BARU selesai dengan utusan pemilu, dua pekan lalu Departemen
Dalam Negeri punya kerja lagi: Pekan Komunikasi Penghayatan
Kesatuan Bangsa. Berlangsung di hotel Sahid Jaya Jakarta,
pertemuan itu "diharapkan dapat memantulkan ide-ide baru,"
kata Erman Harirustaman. Dirjen Sospol Depdagri.
Maksudnya tentu ide baru pembinaan kesatuan bangsa. Sasarannya
bisa diduga: asimilasi atau pembauran WN yang pri dan non-pri.
Yang non-pri pun sudah jelas siapa: warganegara keturunan
asing-Cina.
Anehnya, pertemuan itu sendiri hampir 100%, hanya dihadiri
oleh non-pri. Meskipun bertujuan mendorong asimilasi tapi
caranya berbau rasial. "Melawan eksklusipisme lewat cara
eksklusip, mana bisa?" tulis kolomnis Mahbub Junaidi dalam
Kompas.
'Ide baru' seperti yang diharapkan Erman sebenarnya sudah ada
sejak 1963, ketika LPKB (Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa)
dibentuk, yang kemudian dibubarkan tahun 1967 lantaran dianggap
lembaga yang tak dikenal dalam UUD 45.
Satu-satunya instansi pemerintah yang mengambil oper LPKB
adalah DKI, yang tahun 1974 membentuk BPKB (BadanPembina
Kesatuan Bangsa). Sebelumnya. BPKP DKI sendiri lewat
Sindhunata wakil ketuanya sudah menyampaikan beberapa saran
sebelum pekan komunikasi diselenggarakan. Sayang waktunya sangat
mendesak.
"Kami baru dihubungi oleh panitia dua minggu sebelumnya hingga
agak repot untuk menyusun konsep," kata Yunus Yahya, 50, anggota
pengurus BPKB kepada Klarawijaya dari TEMPO. Dan konsep itu,
misalnya menghendaki agar Pekan Komunikasi diselenggarakan
secara luas.
Maksudnya, mempertemukan segenap wakil-wakil golongan keturunan
asing, dan setelah itu sekaligus membentuk badan-badan seperti
BPKB di seluruh Indonesia. Pekan Komunikasi yang hanya dihadiri
oleh satu golongan saja, menurut Yunus Yahya, "hanya
membuang-buang waktu saja."
Tapi menurut sumber Depdagri, sebagaimana dicatat Widi Yarmanto
dari TEMPO, pertemuan pertama itu akan dilanjutkan dengan
pertemuan-pertemuan berikutnya. "Mula-mula dengan satu golongan
saja, terakhir dengan semua golongan," kata sumber itu.
Meskipun agak tersendat-sendat, BPKB DKI yang diketuai Kol.
Wiryadi SH, Ka Dirat VII DKI itu sudah tampak usahanya. Misalnya
meneliti proses pembauran di kelurahan Taman Sari dan Jembatan
Lima, dua daerah di Jakarta yang dikenal banyak berpenduduk
keturunan Cina.
Bersama Kadin-Jaya, BPKB juga membentuk Yayasan Karya Bhakti
Pengusana Nasional Swasta Indonesia (Karpenas) untuk mewujudkan
asimilasi di bidang ekonomi, diketuai oleh Eddy Kowara dari PT
Technik Umum. Selain mengadakan siaran sandiwara lewat TVRI,
juga mengadakan serangkaian diskusi dengan mahasiswa Universitas
Taruma Nagara. Bahkan juga, menerbitkan brosur kartun "Bang
roni Masuk Keluar Kampung" yang dilukis oleh kartunis Johny
Hidayat.
Selama ini yang menjadi sasaran anjuran untuk asimilasi selalu
golongan keturunan Cina. Mereka dianjurkan berbaur dengan
masyarakat pri. Padahal mestinya, anjuran itu ditujukan kepada
kedua-duanya. Barangkali kecuali terhadap masyarakat kota Medan
misalnya, di mana non-pri lebih banyak bersikap eksklusip.
Istilah WNI (warga negara Indonesia)pun, selama ini juga
dipakai secara khusus untuk non-pri - barangkali untuk
membedakannya dari WNA (asing). Anehnya non-pri sendiri (tidak
semuanya) dengan sadar memakainya sebagai identitas. Misalnya
dalam iklan-iklan perusahaan swasta yang mencari tenaga salah
satu syaratnya dicantumkan: WNI. Maksudnya: keturunan Cina.
Susahnya pemerintah sendiri secara tak sadar menghambat usaha
asimilasi itu. Misalnya dengan mencantumkan kolom 'bangsa' dan
'golongan' atau 'suku' pada sesuatu daftar isian. "Bagaimana
saya harus mengisinya?" keluh seorang warganegara Indonesia
keturunan asing.
Ia tak mau mengisinya dengan 'bangsa Arab' misalnya, sebab
otomatis sudah menjadi warganegara yang berarti juga menjadi
bangsa Indonesia. Dulu konon pernah diusulkan agar warganegara
keturunan asing 'dilantik saja menjadi semacam suku. Tapi
bukankah itu bertentangan dengan tekad Sumpah Pemuda hampir
setengah abad lampau?
Persoalannya jadi tambah ruwet kalau pemerintah melakukan
pendaftaran ulang bagi 'WNI keturunan asing'. Meskipun maksudnya
untuk keturunan Cina, WNI yang bukan keturunan Cina merasa perlu
diharuskan mendaftar ulang. Lagi pula hal itu menimbulkan tanda
tanya, mengapa keturunan Cina yang sudah menjadi warganegara
mesti mendaftar ulang?
Pemakaian istilah Cina pun, bagi telinga Indonesia, terdengar
berbau rasialistis -- meskipun dalam bahasa mana pun, juga
bahasa aslinya, memang disebut 'Cina'.
Barangkali keruwetan semacam itu pula yang selama ini dipikirkan
oleh Yahya. Dia menyayangkan adanya faktor keturunan atau
kesukuan yang masih disebut-sebut dalam pergaulan sehari-hari.
Bahkan dalam statistik kependudukan pula. "Anak sekarang mau
dibawa ke mana? Ini anak apa? Kan masih ada sebutan keturunan?"
ujarnya di kantor sebuah bank tempat ia bekerja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini