Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Kaburnya Dokumen Asli Soeharto

11 Juni 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SOEHARTO genap 86 tahun Jumat pekan lalu. Karangan bunga yang mengalir ke Jalan Cendana sudah cukup menunjukkan betapa kuat pengaruh bekas presiden yang berkuasa 32 tahun itu. Pengaruh kuat juga yang membuat pemerintah seperti berada di posisi "anjing menyalak di ekor gajah" dalam menuntaskan kasus dugaan korupsi oleh tokoh legendaris ini. Sedangkan Soeharto sendiri bisa tiba-tiba sakit keras kalau akan dihadapkan ke meja hijau, tapi bugar kalau punya hajatan keluarga. Terlepas dari kondisi itu memang keadaan sebenarnya atau sekadar taktik menghindar, faktanya ia tak pernah bisa dibawa ke pengadilan. Dan sekarang sebagian dokumen asli-mungkin malah sebagian besar-kasus tujuh yayasan Soeharto hilang.

Tentu orang masih ingat, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2002 gagal menghadirkan Soeharto ke pengadilan kasus dugaan korupsi di tujuh yayasan yang ia dirikan. Ketua majelis hakim Lalu Mariyun percaya Soeharto benar-benar mengidap sakit permanen. Palu diketuk, sidang ditutup dengan memberi tugas kepada kejaksaan untuk menyembuhkan terdakwa.

Sulit untuk melacak sejauh mana upaya kejaksaan "mengobati" Soeharto. Alhasil, Mahkamah Agung kemudian memutuskan tokoh Orde Baru ini tak bisa dibawa ke depan meja hijau. Kasusnya mulai dilupakan. Publik kembali ingat justru ketika Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh pada Mei 2006 mengeluarkan keputusan menghentikan penuntutan pidana terhadap Soeharto dan akan memulai gugatan baru, yakni gugatan perdata. Yang penting, menurut Abdul Rahman, uang negara kembali, bukan menjebloskan orang yang sudah tua renta ke penjara. Sayangnya, sampai Abdul Rahman kena reshuffle dan digantikan Hendarman Supandji, langkah penuntutan itu baru pada tahap wacana.

Hendarman Supandji tentu sulit bergerak maksimal dalam gugatan perdata dengan raibnya dokumen asli. Tentu saja ini bukan kebetulan belaka. Sebab, mustahil dokumen sebanyak sembilan filing cabinet itu turun sendiri dari lantai atas gedung Kejaksaan Agung dan menghilang di keramaian Jakarta. Layak ditanyakan: ini benar-benar hilang atau dihilangkan? Siapa yang terlibat?

Patut disayangkan, meski ini kasus yang serius, ternyata kejaksaan dengan enteng menyebutkan itu tak menjadi masalah. Fotokopi bisa dilegalisasi dengan pengakuan saksi-saksi dan dengan mendatangkan saksi ahli. Belakangan, setelah masyarakat dibuat bertanya-tanya, muncul ralat: "Dokumen itu memang sejak dulu sudah berupa fotokopi, hanya beberapa yang asli."

Jawaban tersebut membingungkan sekaligus menerbitkan pertanyaan besar: seriuskah para jaksa itu menggugat Soeharto? Soal dokumen fotokopi saja sudah melahirkan pro dan kontra di antara para jaksa. Ada jaksa yang bilang dokumen fotokopi sangat lemah sebagai barang bukti, ada pula yang bilang tidak jadi masalah asalkan ada saksi yang kuat. Padahal sebagian ahli hukum yakin, dalam kasus perdata, dokumen lebih penting sebagai alat bukti daripada kesaksian. Pengacara Soeharto saja mengatakan alat bukti fotokopi itu gampang dipatahkan di sidang-misalnya dengan menuduh "dokumen fotokopi itu bisa saja merupakan hasil rekayasa".

Dengan posisi "hampir pasti kalah" ini, orang bisa saja beranggapan jangan-jangan gugatan perdata ini bukan lagi "proyek hukum". Siapa tahu ini semata-mata usaha meyakinkan masyarakat bahwa pemerintah serius dalam kasus Soeharto. Sebutlah semacam "proyek tebar pesona" menyongsong Pemilu 2009. Ujung-ujungnya tak ada apa-apa.

Kecurigaan ini bukan tanpa alasan. Di kalangan pejabat sebenarnya tak ada kesatuan pendapat tentang bagaimana memposisikan Soeharto: diproses secara hukum atau "dilupakan" sebagai bagian dari masa lalu yang kelam. Singkat kata, ada yang memang serius ingin menggugat dengan target kekayaan Soeharto yang didapat dengan cara tak halal itu bisa kembali ke kas negara, tapi ada yang enggan mengungkit-ungkit masalah ini. Dalihnya, itu hanya membuang-buang energi dan waktu, sementara masalah yang dihadapi bangsa ini ke depan sangatlah kompleks.

Betapapun kompleksnya masalah yang dihadapi bangsa ini, menggugat Soeharto sesungguhnya merupakan keharusan. Ini soal keadilan, soal kesetaraan warga negara di muka hukum, dan soal usaha mengoreksi kesalahan yang terjadi di masa lalu agar tak terulang di masa depan.

Karangan bunga biarlah tetap mengalir ke Cendana saat Soeharto berulang tahun-pertanda secara kemanusiaan kita menghormati dia. Namun pemerintah harus punya kemauan politik untuk mengejar triliunan rupiah yang diduga diselewengkan yayasan yang dipimpin Soeharto. Tanpa kemauan politik itu, urusan menggugat Soeharto akan selalu diwarnai hal-hal menggelikan seperti "kabur"-nya dokumen asli itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus