KIAI Sobari sudah berusia lebih dari tujuh puluh tahun. Tidak
lagi kuat bepergian jauh-jauh dari rumah.
Terkena angin sedikit bisa kumat asmanya yang sudah menahun.
Sudah hampir dua tahun ia berhenti mengajar di Pesantren
Tebuireng, yang terletak 5 kilometer dari desanya. Selama 33
tahun jarak sekian itu ditempuhnya hampir setiap hari, untuk
menunaikan tugas mengajar yang dirumuskannya sebagai "membayar
utang ilmu kepada Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari."
Ia tidak meminta jabatan formal apa pun di pesantren itu, tak
mengharapkan imbalan apa pun.
Corak kiai yang begini disebut oleh kalangan pesantren sebagai
orang yang ikhlas, tulus tanpa pamrih dalam pengabdiannya.
Mungkin karena ikhlasnya itulah do'anya lebih diterima Allah,
begitu komentar orang banyak.
Karena itu pantas kalau khalayak ramai banyak munta dido'akan
agar sembuh dari penyakit atau lepas dari gangguan
bermacam-macam, dari yang bersumber pada makhluk halus hingga ke
persoalan kasar.
Guraunya yang lembut dan menunjukkan kerendahan hati. Dan dengan
keteguhan jiwa orang yang telah menemukan dirinya sendiri, kiai
yang satu ini dihormati semua orang, dicintai murid-muridnya dan
disegani mereka yang mendapat perintah atasan untuk mengimbangi
pengaruhnya dengan berbagai macam cara.
Kesederhanaan hidupnya menjadi contoh bagi rakyat kecil untuk
menahankan derita yang timbul dari berbagai macam cobaan dalam
hidup.
Tetapi, tidak semua begitu cerah seperti digambarkan diatas.
Pendiriannya yang sekokoh karang penghadang hempasan ombak di
laut lepas, seringkali membuat sulit orang lain.
Ia memang tidak sengaja membuat sulit, tetapi toh kesulitanlah
yang muncul dari kiai ini. Pejabat yang harus mensukseskan
program KB bisa pusing tujuh keliling mendengar permintaannya
kepada rakyat agar berbanyak-banyak anak. 'Himbauan'nya agar
para santri hanya mengurusi 'ilmu agama' membuat repot guru
aljalbar yang mengajar di kelas sebelah. Moralitasnya yang utuh
dan bulat, tetapi berjalur tunggal, sering membingungkan
anak-anak muda yang lagi gandrung sesuatu yang sedang menjadi
mode.
Walhasil, gambaran kiai yang ikhlas tetapi kolot. Pergaulannya
luwes, tetapi pendiriannya kaku.
Sudah tentu menjadi kqutan bagi penulis ini, ketika ia
menyanjung-nyanjung SMP-SMA yang sudah tiga tahun berdiri di
Pesantren Tebuireng. Ketika penulis ini berkunjung ke rumahnya
beberapa bulan yang lalu, kiai tua ini menyatakan persetujuan
atas tegaknya disiplin dan peraturan di kedua sekolah tersebut.
Tidak seperti di Madrasah Aliyah, katanya semuanya belum sadar
kepada peraturan.
Apakah kiai ini tidak tahu bahwa kedua sekolah itu mencampurkan
siswa dan siswi dalam satu kelas, atau dengan kata lain
mengadopsi ko-edukasi? "Tahu", katanya, "anak saya sendiri
sekolah di situ. Karena itu saya tahu betul bahwa di situ
peraturan dijaga dan ditegakkan," lanjutnya.
Apa kiai tidak keberatan dari sudut pandangan hukum agama atas
sistim ko-edukasi? "Tidak", jawabnya, "karena jelas tujuannya.
Larangan bercampur aduk antara pria dan wanita 'kan ditujukan
untuk menjaga moralitas dalam pergaulan, untuk menjaga keamanan
dalam pergaulan. Jangan sampai ada penyelewengan. Itu saja
tujuannya. Lha kalau mau aman-amanan, mana ada yang lebih aman
dari ruang kelas?" Apa ada sekolah yang mengajarkan keburukan,
ia balik bertanya.
Di sinilah pentingnya peraturan ditegakkan. Peraturan sekolah
menetapkan pergaulan antara sesama siswa harus berlangsung
secara tertib dan menjaga tata kesopanan. Kalau peraturan
ditegakkan, dari yang menyangkut absensi hingga kepada aturan
pergaulan, sudah tentu tercapai tujuan menjaga moralitas dalam
sistem ko-edukasi itu.
Bagaimana dengan pakaian anak putri, yang menggunakan yurk?
Berangsur-angsur ditata yang baik, nanti akan di usulkan agar
dianjurkan pakai yurk maksi, atau dalam istilah pak kiai kita
rok landung, suatu istilah Belanda-Jawa.
Fleksibilitas kiai 'kolot' yang satu ini cukup menarik
perhatian, karena ia membawa implikasi bermacam-macam. Yang
jelas, tidak benar anggapan bahwa kiai-kiai 'kolot' tidak
memiliki rasionalitas dalam berpendapat, hanya mampu mengoper
saja dari literatur fiqh kuno tanpa dikembangkan.
Kiai 'kolot' seperti Kiai Sobari ini memiliki logika dan
rasionalitas mereka sendiri, walaupun mungkin tidak sama dengan
dasar-dasar berpikir modern. Mereka juga memiliki kenampuan
untuk menerapkan prinsip-prinsip pengambilan keputusan keagamaan
atas kasus-kasus kongkrit, sesuai dengan apa yang mereka anggap
sebagai kebutuhan masa.
Kalau rasionalitas seperti ini tidak membawa kepada pandangan
rasional dalam pendapat Kiai Sobari tentang KB, bukankah
anak-anaknya nanti yang akan berpikir seperti itu, tanpa harus
terputus akar mereka dengan prinsip-prinsip keagamaan yang
mereka warisi dari ayah mereka? Bukankah cukup banyak kiai yang
menerirna gagasan KB, walaupun ayah mereka dahulu tentu tidak
setuju?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini