari ia sampai ke sebuah desa yang baru di-"tertib"-kan oleh tentara pemerintah dan dibakar. Mayat masih bergelimpangan. Di antaranya ternyata terkaparlah ayah Adinda. Juga: mayat Adinda, yang "telanjang, teraniaya dengan cara mengerikan . . . " Saijah kalap. Ia menyongsong beberapa prajurit Belanda yang dengan bedil terkokang menghalau sisa-sisa pemberontak yang masih hidup ke dalam api rumah-rumah yang tengah terbakar. Tak lama kemudian, pemuda itu pun tewas. "Saya bertanya kepada tuan, kepala-kepala negeri Lebak, mengapa banyak yang pergi untuk tidak dikuburkan di tempat kelahirannya? Mengapa pohon bertanya: "di mana orang yang kulihat bermain sebagai anak kecil di kakiku dahulu?" DALAM novel Max Havelaar, tragedi Saijah dan Adinda hanya sepotong kecil dari buku. Tapi ia merupakan ilustrasi pokok dari tema ketidak-adilan yang hendak dilawan tokoh utama kisah ini, asisten residen Lebak Max Havelaar -- seorang Belanda yang selalu terdorong membela yang lemah dan kecil. Dan di wilayahnya, yang lemah dan kecil itu adalah Saijah, Adinda, ayah mereka, rakyat dusun yang serba ketakutan oleh kekuasaan feodal pribumi. Memang agaknya memerlukan suatu pandangan sejarah untuk memahami, bahwa problim keadilan dan ketidak-adilan seperti yang tergurat dalam Max Havelaar bukanlah problim antara si "asing" dan si "bukan-asing." Sungguh mengagumkan bahwa generasi sebelum 1945 -- Muh. Yamin, Ki Hadjar Dewantara, Bung Karno dan Bung Hatta --memahami hal itu. Mereka, yang dibesarkan dengan ide-ide universil, yang tergerak oleh rasa kebangsaan dan sekaligus kemanusiaan, tergetar pula oleh Multatuli. Mengherankankah bila mereka melawan kolonialisme tanpa lupa menyingkirkan feodalisme: penghisapan asing dan kesewenang-wenangan pribumi?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus