Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Satu nusa, satu ...

Pekan komunikasi penghayatan kesatuan bangsa dilaksanakan oleh depdagri dengan tujuan asimilasi dan pembauran warga negara yang pri dan non pri. pesertanya khusus keturunan cina.

6 Agustus 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BARU selesai dengan utusan pemilu, dua pekan lalu Departemen Dalam Negeri punya kerja lagi: Pekan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa. Berlangsung di hotel Sahid Jaya Jakarta, pertemuan itu "diharapkan dapat memantulkan ide-ide baru," kata Erman Harirustaman. Dirjen Sospol Depdagri. Maksudnya tentu ide baru pembinaan kesatuan bangsa. Sasarannya bisa diduga: asimilasi atau pembauran WN yang pri dan non-pri. Yang non-pri pun sudah jelas siapa: warganegara keturunan asing-Cina. Anehnya, pertemuan itu sendiri hampir 100%, hanya dihadiri oleh non-pri. Meskipun bertujuan mendorong asimilasi tapi caranya berbau rasial. "Melawan eksklusipisme lewat cara eksklusip, mana bisa?" tulis kolomnis Mahbub Junaidi dalam Kompas. 'Ide baru' seperti yang diharapkan Erman sebenarnya sudah ada sejak 1963, ketika LPKB (Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa) dibentuk, yang kemudian dibubarkan tahun 1967 lantaran dianggap lembaga yang tak dikenal dalam UUD 45. Satu-satunya instansi pemerintah yang mengambil oper LPKB adalah DKI, yang tahun 1974 membentuk BPKB (BadanPembina Kesatuan Bangsa). Sebelumnya. BPKP DKI sendiri lewat Sindhunata wakil ketuanya sudah menyampaikan beberapa saran sebelum pekan komunikasi diselenggarakan. Sayang waktunya sangat mendesak. "Kami baru dihubungi oleh panitia dua minggu sebelumnya hingga agak repot untuk menyusun konsep," kata Yunus Yahya, 50, anggota pengurus BPKB kepada Klarawijaya dari TEMPO. Dan konsep itu, misalnya menghendaki agar Pekan Komunikasi diselenggarakan secara luas. Maksudnya, mempertemukan segenap wakil-wakil golongan keturunan asing, dan setelah itu sekaligus membentuk badan-badan seperti BPKB di seluruh Indonesia. Pekan Komunikasi yang hanya dihadiri oleh satu golongan saja, menurut Yunus Yahya, "hanya membuang-buang waktu saja." Tapi menurut sumber Depdagri, sebagaimana dicatat Widi Yarmanto dari TEMPO, pertemuan pertama itu akan dilanjutkan dengan pertemuan-pertemuan berikutnya. "Mula-mula dengan satu golongan saja, terakhir dengan semua golongan," kata sumber itu. Meskipun agak tersendat-sendat, BPKB DKI yang diketuai Kol. Wiryadi SH, Ka Dirat VII DKI itu sudah tampak usahanya. Misalnya meneliti proses pembauran di kelurahan Taman Sari dan Jembatan Lima, dua daerah di Jakarta yang dikenal banyak berpenduduk keturunan Cina. Bersama Kadin-Jaya, BPKB juga membentuk Yayasan Karya Bhakti Pengusana Nasional Swasta Indonesia (Karpenas) untuk mewujudkan asimilasi di bidang ekonomi, diketuai oleh Eddy Kowara dari PT Technik Umum. Selain mengadakan siaran sandiwara lewat TVRI, juga mengadakan serangkaian diskusi dengan mahasiswa Universitas Taruma Nagara. Bahkan juga, menerbitkan brosur kartun "Bang roni Masuk Keluar Kampung" yang dilukis oleh kartunis Johny Hidayat. Selama ini yang menjadi sasaran anjuran untuk asimilasi selalu golongan keturunan Cina. Mereka dianjurkan berbaur dengan masyarakat pri. Padahal mestinya, anjuran itu ditujukan kepada kedua-duanya. Barangkali kecuali terhadap masyarakat kota Medan misalnya, di mana non-pri lebih banyak bersikap eksklusip. Istilah WNI (warga negara Indonesia)pun, selama ini juga dipakai secara khusus untuk non-pri - barangkali untuk membedakannya dari WNA (asing). Anehnya non-pri sendiri (tidak semuanya) dengan sadar memakainya sebagai identitas. Misalnya dalam iklan-iklan perusahaan swasta yang mencari tenaga salah satu syaratnya dicantumkan: WNI. Maksudnya: keturunan Cina. Susahnya pemerintah sendiri secara tak sadar menghambat usaha asimilasi itu. Misalnya dengan mencantumkan kolom 'bangsa' dan 'golongan' atau 'suku' pada sesuatu daftar isian. "Bagaimana saya harus mengisinya?" keluh seorang warganegara Indonesia keturunan asing. Ia tak mau mengisinya dengan 'bangsa Arab' misalnya, sebab otomatis sudah menjadi warganegara yang berarti juga menjadi bangsa Indonesia. Dulu konon pernah diusulkan agar warganegara keturunan asing 'dilantik saja menjadi semacam suku. Tapi bukankah itu bertentangan dengan tekad Sumpah Pemuda hampir setengah abad lampau? Persoalannya jadi tambah ruwet kalau pemerintah melakukan pendaftaran ulang bagi 'WNI keturunan asing'. Meskipun maksudnya untuk keturunan Cina, WNI yang bukan keturunan Cina merasa perlu diharuskan mendaftar ulang. Lagi pula hal itu menimbulkan tanda tanya, mengapa keturunan Cina yang sudah menjadi warganegara mesti mendaftar ulang? Pemakaian istilah Cina pun, bagi telinga Indonesia, terdengar berbau rasialistis -- meskipun dalam bahasa mana pun, juga bahasa aslinya, memang disebut 'Cina'. Barangkali keruwetan semacam itu pula yang selama ini dipikirkan oleh Yahya. Dia menyayangkan adanya faktor keturunan atau kesukuan yang masih disebut-sebut dalam pergaulan sehari-hari. Bahkan dalam statistik kependudukan pula. "Anak sekarang mau dibawa ke mana? Ini anak apa? Kan masih ada sebutan keturunan?" ujarnya di kantor sebuah bank tempat ia bekerja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus