KETIKA surat kabar terkemuka Asahi Shimbun, dua pekan lampau, membeberkan dokumen pembantaian 400 penduduk Pulau Babar, Maluku, oleh tentara pendudukan Jepang, koresponden TEMPO di Tokyo, Seiichi Okawa, segera kami tugasi mencari pelakunya. Itu tak mudah, karena sebagian dari saksi sejarah 40 tahun silam itu ada yang telah meninggal, sebagian lagi tak diketahui empat tinggalnya. "Tapi saya tak menganggap tugas yang diberikan kali ini sulit," kata Okawa. Tugas pertama yang dilakuan Okawa adalah mencari alamat Kunio Sato, 61, bekas prajurit pada dinas kesehatan tentara pendudukan Jepang, yang disebut-sebut tahu banyak alamat para bekas serdadu Jepang yang pernah bertugas di Indonesia. Dari dialah diperoleh info bahwa penyulut peristiwa Pulau Babar adalah Prajurit Toshio Tsuzuki. Tapi, info yang diberikan Sato mengenai Tsuzuki sangat minim: Tsuzuki, sesudah Perang Dunia II bekerja di sebuah kantor pos di Provinsi Aichi. Baru setelah petugas kantor pos membongkar file Tsuzuki, akhirnya didapatkan juga alamat anggota cacat veteran itu. Adalah dari Tsuzuki, yang kehilangan kaki waktu Perang Dunia II lalu, nama-nama yang disebut-sebut dalam dokuen Pulau Babar bisa dilacak. Selain Sato dan Tsuzuki, Tomio Taketo ini, perwira intel tentara pendudukan Jepang yang menyimpan dokumen pembantaian itu, dan anggota veteran Jepang lainnya juga membantu TEMPO melacak sumber-sumber yang terlibat. Dari merekalah Okawa memperoleh sejumlah nama dan alamat pensiunan tentara Jepang yang pernah bertugas di Indonesia Timur. Mereka, antara lain, Kapten Toshiro Tashiro, kini 65, bekas Komandan Kompi 12 pada Resimen Infanteri 42, yang disebut-sebut sebagai pelaku utama pembantaian dan Kapten Nakamura, sekarang 74, perwira polisi militer, yang memeriksa Tashiro. Pekan lampau, Okawa bersama Koordinator Redaktur Pelaksana Herry Komar terbang ke Pulau Kyushu untuk mewawancarai Taketomi dan Nakamura. Untuk mencapai kediaman kedua saksi sejarah itu (Taketomi di Kota Honami dan Nakamura di Kota Tabuse), Okawa dan Komar lima kali berganti kendaraan: pesawat terbang, bis, taksi, kereta api cepat Shinkasen, sampai kereta api lokal. Tapi, tak semua sumber terbuka. Misalnya Kapten Nakamura. Sekalipun kepadanya disodorkan fotokopi dokumen pembantaian di Pulau Babar (kami peroleh dari Taketomi), Nakamura, yang sekarang menjadi Wali Kota Tabuse, menyangkal dirinya tahu peristiwa tersebut. "Barangkali itu Nakamura yang lain," katanya. "Kesan saya, ada kenyataan sejarah yang disembunyikannya," ujar Okawa. Tidak demikian halnya dengan Tsuzuki dan Tashiro. Mereka mengaku adanya pembantaian itu. Tapi seperti dituturkannya kepada Okawa, pasukannya melakukan itu karena menjalankan perintah negara. Bahan yang diperoleh Okawa itu (untuk penerjemahannya: ke Bahasa Indonesia, kata Okawa, ia tak tidur selama dua hari dua malam) kami lengkapi dengan sejumlah wawancara dan pencarian dokumen sejarah di sini, dan kemudian dituliskan oleh Saur Hutabarat, James R. Lapian, dan A. Luqman sebagai Laporan Khusus. Semula, cerita tentara pendudukan Jepang ini kami siapkan untuk Laporan Utama. Tapi, pada rapat perencanaan, Senin siang lalu, kami putuskan untuk mengganti Laporan Utama dengan berita ditangkapnya tersangka pembunuh Peragawati Dice karena cerita ini lebih hangat. Mengapa Siradjudin disangka membunuh Dice? TEMPO menyajikan lebih lengkap untuk Anda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini