SESERPIH PINANG SEPUCUK SIRIH BUNGA RAMPAI PUISI WANITA
Editor: Toeti Heraty
Penerbit: Pustaka Jaya, 1979 232 hal.
DIBANDING kebanyakan buku puisi kita, bunga rampai ini tampak
mewah. Mungkin sekali karena diprakarsai Ny. Nelly Adam Malik
Disisipkan juga reproduksi lukisan beberapa pelukis wanita
seperti Sriyani, Kartika dan Umi Dachlan. Mungkin karena
penerbitan ini dimungkinkan oleh adanya pemrakarsa, beberapa
kata pengantar disertakan. Harus diakui bahwa
pengantar-pengantar itu agak mengganggu keutuhan buku
setidaknya menyebabkan bunga rampai terasa "resmi". Apalagi
dimuat pula potret Ny. Nelly yang memenuhi tiga perempat halaman
di halaman 3.
Dalam menyusun buku ini, Toeti ternyata telah berusaha
sebaik-baiknya. Ia membaca banyak bahan, dan cukup teliti dalam
menentukan pilihan. Setidaknya di antara 19 penyair yang
dipilihnya terdapat penyair-penyair yang memang tidak bisa
diabaikan seperti Isma Sawitri, Siti Nuraini, dan Toeti Heraty
sendiri.
Sajak-sajak yang dipilihnya pun kebanyakan karya terbaik
penyair-penyair tersebut.
Para penyair lain yang dianggap bisa mewakili penyair wanita
Indonesia adalah Selasih Hamidah, Soegijarti, Maria Amin,
Nursjamsu Nasution, Walujati, S. Rukiah, Sabarjati, Bibsy Sitti
Asia Soenharjo, Samiati Alisjahbana Sri Kusdyantinah Bambang
Supeno, Koentari, Dwiarti Mardjono, Poppy Hutagalung, Agnes
Arswendo dan Joellia. Kita barangkali bertanya-tanya tentang
beberapa nama seperti Joellia dan Koentari, tetapi memang setiap
penyusun bunga rampai memiliki selera sendiri--dan penampilan
nama-nama itu bisa juga membuktikan ketelitian Toeti.
Penyusun membagi sajak-sajak itu menjadi beberapa kelompok
berdasar tema. Di antaranya: Alans dan Manusia, Manusia dan
Masyarakat, Pria-Wanita, Cinta dan Kematian, dan Komunikasi.
Sebenarnya, sajak yang sungguh-sungguh baik akan sulit
dikelompokkan karena ia mampu berbicara tentang banyak hal. Kita
boleh bertanya, misalnya, mengapa Tiga Serangkai Isma Sawitri
dikelompokkan dalam Rekaman dan Kesan, dan bukan dalam Manusia
dan Masyarakat.
Kalau pengelompokan harus juga dilakukan, sebaiknya berdasar
penyairnya saja. Yang mendorong terbitnya buku itu adalah
wanita sebagai penyair, dan bukan tema sajak-saja nya.
Tema-tema yang diungkapkan umumnya diungkapkan juga oleh
penyair pria.
Dalam bunga rampai ini tampak jelas pembaruan stilistik dalam
puisi Indonesia umumnya, dan yag ditulis oleh wanita khususnya.
Kita bandingkan sajak Walujati yang berjudul Suara Ibu dan sajak
Isma Sawitri, Tiga Serangkai.
SUARA IBU
Jikalau langit berbiaskan awan
Bergumpal memerah ba' api memarak
Jikalau angin berbisik di pohon
Melewati baunya datang semerbak
Ingatlah aku 'kan ibu, yang jauh
Yang jauh di sana menanti anaknya
Anaknya tunggal yang pergi berkelana
Meninggalkan ibu, intan hatinya
Ibu, kuingat, kau duduk merinai
Merindukan aku dengan lagu merayu
Tenanglah batiku mendengar suaramu
Pikiran kacau, heninglah sudah
Angin berdesir, kalbuku mendengar
Ibuku menyanyi, suara gemetar
Menyayu sayup . . . Oh, angin, tiuplah,
Keringkanlah angin, mataku yang basah! (Hal. 114)
TIGA SERANGKAI
tiga serangkai lampu beca ya mustapha ya mustapha tiga serangkai
lampu beca di sisi kiri di sisi kanan yang satu berkaca merah
satunya lagi berkaca putih yang di tengah berkaca hijau tiga
serangkai lampu beca dibawa berkayuh terayun-ayun malam
berlenggang menurun embun ya mustapha mari pulang ke sarang
nyamuk ke sarang lalat ke sarang mimpi tempat sangkutan topi ya
mustapha-kokok ayam dini hari
(Hal. 188).
Yang penting dalam sajak Walujati itu adalah bentuk: apa yang
diungkapkan tunduk kepada cara menyusun larik dan bait. Terasa
sekali bahwa tidak ada yang penting untuk disampaikan--kalaupun
ada, terlalu umum dan abstrak. Tidak berbeda dengan lirik lagu
populer sejak zaman keroncong tahun 40-an sampai zaman dangdut
tahun ini.
Sedang sajak Isma Sawitri, yang ditulis hanya belasan tahun
kemudian, mendesakkan sesuatu yang penting, yang menunjukkan
ketajaman pengamatan terhadap pengalaman kongkrit. Dan harya
bisa disampaikan lewat puisi, sebab kongkrit. Berbeda dengan
sajak Walujati, "isi" sajak Isma sama sekali tidak bisa
dijabarkan dengan cara lain.
Menampik Terjemahan
Kalau kedua contoh di atas tidak bisa dijadikan dasar untuk
menunjukkan perkembangan kronologis sajak-sajak dalam buku ini,
setidaknya kutipan itu membuktikan bahwa bunga rampai ini memang
menekankan pada Wanita--dan bukan kualitas. Ringkasnya, buku ini
berusaha menunjukkan bahwa wanita Indonesia pun ikut serta dalam
usaha "pembangunan manusia seutuhnya" (ehm red.) seperti kata
Ny. Nelly Adam Malik. Itu ditunjukkan tidak hanya kepada bangsa
Indonesia, tapi juga bangsa asing karenanya perlu disertakan
terjemahan bahasa Inggris yang dilakukan oleh John M. McGlynn.
Umumnya terjemahan McGlynn tidak menyimpang. Masalah utama yang
dihadapinya, yang juga dihadapi siapa pun yang menerjemahkan
puisi: "menaklukkan" puisi bermutu. Sajak yang baik cenderung
menampik terjemahan. Inilah yang dihadapi McGlynn ketika
menerjemahkan sajak-sajak seperti Tiga Serangkai, Ubud, dan
Terima Kash, keiganya karya Isma Sawitri. Suatu hal yang patut
diperhatikan pada penerjemah ini adalah bahwa ia cenderung tidak
secara kaku terikat pada bentuk sajak, tetapi lebih pada apa
yang diungkapkannya.
Salah cetak dalam puisi merupakan hal yang sangat mengganggu
buku ini tidak luput darinya. Dan yang menimbulkan pertanyaan:
dalam pengantar Ny. Nelly Adam Malik dan Toeti Heraty disebutkan
lima belas penyair. Nyatanya ada sembilan belas. Apakah empat
orang telah menyusup diam-diam?
Sapardi Djoko Damono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini