"Bismillahirrohmanirrohiem ucap Presiden sembari menekan
tombol. Maka terpancarlah sinar dari lafaz "Allah" di puncak
menara, turun bagaikan kilat membentuk tulisan "Jibril" dan
"Muhammad" di atas sebuah bangunan mirip gua Hira. Lalu
terdengar gemuruh guntur. Dan tampak kilatan sinar naik ke udara
membentuk tulisan "Bismillah" dan "Iqra."
Itulah pembukaan MTQ ke X di stadion Klabat. Manado Sulawesi
Utara yang berlangsung seminggu akhir bulan kemarin. MTQ kali
ini memang agak istimewa. Bukan lantaran biayanya yang hampir
satu milyar rupiah, tapi seperti kata drs. H. Kafrawi MA. ketua
LPTQ punya lima keistimewaan lain.
Selain pertama kali diselenggarakan di daerah yang mayoritas
berpenduduk Kristen, juga pertama kali ditangani oleh LPTQ
(Lembaga Pembina Tilawatil Qur'an) pertama kali disiarkan lewat
satelit Palapa, pertama kali dihadiri ketua MTQ Internasional
Datuk Tan Sri Sayed Nasir dari Malaysia dan pertama kali
dihadiri kontingen Timor Timur.
Rombongan Timtim yang enam orang itu dipimpin oleh Isqaq dos Key
yang beragama Katolik. Selain belum begitu fasih berbahasa
Indonesia, kelima anggota kontingen Tim-tim itu kabarnya juga
baru sebulan berlatih membaca Al-Qur'an.
Kotamadya Manado yang menurut sensus 1976 berpenduduk 178.462
jiwa di hari-hari musabaqoh itu penghuninya telah bertambah
50%. Bukan hanya lantaran kedatangan 186 qori dan qoriah.
136 pelatih, 32 dewan hakim dan 2.000 anggota rombongan
kesenian, tapi juga mengalirnya penduduk sekitar Manado sebagai
penonton.
Orang Manado tampaknya cukup terbuka. Meski panitia telah
membangun 34 wisma khusus, lengkap dengan mushola, toko, kantor
pos, penduduk juga menyediakan 105 rumah untuk menampung
tamu-tamu MTQ. Bahkan gereja, kelenteng dan vihara pun tak
ketinggalan berhias.
Jauh sebelumnya, fihak gereja GMIM (Gereja Masehi Injili
Minahasa) sudah dua kali mengirim selebaran kepada 600.000
jemaatnya untuk menyambut MTQ. Umat Konghucu yang 100.000 jiwa
pun, yang umumnya pedagang, tak lupa menghias toko-toko mereka.
Itulah sebabnya Nyong Loho, ketua Komda Matakin di sana rada
kecewa ketika Gubernur H.V. Worang hanya menyebut umat Kristen,
Hindu dan Budha saja sebagai unsur yang mensukseskan MTQ. Worang
lupa menyebut umat Konghucu. Yang tak lupa, adalah gadis-gadis
Manado yang umumnya berkulit putih itu.
Ada yang bertugas di kalangan panitia MTQ mereka mencoba fasih
mengucapkan "assalamu'alaikum." Anak-anak sekolah Kristen dan
Katolik pun, selain menyumbang acara tarian dan rebana massal,
juga ikut pawai. Mereka tak segan-segan mengenakan peci hitam.
Bahkan ada yang membawa poster bertuliskan ayat-ayat Qur'an.
Sambutan semeriah itu, dalam masa kecurigaan antar golongan
agama masih terasa. Memang mengharukan. Namun kerukunan beragama
seperti itu, menurut Hamka setelah ia melantik dewan hakim MTQ,
sudah dilihatnya sejak tahun 1934. Ketika itu ia mendarat di
pantai Belang Manado. "Kerukunan orang Kristen dan Islam di sana
sudah baik ketika itu." Katanya kepada Phill M. Sulu dari
TEMPO.
Meskipun hanya 20%, penduduk Manado beragama Islam, namun tentu
mereka merasa beruntung ketika Presiden meresmikan Islamic
Centre dan Pondok Karya yang masing-masing seharga Rp 50 juta
dan 48,8. Selain itu juga telah diresmikan mesjid raya "Ahmad
Yani" (Rp 36 juta) serta bagian kesehatan anak RSU Manado (Rp
36 juta).
Kerukunan agama itu tercermin pula dalam ruang pameran. Di sana
selain bisa dilihat miniatur Ka'bah, miniatur candi, gambar
Jesus, potret Sri Paus, St. Petrus, juga Injil dalam bahasa
Melayu-Riau yang dicetak tahun 1733 di Amsterdam. Akan lebih
klop agaknya sebagai sesuatu yang bersejarah jika nanti misalnya
Banda Aceh atau Ujung Pandang menjadi tuan rumah - misalnya
untuk Sidang Dewan Gereja se-Indonesia. Paling sedikit pertanda
kebesaran jiwa semua pihak, termasuk ummat Islam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini