Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kelinci yang lucu

Kelinci sebentar lagi akan berlimpah ruah di indonesia. martabatnya akan naik menyamai bebek, ikan gurame atau bahkan domba. maka perlu segera dibuat lokakarya tentang kelinci dari para ahli pbb.

19 Juli 1980 | 00.00 WIB

Kelinci yang lucu
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
DI tahun 60-an, dean nya para korp diplomat asing di Jakarta adalah Dubes Mesir Al Amrousi. Dia lurahnya para dubes, tubuhnya bulat dengan kepala berdahi bening di atasnya bagaikan labu yang baru dipetik dari kebun. Betul-betul dubes tulen, sedikit bicara banyak mengangguk, sukar diterka apakah dia sepakat atau tidak dengan pendapat kita. Wibawanya tercium dari jarak 5 meter, angkernya langka, seakan dibelinya sembunyi-sembunyi dari seluruh toko antik yang terpencil di pinggir kota. Tapi, pekerjaan dubes itu berbahaya. Hanya lewat sepucuk surat yang berprangko cukup, dia bisa berhenti mendadak dan pulang ke negeri asalnya menenteng koper berisi kemeja dan wibawa dan membungkuk-bungkuk kepada duane. Itulah yang terjadi pada Al Amrousi kita yang malang, gelandangnya para dubes asing di Indonesia. Jika nasib baik dia diampung jadi penasihat ahli menlu di negerinya, dan jika tidak, tenggelamlah ia ke dalam lautan metropolitan Kairo. Al Amrousi termasuk dalam golongan kedua ini. Pada suatu pagi di tahun 1964 ketika lagi duduk-duduk di kursi taman rumah Dubes Indonesia Isman sambil mengawasi dengan gemas tukang perahu Sungai Nil yang berkaok-kaok mengajak pesiar turis, saya lihat Al Amrousi jalan terhuyung-huyung di trotoir. Ketiak kirinya mengempit roti bundar Mesir sebesar tampah dan tangan kanannya mencengkeram kedua kuping seekor kelinci yang lucu, pasrah dan tidak menunjukkan keresahan apa pun. Buat apa kelinci itu? Mau di bawa ke kebun binatang? tanyaku kepada sopir kedutaan. Buat apa?! Buat gulai tentu saja, jawabnya. Ternyata bukan Al Amrousi seorang mencengkeram telinga kelinci di pagi hari, melainkan beratus ribu penduduk Kairo lainnya. Sesudah itu perhatian saya terbelah dua. Pertama, KTT Non Blok yang sedang berlangsung di kota itu. Kedua, kelinici. Ternyata binatang ini--dengan segala variasinya--sudah ada di dunia 30 juta tahun yang lalu, berleluhur asal Afrika Utara dan Eropa Selatan, anti KB dengan ekstrim, gemar bersanggama sepanjang tahun khususnya antara bulan Februari dan September, dan sekali bersentuh terus beranak. Ada kelinci berbulu kasar dari Himalaya, ada model kelinci Kepulauan Liukiu, ada kelinci Nesolagus dari Sumatera, ada kelinci Pronolagus warna merah dari Afrika Selatan, ada kelinci rumut dari Sudan. Saya kira jenis kelinci terakhir ini yang akan digeragot Al Amrousi. Menurut perhitungan saya, Al Amrousi segera akan dapat penganut yang berlimpah ruah di Indonesia dalam tempo singkat dan kelinci akan naik martabat setara dengan ayam dan bebek alabio dan ikan gurame Sumedang, dan lewat sedikit perjuangan politis akan sama terhormatnya dengan seekor domba. Baik bekas dubes atau dubes yang masih dalam jabatan, baik gubernur atau wakil-wakilnya, menteri tua atau menteri muda, para anggota Badan Musyawarah Antar Umat Beragama, peserta penataran berikut penatarnya sekaligus, para ibu-ibu Ria Pembangunan, investor domestik maupun asing, Pramuka dan Ampi, akan menaruh perhatian penuh dan berkobar-kobar kepada kelinci. Jika domba 9-10 kali lipat lebih banyak di negeri itu ketimbang orang Selandia Baru, mengapa kelinci tidak bisa mengungguli jumlah bangsa Indonesia baik dia dari orpol maupun ormas? Halangannya cuma satu virus Myxomytosis yang bisa membikin para kelinci kelojotan dan berbusa serta pulang ke rahmatullah beramai-ramai. Untungnya, virus ini tahu aturan permainan, bergerak menurut rencana mendasar, cuma melabrak kelinci dan tidak binatang-binatang lain. Oleh sebab itu tidak ada salahnya lekas-lekas bikin lokakarya ihwal kelinci, atau bentuk Lembaga Kelinci yang anggotanya terdiri dari para ahli dari IPB sambil mengikutsertakan tokoh-tokoh masyarakat berikut dari kalangan kelinci sendiri. Target pertama sudah barang tentu: kelinci masuk kota.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus