BERITA berjudul Coba, Sembiring Diadili di Amerika (TEMPO, 15 November, Hukum), menggugah hati saya. Di negara kita, saat ini, masih belum ada undang-undang yang melindungi hak asasi anak-anak sebagaimana di negara-negara maju seperti AS yang memiliki juvenile Court of Cook County yang merupakan pengadilan anak pertama di dunia. Meski begitu, Indonesia, sebenarnya, sejak 1967 sudah memiliki RUU tentang Peradilan Anak hasil ciptaan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), yang masih merupakan konsep. Dalam konsep RUU tentang Peradilan Anak, Pasal 1 ayat 1 berisi: memeriksa dan memberi keputusan atas: a. Anak nakal, b. Anak telantar, c. Perwalian dan d. Pengangkatan anak. Saya menggarisbawahi anak nakal, karena yang termasuk anak nakal di sini anak yang tidak dapat diatur atau tidak taat pada orangtua, yang selalu bergaul dengan orang tidak bermoral, dan yang melakukan perbuatan pidana. Menurut saya, Sembiring anak yang baik, cerdas, dan patuh pada orangtuanya. Bayangkan, dalam usianya yang baru 12 tahun itu ia dapat mengerti dan mau memikirkan keadaan keluarganya yang miskin. Yaitu menjual padi mereka dengan tidak menyalahgunakan untuk keperluan lain yang tidak bermanfaat, dan ia menurut apa yang dikehendaki ibunya. Pasal 4 konsep RUU itu menyebutkan, "Pengadilan Anak mengutamakan kesejahteraan anak di samping kepentingan masyarakat." Mengutamakan di sini berarti kepentingan masyarakat dinomorduakan. Atau, dengan kata lain, kepentingan anak tersebut tidak boleh diabaikan dan dikorbankan hanya atas dasar alasan kepentingan masyarakat. Penilaian saya, polisi, jaksa/penuntut umum, dan hakim/majelis hakim yang secara langsung menangani kasus Sembiring terdiri dari orang-orang legist, yakni menganut legisme. Itu berarti, mereka mengultuskan dan mendewakan kekuasaan undang-undang semata-mata tanpa meninjau latar belakang kasus dan tanpa memikirkan nasib serta masa depan Sembiring di kemudian hari. Walaupun TEMPO tidak memberitakan selengkapnya kasus ini, hampir dapat dipastikan, terhadap diri Sembiring telah dilakukan penangkapan dan penahanan oleh penyidik, kemudian oleh jaksa/penuntut umum dituntut sebagai suatu keharusan (asas legaliteit). Bahkan atas putusan hakim PN yang memvonis empat tahun, jaksa naik banding. Dan, karena adanya permohonan banding itu, hakim/majelis hakim PT memvonis berat menjadi enam tahun. Ini merupakan bukti, para penegak hukum di Tanah Karo, Sumatera Utara, dalam menjalankan dan menerapkan hukum, seolah-olah, hanya berpegangan teguh pada ketentuan hukum dan undang-undang. Kepentingan masyarakat diutamakan, sedangkan kepentingan Sembiring sebagai anak kecil, yang tidak mengerti apa-apa, telah dikesampingkan. Dan hak asasinya, yang diharapkan kelak dapat menjadi generasi penerus, telah diabaikan dan diperkosa dengan vonis pidana itu. Saya mengecam keras tuntutan dan vonis demikian dalam kasus Sembiring! Penuntutan oleh jaksa/penuntut umum menggunakan asas legaliteit, sedangkan yang berlaku di Indonesia adalah asas opportuniteit. Hakim/majelis hakim tidak mencerminkan atau melambangkan suatu pengayoman. Seperti ditulis TEMPO, alasan dan pertimbangan di jatuhkannya vonis pidana enam tahun oleh majelis hakim PT bukan untuk menghukumnya, tapi justru mendidik. Pendapat demikian, suatu kekeliruan besar dan interpretasi yang salah terhadap maksud dan tujuan hukum pidana kita. Kitab Undang Undang Hukum Pidana Pasal 45 menyebutkan, hakim dalam mengadili anak yang belum berumur enan belas tahun dapat memilih tiga alternatif dalan putusannya. Yaitu: a. Memerintahkan supaya anak tersebut dikembalikan kepada orangtuanya tanpa pidana apa pun b. Atau memerintahkan supaya anak tersebut diserahkan kepada pemerintah, tanpa pidana apa pun c. Dan/atau menjatuhkan pidana. Kelihatanlah, alternatif a dan b bukan merupakan penghukuman secara fisik dalam penjara, sedangkan dalam kasus Sembiring itu alternatif yang dipilih hakim/majelis hakim adalah alternatif c, yang dalan praktek dijalani di penjara/lembaga pemasyarakatan secara fisik atau tidak dijalankan dengan suatu syarat (pidana bersyarat = voorwaardelijk). Bila vonis hakim/majelis hakim terhadap diri Sembiring sebagai/bersifat mendidik, berarti terdakwa tidak dipidana penjara, terdakwa dikembalikan kepada orangtuanya ataupun diserahkan kepada pemerintah. Dengan demikian, Sembiring harus segera dimasukkan ke rumah pendidikan negara, supaya menerima pendidikan dari pemerintah sebagaimana dimaksudkan Pasal 46 ayat 1 KUHP. Inilah yang saya maksudkan dengan kekeliruan dan kesalahan hakim majelis hakim dalam menjatuhkan putusan. Apa pun dalihnya, dalam hal menangkap, menahan, menuntut, dan mengadili anak-anak, i.c. Sembiring, yang diperlakukan seperti memeriksa orang dewasa, bahkan memvonis berat adalah tidak bijaksana dan tidak manusiawi. Karena itulah, melalui TEMPO, saya menyarankan kepada pengacara/penasihat hukum Sembiring, Jernih Tarigan, Bc.Hk., yang kita harapkan tetap berjiwa besar dan beridealisme tinggi dalam membela hak asasi manusia, Sembiring kecil tersebut, agar memperjuangkan ke tingkat kasasi, bila tenggang waktu masih ada. Dan/atau, bila kasasi tidak mungkin masih dapat ditempuh dengan jalan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung dengan dasar alasan pada putusan tersebut terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata, seperti yang saya uraikan di atas! TJIWIE SJAMSUDDI Jalan Ir. H. Juanda 10 Palangkaraya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini