Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CALON independen dipastikan tidak bisa ikut bertanding dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun ini. Pendaftaran calon sudah ditutup. Hanya dua pasang calon yang terdaftar-Fauzi Bowo dan Prijanto serta Adang Daradjatun dan Dani Anwar. Uji materi Undang-Undang Pemerintahan Daerah oleh Mahkamah Konstitusi belum juga rampung. Padahal uji materi itu diharapkan membuka ruang bagi calon nonpartai untuk bisa ikut dipilih. Tentang ini, ada maslahat dan banyak mudarat.
Maslahat pertama, apa pun keputusan Mahkamah Konstitusi nanti, itu tidak berlaku untuk pemilihan Gubernur Jakarta tahun ini. Artinya, Mahkamah Konstitusi tidak terlibat kepentingan jangka pendek siapa pun dalam pemilihan orang pertama Jakarta itu-sebuah tindakan yang benar.
Maslahat yang lain, wacana tentang calon nonpartai hidup kembali, antara lain karena yang menyuarakan adalah tokoh kawakan partai seperti Sarwono Kusumaatmadja. Tidak perlu apriori terhadap wacana ini, apalagi menganggap sistem kepartaian harus ditinggalkan. Calon independen, yang lazim dikenal di berbagai negara demokratis, adalah barometer tingkat kepercayaan rakyat pada partai. Tatkala rakyat sangat tidak percaya, calon independen akan meraih mayoritas suara, misalnya di Aceh. Tapi di Amerika Serikat, di mana lebih banyak orang percaya pada partai, calon independen biasanya hanya menjadi bunga-bunga pemanis kampanye yang tak pernah menang.
Mudarat dari tidak tampilnya calon independen dalam pemilihan Gubernur Jakarta tahun ini banyak dan kait-mengait. Partai menjadi satu-satunya pintu masuk ke arena pemilihan. Sialnya, tidak ada satu partai pun yang transparan dalam mengambil keputusan. Publik hanya bisa menduga, partai memutuskan calon gubernur berdasarkan manfaat ekonomi dan politik jangka panjang yang dijanjikan calon, berdasarkan selera pengurus atau cukup titah ketua umum, atau berdasarkan kesanggupan calon menyediakan uang "mahar".
Soal "mahar" ramai dibantah orang-orang partai. Tapi bantahan itu kelihatannya hanya usaha menutupi praktek buruk mereka. Sarwono Kusumaatmadja bisa bersaksi betapa ia "ditodong" supaya menyerahkan dana sangat besar-oleh orang yang tak punya otoritas tapi diketahuinya "berkeliaran" di sekitar pucuk pimpinan partai. Mungkin saja permintaan uang besar itu tidak serius dan merupakan cara partai menolak Sarwono. Tapi bekas Sekretaris Jenderal Golkar itu pantas curiga bahwa calon yang akhirnya diterima partai adalah dia yang sanggup memenuhi "syarat" tadi.
Tanpa ada calon independen, partai tidak mempunyai kebutuhan untuk membenahi diri, termasuk soal "mahar" tadi. Akibatnya akan sangat merusak. Kader partai yang memiliki prestasi, dedikasi, dan loyalitas tinggi tapi miskin, sangat mungkin dikalahkan oleh kader buruk-dan bahkan siapa saja dari luar partai-yang sanggup menyiapkan dana segunung. Lama-kelamaan jabatan gubernur dan jabatan publik lain akan ditempati oleh orang yang sanggup membayar mahal tetapi dengan prestasi berbanding terbalik terhadap tinggi tumpukan uangnya.
Yakinlah, tidak ada yang gratis di mata pejabat yang naik panggung dengan membayar mahal. Untuk kasus Jakarta, tidak aneh bila setelah pemilihan gubernur ini, "musim tagih janji" akan datang. Proyek infrastruktur, peremajaan pasar, atau pembangunan mal dan properti, sangat mungkin menjadi "barter" bagi penyandang dana gubernur baru. Kalau begini adanya, apakah pejabat baru nanti masih bisa diajak memberantas korupsi?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo