DI tahun 60-an, dean nya para korp diplomat asing di Jakarta
adalah Dubes Mesir Al Amrousi. Dia lurahnya para dubes,
tubuhnya bulat dengan kepala berdahi bening di atasnya bagaikan
labu yang baru dipetik dari kebun. Betul-betul dubes tulen,
sedikit bicara banyak mengangguk, sukar diterka apakah dia
sepakat atau tidak dengan pendapat kita. Wibawanya tercium dari
jarak 5 meter, angkernya langka, seakan dibelinya
sembunyi-sembunyi dari seluruh toko antik yang terpencil di
pinggir kota.
Tapi, pekerjaan dubes itu berbahaya. Hanya lewat sepucuk surat
yang berprangko cukup, dia bisa berhenti mendadak dan pulang ke
negeri asalnya menenteng koper berisi kemeja dan wibawa dan
membungkuk-bungkuk kepada duane. Itulah yang terjadi pada Al
Amrousi kita yang malang, gelandangnya para dubes asing di
Indonesia. Jika nasib baik dia diampung jadi penasihat ahli
menlu di negerinya, dan jika tidak, tenggelamlah ia ke dalam
lautan metropolitan Kairo. Al Amrousi termasuk dalam golongan
kedua ini.
Pada suatu pagi di tahun 1964 ketika lagi duduk-duduk di kursi
taman rumah Dubes Indonesia Isman sambil mengawasi dengan gemas
tukang perahu Sungai Nil yang berkaok-kaok mengajak pesiar
turis, saya lihat Al Amrousi jalan terhuyung-huyung di trotoir.
Ketiak kirinya mengempit roti bundar Mesir sebesar tampah dan
tangan kanannya mencengkeram kedua kuping seekor kelinci yang
lucu, pasrah dan tidak menunjukkan keresahan apa pun. Buat apa
kelinci itu? Mau di bawa ke kebun binatang? tanyaku kepada sopir
kedutaan. Buat apa?! Buat gulai tentu saja, jawabnya. Ternyata
bukan Al Amrousi seorang mencengkeram telinga kelinci di pagi
hari, melainkan beratus ribu penduduk Kairo lainnya.
Sesudah itu perhatian saya terbelah dua. Pertama, KTT Non Blok
yang sedang berlangsung di kota itu. Kedua, kelinici. Ternyata
binatang ini--dengan segala variasinya--sudah ada di dunia 30
juta tahun yang lalu, berleluhur asal Afrika Utara dan Eropa
Selatan, anti KB dengan ekstrim, gemar bersanggama sepanjang
tahun khususnya antara bulan Februari dan September, dan sekali
bersentuh terus beranak. Ada kelinci berbulu kasar dari
Himalaya, ada model kelinci Kepulauan Liukiu, ada kelinci
Nesolagus dari Sumatera, ada kelinci Pronolagus warna merah dari
Afrika Selatan, ada kelinci rumut dari Sudan. Saya kira jenis
kelinci terakhir ini yang akan digeragot Al Amrousi.
Menurut perhitungan saya, Al Amrousi segera akan dapat penganut
yang berlimpah ruah di Indonesia dalam tempo singkat dan kelinci
akan naik martabat setara dengan ayam dan bebek alabio dan ikan
gurame Sumedang, dan lewat sedikit perjuangan politis akan sama
terhormatnya dengan seekor domba. Baik bekas dubes atau dubes
yang masih dalam jabatan, baik gubernur atau wakil-wakilnya,
menteri tua atau menteri muda, para anggota Badan Musyawarah
Antar Umat Beragama, peserta penataran berikut penatarnya
sekaligus, para ibu-ibu Ria Pembangunan, investor domestik
maupun asing, Pramuka dan Ampi, akan menaruh perhatian penuh dan
berkobar-kobar kepada kelinci. Jika domba 9-10 kali lipat lebih
banyak di negeri itu ketimbang orang Selandia Baru, mengapa
kelinci tidak bisa mengungguli jumlah bangsa Indonesia baik dia
dari orpol maupun ormas?
Halangannya cuma satu virus Myxomytosis yang bisa membikin para
kelinci kelojotan dan berbusa serta pulang ke rahmatullah
beramai-ramai. Untungnya, virus ini tahu aturan permainan,
bergerak menurut rencana mendasar, cuma melabrak kelinci dan
tidak binatang-binatang lain. Oleh sebab itu tidak ada salahnya
lekas-lekas bikin lokakarya ihwal kelinci, atau bentuk Lembaga
Kelinci yang anggotanya terdiri dari para ahli dari IPB sambil
mengikutsertakan tokoh-tokoh masyarakat berikut dari kalangan
kelinci sendiri. Target pertama sudah barang tentu: kelinci
masuk kota.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini