CERITANYA, di akhir Maret lalu dr. S. Harnopidjati, 60 tahun,
membaca tanggapan Menteri P&K yang hendak menindak setiap kasus
plagiat. Bagaikan mendapat dukungan moral, Rektor Universitas
Sumatera Utara (USU) Medan 1966-1970 itu lantas mengririm surat
kepada Menteri. Isinya ada kasus plagiat di USU, sepuluh tahun
lalu, yang belum jelas kesudahannya.
Pekan lalu, kepada Kompas, Menteri P&K menyatakan heran. Sebab
kasus itu telah dianggap selesai.
Selesai? Bermula dari sebuah nama Dr G F.J Lupini, Dosen
Mikrobiologi di Fakultas Kedokteran USU, 1955-1965, yang punya
beberapa diktat untuk mata kuliahnya. Diktat itu dalam bahasa
Jerman -- dia memang orang sana. Tentu saja mahasiswanya
kesulitan memahami. Dan tampillah. Baginda Natigor Nainggolan,
mahasiswa fakultas tersebut yang kemudian ditunjuk sebagai
asisten Lupini --membantu mengindonesiakan diktat. Antaranya:
diktat Bakteriologi Umum dan Sumber Bahan Makanan Kuman.
1965, kontrak Lupini habis. Tapi tetap sebagai losen luar biasa
di Fakultas Pertanian USU, di samping bekerja di Rumah Sakit
Kodam II Medan Tahun itu pula B N. Nainggolan lulus. Dan
langsung menggantikan Lupini di Fakultas Kedokteran, sebagai
Kepala Bagian Mikrobiologi.
Lima tahun kemudian Harry Suwonlo SH, Rektor USU waktu itu,
tertarik oleh buku Ilmu Bakteriologi Umum karangan dr. B.N.
Nainggolan--yang digunakan para mahasiswa Fakultas Kedokteran
USU. Soalnya, isi buku itu mirip diktat Bakteriologi Umum Lupini
yang sudah disebut. Dan kelanjutannya, oleh Dekan Fakultas
Kedokteran, Dr. Marwali Harahap, dibentuk satu tim peneliti
--yang antara lain beranggotakan dr. Harnopidjati tadi, yang
waktu itu baru saja turun dari jabatan rektor dan menjadi Kepala
Bagian Ilmu Penyakit Paru-paru. Walhasil: buku 112 halaman itu
dinyatakan plagiat dari diktat setebal 150 halaman.
Laporan pun disampaikan kepada rektor, November 1970. Tapi tak
ada kelanjutan. Diduga keras karena pengarang buku, dr. B.N.
Nainggolan, ternyata punya secarik kertas dari Dr Lupini -
bertangl 28 April 1971. Isinya menyetujui buku itu terbit atas
nama bekas asistennya itu. Syaratnya memang ada asal "untuk
keperluan mahasiswa" dan "tidak diperdagangkan." Dan memang
ulah yang terjadi.
Rektor USU kim, Dr. A.P. Parlindungan, menganggap buku itu
sangat membantu mahasiswa, karena diktat aslinya berbahasa
Jerman. Sahrim Sira. mahasiswa, Fakultas Kedokteran tingkat VI,
membenarkan. "Kecuali itu juga harganya murah--cuma Rp 750,"
sambungnya. Mahrim heran mengapa hal itu diributkan. Apalagi
menurut dia, hubungan Lupini dan Nainggolan sangat akrab. Mahrim
memang tak peduli itu etika ilmiah.
Dari Nainggolan bahkan ada satu diktat lagi atas namanya,
berjudul Sumbel Bahan Makanan Kuan. Diktat ini tak dikuliahkan
--hanya bahan bacaan mahasiswa. Menurut dr. Harnopidjati, toh
diktat itu juga persis diktat susunan Lupini berjudul Dikta
Penuntun Praktikum Sumber Bahan akanan Kuman.
Yang menarik komentar dr. B.N. Nainggolan sendiri dengan Dr.
Lupini, yang dikenal rekan-rekannya sebagai pekerja keras,
pendiam, pemaaf dan berhobi berburu itu, ia "sudah dianggap
anaknya sendiri". Dr Lupini sendiri sudah meninggal di
Medan--1978, dalamusia 60 tahun, meninggalkan kedua anak di
Jerman. Istri barunya, orang Medan keturunan Cina, tak memberi
anak.
Tapi mengapa Nainggolan tak menggunakan saja istilah terjemahan
atau saduran? "Dia malah menyuruh saya menerbitkan diktatnya
atas nama saya," jawab Nainggolan. Nainggolan, 50 tahun, di USU
dikenal sebagai orang yang punya "banyak kebijaksanaan." Tahun
1970 namanya pernah dihebohkan ia pergi ke Jakarta, pulang lewat
Singapura, dan berurusan dengan Bea Cukai karena sejumlah
barang. Ia pun pernah dipulangkan dari Universits Mahidol,
Bangkok, karena dianggap tak memenuhi syarat menerima beasiswa
dari WHO (waktu itu ia memang tak sendiri, ada dua dosen lain
lagi dari UI dan Unair--meskipun yang terakhir memang
mengundurkan diri).
Lain dari itu Nainggolan, bapak dua orang anak, rupanya suka
menyusun diktat Misalnya tentang Mieologi dan soal-soal
Bakteriologi. Ada jug beberapa buku terjemahannya.
"Orang ribut karena kini saya punya jabatan," katanya
menyimpulkan. Ia kini memang Pembantu Rektor II USU.
Tapi dr. Harnopidjati tetap berkeras. "Walau tak mengejar
keuntungan, d-ngan iin Dr Lupini sekalipun," katanya kepada
wartawan TEMPO di Sum-Ut, Amran Nasution, "itu tidak etis."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini