Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kode Etik Wartawan Denmark versus Indonesia

10 April 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arya Gunawan

  • Mantan wartawan; penanggung jawab program pemberdayaan media UNESCO Indonesia, Malaysia, Filipina, Timor Leste, dan Brunei Darussalam. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.

    SAAT aksi kerusuhan meruyak di berbagai negeri akibat kontroversi kartun Nabi Muhammad yang diterbitkan oleh koran Jyllands-Posten, muncul pernyataan menarik dari Uni Eropa. Organisasi ini resah mem-bayangkan dampak ekonomi-politik aksi itu. Mereka menyatakan, para pelaku jurnalistik (wartawan, editor, pengelola media massa) perlu kembali ke kode perilaku (code of conduct).

    ”Pers Eropa harus memberikan pesan jelas kepada dunia Islam bahwa mereka menyadari akibat dari pelaksa-naan hak kebebasan berekspresi. Pers bisa dan bersedia melakukan swa-regulasi,” ujar Komisioner Uni Eropa u-n-tuk urusan Keamanan dan Peradil-an, Franco Frattini, dikutip Daily Telegraph, Inggris. Sebagai tindak lanjut dari pernyataan tersebut, Uni Eropa meng-ingat-kan media agar ekstrahati-hati dan penuh pertimbangan (prudent) saat meliput masalah-masalah agama.

    ”Sikap ekstrahati-hati dan penuh per-timbangan” inilah yang semestinya men-jadi pedoman para pekerja jurnalistik. Selama ini justru di sinilah permasalah-annya. Dalam soal kartun Nabi Muhammad, misalnya, sejumlah telaah yakin bahwa pengelola surat kabar Jyllands-Posten tidak ekstrahati-hati dan penuh pertimbangan. Telaah independen juga menemukan, penyebab masalah itu ada-lah ”sikap hati-hati dan penuh pertimbangan” ini tidak termaktub dalam kode etik jurnalistik wartawan Denmark (The National Code of Conduct).

    Kode etik ini dirumuskan para wartawan Denmark, lalu disahkan parlemen pada 1992. Panduan ini berisi total 20 ketentuan. Ada tiga kelompok ketentuan, yakni se-suatu yang terkait dengan informasi yang benar, perilaku yang bertentangan dengan praktek jurnalistik yang baik, dan tata cara meliput kasus-kasus hukum/pengadilan.

    Dari sederet ketentuan itu, tak satu pun yang menye-butkan bahwa wartawan perlu melakukan pertimbangan yang matang sebelum menerbitkan laporan yang berpotensi menimbulkan persoalan. Satu pasal di kode etik itu hanya menyebutkan, ”informasi yang barangkali bernuan-sa prasangka atau menghina seseorang... seharusnya diperiksa secara cermat.” Tak ada kewajiban untuk peduli to-pik-topik sensitif.

    Kerusuhan akibat kartun Nabi merupakan bukti jelas bahwa kemerdekaan berekspresi dan kemerdekaan pers bukanlah sebuah kemerdekaan yang mutlak dan tanpa batas. Ada sangat banyak sumber rujukan soal ini. Salah satunya adalah buku Speech, Media, and Ethics: The Limits of Free Expression yang ditulis pengamat jurnalistik Raphael Cohen-Almagor. Salah satu argumennya, ”Kebebasan berbicara adalah sebuah aturan pemandu, salah satu fondasi demokrasi, namun pada saat yang sama ia tidak boleh melahirkan anarki, dan hak kebebasan ber-ekspresi tidak termasuk hak untuk merugikan orang lain.”

    Itu sebabnya mengapa banyak kode etik jurnalistik memberikan rambu-rambu soal kemerdekaan bereks-presi. B-andingkanlah kode etik jurnalistik Denmark dengan kode etik organisasi wartawan di Amerika Serikat (AS), The So-ciety of Professional Journalists. Salah satu pedom-an war-ta-wan AS adalah ”menghindarkan stereotipe berdasarkan ras, jenis kelamin, agama, kelompok etnis, geografi, orientasi seksual, cacat fi-sik, penampilan fisik, ataupun status s-osial.”

    Untunglah, di Indonesia pada 14 Maret 2006 lalu lahir kode etik jurnalistik yang baru, yang disahkan oleh 27 organisasi wartawan. Kelahiran Kode Etik Jurnalistik layak disambut gembira karena kode etik itu memasukkan satu pasal yang bisa menghindarkan media di Indonesia dari kejadian seperti dialami Jyllands-Posten. Dalam Pasal 8 disebutkan, ”Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa.…”

    Pasal ini sangat penting mengingat panduan etika yang berlaku sebelum ini, yang dikenal dengan Kode Etik Wartawan Indonesia—disahkan pada 1999 oleh 26 organisasi wartawan—sama sekali tak mencantumkan ketentuan menghadapi topik sensitif.

    Yang juga menarik dari kode etik baru ini, ada ketentuan soal integritas wartawan, seperti tidak membuat berita bohong, atau tidak melakukan tindak plagiat. Selain itu juga ada soal kepatutan seperti tidak menampilkan peristiwa yang supersadistis—ini yang dilanggar sejumlah stasiun televisi kita saat memberitakan kerusuhan di Abepura—dan melindungi pelaku kejahatan yang masih di bawah umur.

    Hanya, kode etik ini juga tak sempurna. Satu hal pen-ting yang belum diatur adalah soal larangan wartawan menerima suap. Inilah penyakit kronis yang mendera sebagian wartawan Indonesia. ***

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus