TIBA-TIBA saja datang berita mengejutkan dari Tokyo. Yakni sebuah kelompok ahli orang Jepang, menyelenggarakan pameran dokumentasi sejarah -- tentang masa lalu yang pahit. Pahit, karena membuka kembali kisah pendudukan Jepang terhadap Indonesia. Pameran yang diadakan untuk pertama kalinya itu berlangsung di lantai 9 Gedung Asia Keizai Kenkyusho, di Ichigaya, Distrik Shinjuku, Tokyo, pekan lalu (4-6 Desember) lalu. Di sini dipamerkan 20 buah foto-foto panel, antara lain foto ketika Bung Karno, Bung Hatta, dan Ki Bagoes Hadikoesoemo datang berkunjung ke Jepang. Ada juga potret Yoga Soegama, ketika belajar di Jepang. Kabakin ini berpendidikan Akademi Militer Tokyo (1942-1945). Ia bahkan ikut bertempur di Okinawa. Ketika bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, ia berada di Tokyo. Tak hanya itu, tentu, yang dipamerkan. Ada juga fotokopi pelbagai koran dan majalah yang diterbitkan selama pendudukan Jepang. Di antaranya Sekidoho, Unabara -- keduanya diterbitkan oleh Seksi Pers Pasukan ke-16 yang menduduki Jawa. Ada pula koran Borneo Shimbun, serta majalah seperti Jawa Baroe, serta Peradjurit -- organ Peta (Pembela Tanah Air). Juga dipamerkan uang "gunpyo", yang diterbitkan oleh tentara Jepang waktu itu. Dra. Soemartini, Kepala Arsip Nasional RI, yang hadir dalam pameran itu, menyebut ada sekitar 150 materi yang dipamerkan. Ada dokumen yang asli, tapi sebagian berupa fotokopi. Yang terang, "Arsip Nasional sama sekali tidak memiliki dokumen masa pemerintahan Jepang di Indonesia," katanya. Semula panitia mengharapkan hadir 50-100 orang sehari. Ternyata, selama pameran berlangsung, yang datang mencapai 400 orang. Hampir separuh pengunjung adalah bekas tentara Jepang, atau orang sipil yang pernah bertugas di masa pendudukan Jepang di Indonesia. Sekitar 20 persen pengunjung mahasiswa serta sarjana pelbagai universitas di Jepang, yang berkaitan dengan studi ihwal Asia Tenggara atau bahasa Indonesia. Selebihnya, antara lain, para wartawan Jepang bekas dubes Jepang di Indoneia Ryozo Sunobe, dubes RI Wiyogo Atmodarminto, serta Rektor Universitas PBB Dr. Soedjatmoko. Dan sisanya, tak banyak, anggota masyarakat yang awam ihwal Indonesia. "Sebagai pameran yang pertama, tergolong sukses besar," ujar Ketua Panitia Pameran Prof. Mitsuo Nakamura. Menurut ahli dari Universitas Chiba, yang telah menulis berbagai hal tentang Indonesia ini, sejak semula, pameran ini tidak dimaksudkan bagi kalangan umum. Juga, tidak bertujuan agar generasi muda Jepang, misalnya, lantas mengerti Indonesia. "Tujuan pameran ini, ingin menggali dokumen sejarah masa pendudukan Jepang di Indonesia -- yang masih tersembunyi," tambah Nakamura. Memang, dokumentasi pendudukan Jepang tergolong langka. Suasana perang disebut-sebut telah menyebabkan banyak dokumen berharga hilang. "Semua dokumen pemerintahan Jepang dimusnahkan," kata Soemartini. "Kami akan berusaha memiliki dokumen-dokumen itu, paling tidak memfotokopinya," kata Soemartini. "Dokumen-dokumen itu dapat mengisi kekosongan Arsip Nasional." Pameran yang diselenggarakan para peneliti Jepang yang tergabung dalam Forum untuk Bahan Riset tentang Pendudukan Jepang di Indonesia itu dinilai berhasil oleh Soemartini. Terlebih jika diingat, forum itu sendiri baru didirikan April tahun silam. Sponsornya adalah Toyota Foundation. Sampai April tahun depan, Forum mendapat 2,8 juta yen. Apa yang mendorong penyelenggaraan pameran itu? Adakah ini bukti orang Jepang makin jujur terhadap masa lalu, terutama kekejaman mereka di kawasan Pasifik, terutama Indonesia? Terlebih pameran itu diselenggarakan ketika Peristiwa Pulau Babar masih hangat dibicarakan. Adalah koran terkemuka Asahi Shimbun, sepuluh hari sebelum pameran itu berlangsung, misalnya, menurunkan berita utama yang menggegerkan. Dalam edisi 23 November lalu itu, Tomio Taketomi, 68, bekas sersan mayor angkatan darat Jepang, membeberkan kisah pembunuhan sekitar 400 penduduk Pulau Babar (Indonesia). Taketomi sebelumnya menulis hal yang sama di majalah Rekishi To Jinbuttsu (Sejarah dan Tokoh). Majalah yang punya hubungan bisnis dengan Asahi Shimbun itu memuat hampir semua dokumen yang dimilikinya. Dokumen rahasia ini terdiri dari 41 lembar, kertasnya kebanyakan merupakan kertas yang kala itu dipakai angkat darat Jepang. Inilah dokumen berisi tentang serangkaian Peristiwa Babar yang terjadi tanggal 27 Oktober 1944. Taketomi, kepada Seiichi Okawa dari TEMPO, mengaku bertahun-tahun sudah dengan disiplin kuat berusaha mencari dan mengumpulkan barang serta dokumen asli dari zaman Perang Dunia II. Dan sejak 8 tahun silam, sebuah ruangan rumahnya sekitar 20 m2 dijadikannya "museum dokumentasi perang untuk serdadu dan rakyat kecil". Tempat ini terbuka bagi umum, dan gratis bagi siapa saja yang ingin melihat koleksi Taketomi. Di tengah ruangan ini terdapat pula sebuah kotak sembahyang "Di depan kotak ini, saya setiap pagi bersembahyang untuk para korban perang. Korban itu tidak hanya rakyat dan serdadu Jepang saja, tapi termasuk segala rakyat dari serdadu dari kawasan Asia Pasifik yang tewas karena perang," katanya. Pada musim panas tahun silam, Taketomi memamerkan koleksinya itu di suatu Pusat Perdagangan di Kota Kitakyushu, di Provinsi Fukuoka. Berlangsung 12 hari, tercatat 5.600 pengunjung datang berkunjung. Sebelum pameran berlangsung, ia mengimbau lewat kontak pembaca koran Asahi. Isinya: agar para pembaca suka menyumbangkan barang-barang bekas perang untuk dipamerkan. Kala pameran masih berlangsung, datanglah seorang kenalan lama Taketomi, membawa dokumen tentang Peristiwa Pulau Babar itu. "Pada saat melihat dokumen itu, saya yakin dokumen ini tulen," katanya. Toh ia, katanya, untuk menguji kebenaran dokumen itu lantas mendatangi beberapa nama yang disebut dalam dokumen itu "Mereka semua terkejut melihat dokumen ini," ujar Taketomi. Pada mulanya, Taketomi ragu mengumumkan atau tidak dokumen rahasia itu. Tapi tak lama. "Meski para korban tak bisa omong lagi rohnya meminta saya agar mengumumkan kekejaman pembunuhan massal itu kepada dunia." kata Taketomi. Karena itu, ia lantas menyiarkan dokumen Peristiwa Pulau Babar itu, di koran Asahi Shimbun. Hasilnya? Sampai akhir pekan lalu "Saya telah menerima 14 telepon, 12 pucuk surat dari berbagai provinsi. Isinya, semua memuji keberanian saya membongkar dokumen itu," kata Taketomi. Agaknya, di Negeri Sakura itu, kini tengah tumbuh suatu "keberanian" membuka lembaran pahit. Termasuk lembaran sejarah gelap, tentang kekejaman negeri sendiri, yang fasistis. Padahal, empat tahun silam, pemerintah Jepang sendiri dengan sengaja menyensor buku sejarah mereka -- demi citra Jepang yang baik. Dalam buku berjudul Shin Nihonshi (Sejarah Jepang) setebal 315 halaman itu, banyak data sejak Restorasi Meiji (1867) sampai tahun 1945 yang direvisi. Misalnya fakta bahwa 600.000 orang Korea korban kerja paksa dibuang dalam buku itu, dan diubah menjadi "tenaga kerja sukarela". Dalam buku sejarah lain, Koto Sekaishi (Sejarah Dunia), 375 halaman, yang diresmikan Kementerian Pendidikan, misalnya, tak disebut sama sekali soal romusha. Begitulah, ringkasnya, ada kesengajaan untuk menutupi bagian gelap sejarah bagi generasi muda Jepang. Tapi kini? Menurut Prof. Kenichi Goto, setelah perang Dunia Kedua 40 tahun berlalu, inilah saatnya bagi penelitian tentang pendukan Jepang di Indonesia. "Orang dapat melihat secara obyektif, dan generasi tua baru merasa ingin meninggalkan pengalam mereka," kata guru besar Universitas Yaseda ini. Buktinya, ada 10 pengunjung pameran, yang menyatakan bersedia memberikan dokumen atau keterangan yang mereka ketahui. Sesungguhnya, pendudukan Jepang di Indonesia itu tidak seluruhnya hitam. Kedatangan Jepang, kemenangannya melawan kulit putih, terusirnya Belanda, di sana-sini banyak disambut dengan harapan baru. Inilah harapan yang juga menggelembung di dada sejumlah tokoh Indonesia, yang sebelumnya bersikap nonkoperasi terhadap Belanda. Bung Hatta misalnya. Belanda menyerah pada Jepang, sekitar sebulan sesudah ia bersama Sjahrir dibebaskan dari Bandaneira, dan kemudian ditahan di Sukabumi. Seorang pembesar Kempetai datang menemuinya. Inilah tawaran Jepang yang pertama kali pada Bung Hatta untuk bekerja sama. Pada 9 Juli 1942, Bung Karno tiba di Pasar Ikan Jakarta, setelah dibebaskan dari pembuangannya di Bengkulu. Bung Hatta datang menjemputnya. Pada malam itu juga, Bung Karno meminta bertemu bertiga, dengan Hatta dan Sjahrir. Bung Karno ingin bertukar pikiran. Karena itu, pertemuan kembali dengan Bung Hatta, setelah sembilan tahun dipisahkan karena diasingkan oleh Belanda, mempunyai arti tersendiri. Pendekatan Jepang pada dua tokoh nasionalis ini, dan kepercayaan akan kemerdekaan seperti yang dijanjikan Jepang, mampu mendepak perbedaan-perbedaan antara kedua tokoh ini sebelumnya. Dalam pertemuan Bung Karno-Hatta-Sjahrir itu, Bung Karno menyebut bahwa perbedaan ihwal partai dan taktik perjuangan tak ada lagi. Yang diperlukan ialah bersatu dalam suatu perjuangan bersama. Bung Karno lantas bicara tentang "memperoleh konsesi-konsesi politik yang berkenaan dengan pendidikan militer dan jabatan-jabatan pemerintahan bagi orang-orang kita, kita harus memperlihatkan diri dengan cara kolaborasi". Bung Hatta menyebut, untuk menggerakkan massa, Bung Karno harus bekerja dengan terang-terangan. Bung Karno menjawab, Bung Hatta terlalu terkenal -- untuk bekerja di bawah tanah. Adalah Sjahrir kemudian menyarankan agar ia sendiri yang bekerja di bawah tanah. Dalam perkembangan selanjutnya, kita tahu, selama masa pendudukan Jepang, Dwitunggal itu tak pernah berpisah dalam bekerja sama dengan Jepang. Bahkan, pada November 1943, bertiga bersama Ki Bagus Hadikoesoemo, mereka berangkat ke Tokyo. Di sini mereka dijamu Perdana Menteri Jenderal Toyo. Tak hanya itu. Bahkan Tenno Heika menerima mereka bertiga dalam suatu audiensi di Istana, dan menganugerahi mereka bertiga Bintang Ratna Suci. Setelah ini, makin kuatlah keyakinan bahwa Jepang akan memerdekakan Indonesia. Suatu langkah yang membekas panjang, yang menyebabkan Soekarno-Hatta disebut kolaborator. Ketika akhirnya teks proklamasi disusun di rumah Laksamana Muda Maeda, ada yang menilai bahwa kemerdekaan merupakan hadiah Jepang. Jepang memang memerintah dengan politik tinggi. Suatu manajamen kekuasaan yang memang berbeda dengan Belanda. Jepang memberi ruang gerak bagi para tokoh nasionalis, sehingga mereka tidak berdiri di pihak oposisi. Malah dengan menggunakan kepemimpinan Soekarno-Hatta itulah, Gerakan Tiga A serta Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dibentuk. Dengan cara piawai pula Jepang, misalnya, memobilisasikan kekuatan pertahanan rakyat. Adalah Jepang, misalnya, yang membentuk Rukun Tetangga (RT) alias Tonarigumi -- yang hingga kini kita pakai. Salah satu keterampilan yang diperoleh orang Indonesia di bawah pendudukan Jepang adalah di bidang militer. Jepang memberi kesempatan luas untuk latihan militer dasar dalam berbagai badan semimiliter. Ada Seinendan (barisan pemuda), yang pada akhir penjajahan Jepang diperkirakan mempunyai anggota 500.000 anggota. Ada pula yang disebut Keibodan (barisan pembantu polisi) yang beranggota lebih satu juta jiwa. Ada pula Pembela Tanah Air (Peta). Jepang memang melakukan serangkaian penjungkirbalikan terhadap politik kolonial Belanda. Dalam hal kebudayaan, misalnya. Jepang melarang keras penggunaan bahasa Belanda. Keinginan yang kuat untuk berkomunikasi dengan masyarakat Indonesia menyebabkan orang Jepang belajar bahasa Indonesia. Akibatnya, bahasa Indonesia digunakan sangat luas hingga ke pelosok-pelosok. Jepang lantas malah tak mengizinkan terbit koran bahasa Belanda, dan menggantikannya dengan berbahasa Indonesia. Misalnya Asia Raya, Soeara Asia, serta Sinar Baroe. Animo membaca meningkat. Kecuali koran-koran berbahasa Indonesia itu, Jepang juga mengizinkan terbit berbagai koran berbahasa daerah (Sunda, Jawa, dll). Pertum buhan bahasa Indonesia ini akhirnya, tak dapat dicegah lagi oleh Jepang. Malah Kantor Pengajaran Pemerintah Militer Jepang di Jawa pada 20 Oktober 1943, membentuk suatu komisi penyempurnaan bahasa Indonesia yang antara lain duduk di situ Sutan Takdir Alisjahbana. Perbedaan penting lainnya ialah perlakuan pada para tokoh Islam. Belanda memilih bertindak "mengurung" pengaruh Islam. Sedangkan Jepang memberi perhatian dan dukungan yang intensif. Pada 7 Desember 1942, misalnya, dalam suatu resepsi, 32 orang ulama dari seluruh Jawa mendapat penghormatan dari Panglima Tertinggi di Istana Gubernur di Jakarta. Pada masa Jepang ini ada liberalisasi bidang-bidang kegiatan keagamaan hingga ke desa Jepang yang menghidupkan kembali MIAI (Majelis Indonesia Aslam Islamy), dan pada masa pendudukan Jepang pula lahir Majelis Sjuro Muslimin Indonesia (Masjumi). Pendudukan Jepang memang meninggalkan dua muka. Di kala inilah orang mengibarkan bendera merah putih berdampingan dengan bendera bermatahar, dan orang berteriak "Hidup Indonesia! Hidup Nippon.!" Tapi inilah pula bangsa yang menggunakan Soekarno mengerahkan romusha. Dari seperempat juta rakyat Indonesia yang dikirim ke luar sebagai romusha, hanya 70.000 yang kembali. Orang-orang yang menentang Jepang, seperti kata S.K. Trimurti, disiksa dibunuh, dibikin cacat badannya. "Kekejaman itu saya saksikan, dan saya alami sendiri," ujarnya. Adalah pemandangan sehari-hari yang sedang sakaratul maut tergeletak di jalan-jalan. Ini, antara lain, menyebabkan seorang mahasiswa kedokteran kala itu, Soedjatmoko, kini Rektor Universitas PBB di Tokyo, protes atas kolaborasi Soekarno. Katanya, "Kami datang untuk menarik kesetiaan kami darimu, Bung."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini