Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kiai Ikhlas dan Ko-Edukasi

Kiai sobari terkenal sebagai kiai kolot yang luwes dalam pergaulan tetapi kaku dalam berpendirian. tapi tanggapannya terhadap sekolah madrasah aliyah yang mengadopsi ko-edukasi ternyata fleksibel.

19 Juli 1980 | 00.00 WIB

Kiai Ikhlas dan Ko-Edukasi
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
KIAI Sobari sudah berusia lebih dari tujuh puluh tahun. Tidak lagi kuat bepergian jauh-jauh dari rumah. Terkena angin sedikit bisa kumat asmanya yang sudah menahun. Sudah hampir dua tahun ia berhenti mengajar di Pesantren Tebuireng, yang terletak 5 kilometer dari desanya. Selama 33 tahun jarak sekian itu ditempuhnya hampir setiap hari, untuk menunaikan tugas mengajar yang dirumuskannya sebagai "membayar utang ilmu kepada Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari." Ia tidak meminta jabatan formal apa pun di pesantren itu, tak mengharapkan imbalan apa pun. Corak kiai yang begini disebut oleh kalangan pesantren sebagai orang yang ikhlas, tulus tanpa pamrih dalam pengabdiannya. Mungkin karena ikhlasnya itulah do'anya lebih diterima Allah, begitu komentar orang banyak. Karena itu pantas kalau khalayak ramai banyak munta dido'akan agar sembuh dari penyakit atau lepas dari gangguan bermacam-macam, dari yang bersumber pada makhluk halus hingga ke persoalan kasar. Guraunya yang lembut dan menunjukkan kerendahan hati. Dan dengan keteguhan jiwa orang yang telah menemukan dirinya sendiri, kiai yang satu ini dihormati semua orang, dicintai murid-muridnya dan disegani mereka yang mendapat perintah atasan untuk mengimbangi pengaruhnya dengan berbagai macam cara. Kesederhanaan hidupnya menjadi contoh bagi rakyat kecil untuk menahankan derita yang timbul dari berbagai macam cobaan dalam hidup. Tetapi, tidak semua begitu cerah seperti digambarkan diatas. Pendiriannya yang sekokoh karang penghadang hempasan ombak di laut lepas, seringkali membuat sulit orang lain. Ia memang tidak sengaja membuat sulit, tetapi toh kesulitanlah yang muncul dari kiai ini. Pejabat yang harus mensukseskan program KB bisa pusing tujuh keliling mendengar permintaannya kepada rakyat agar berbanyak-banyak anak. 'Himbauan'nya agar para santri hanya mengurusi 'ilmu agama' membuat repot guru aljalbar yang mengajar di kelas sebelah. Moralitasnya yang utuh dan bulat, tetapi berjalur tunggal, sering membingungkan anak-anak muda yang lagi gandrung sesuatu yang sedang menjadi mode. Walhasil, gambaran kiai yang ikhlas tetapi kolot. Pergaulannya luwes, tetapi pendiriannya kaku. Sudah tentu menjadi kqutan bagi penulis ini, ketika ia menyanjung-nyanjung SMP-SMA yang sudah tiga tahun berdiri di Pesantren Tebuireng. Ketika penulis ini berkunjung ke rumahnya beberapa bulan yang lalu, kiai tua ini menyatakan persetujuan atas tegaknya disiplin dan peraturan di kedua sekolah tersebut. Tidak seperti di Madrasah Aliyah, katanya semuanya belum sadar kepada peraturan. Apakah kiai ini tidak tahu bahwa kedua sekolah itu mencampurkan siswa dan siswi dalam satu kelas, atau dengan kata lain mengadopsi ko-edukasi? "Tahu", katanya, "anak saya sendiri sekolah di situ. Karena itu saya tahu betul bahwa di situ peraturan dijaga dan ditegakkan," lanjutnya. Apa kiai tidak keberatan dari sudut pandangan hukum agama atas sistim ko-edukasi? "Tidak", jawabnya, "karena jelas tujuannya. Larangan bercampur aduk antara pria dan wanita 'kan ditujukan untuk menjaga moralitas dalam pergaulan, untuk menjaga keamanan dalam pergaulan. Jangan sampai ada penyelewengan. Itu saja tujuannya. Lha kalau mau aman-amanan, mana ada yang lebih aman dari ruang kelas?" Apa ada sekolah yang mengajarkan keburukan, ia balik bertanya. Di sinilah pentingnya peraturan ditegakkan. Peraturan sekolah menetapkan pergaulan antara sesama siswa harus berlangsung secara tertib dan menjaga tata kesopanan. Kalau peraturan ditegakkan, dari yang menyangkut absensi hingga kepada aturan pergaulan, sudah tentu tercapai tujuan menjaga moralitas dalam sistem ko-edukasi itu. Bagaimana dengan pakaian anak putri, yang menggunakan yurk? Berangsur-angsur ditata yang baik, nanti akan di usulkan agar dianjurkan pakai yurk maksi, atau dalam istilah pak kiai kita rok landung, suatu istilah Belanda-Jawa. Fleksibilitas kiai 'kolot' yang satu ini cukup menarik perhatian, karena ia membawa implikasi bermacam-macam. Yang jelas, tidak benar anggapan bahwa kiai-kiai 'kolot' tidak memiliki rasionalitas dalam berpendapat, hanya mampu mengoper saja dari literatur fiqh kuno tanpa dikembangkan. Kiai 'kolot' seperti Kiai Sobari ini memiliki logika dan rasionalitas mereka sendiri, walaupun mungkin tidak sama dengan dasar-dasar berpikir modern. Mereka juga memiliki kenampuan untuk menerapkan prinsip-prinsip pengambilan keputusan keagamaan atas kasus-kasus kongkrit, sesuai dengan apa yang mereka anggap sebagai kebutuhan masa. Kalau rasionalitas seperti ini tidak membawa kepada pandangan rasional dalam pendapat Kiai Sobari tentang KB, bukankah anak-anaknya nanti yang akan berpikir seperti itu, tanpa harus terputus akar mereka dengan prinsip-prinsip keagamaan yang mereka warisi dari ayah mereka? Bukankah cukup banyak kiai yang menerirna gagasan KB, walaupun ayah mereka dahulu tentu tidak setuju?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus