Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mochtar Pabottingi
Freedom has a thousand charms to show That slaves, howe’er contented, never know William Cowper
Tajam dan luasnya kontroversi sekitar Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi (RUU APP) merupakan kumulasi dari empat konteks: sejarah politiko-kultural bangsa kita; irasionalitas politik, politik pasca-Soeharto, dan—seperti disinyalir oleh Wapres M. Jusuf Kalla baru-baru ini—tiadanya kompetensi atau ketercerahan intelektual pada banyak anggota DPR dalam menyusun undang-undang.
Dalam Social Legacies and Possible Future, Robert Hefner (2005) menegaskan kembali latennya pertentangan tajam ”antara mereka yang berkukuh pada ideal-ideal Islam dan mereka yang gandrung pada sosialisme serta nasionalis-me netral agama”. Dia merujuk pada perbenturan politiko-kultural yang runcing, luas, dan dalam, melibatkan kalang-an atas-bawah sejak tengah abad ke-18, kala VOC de facto sudah jadi majikan kerajaan-kerajaan boneka di Nusan-tara.
Sulit dibantah bahwa RUU APP kembali mengelebatkan dalam ingatan, ”sosok sembilan wali” versus ”sosok Syekh Siti Jenar”; ofensif ortodoksi Islam di Jawa versus Serat Gatoloco; resolusi para penggagas ”tujuh kata Piagam Jakarta” versus solusi Muhammad Hatta; dan penolakan ”mengubur Paijan” (Geertz, 1973) versus sinisme pantun abangan, ”Mendung-mendung capgomeh/Kudung-kudung digowo lemek” (Geertz, 1960). Secara global, ikut berkelebat, debat berapi sejak tragedi 9/11 antara para pengusung ”kebajikan- Wahabi” versus ”kebajikan liberal” di mana pun kedua kubu ini berhadapan.
Dari kubu para pendukung RUU APP terbetik semacam teriak gebah, ”Kinilah waktunya!” Seperti terpantul di mata mereka kemilau ”tujuh kata” yang terkenal itu. Sebaliknya, dari sisi kubu para penentangnya kembali meruak kecemasan dan rasa nyaris mual. Di depan mata mereka menggulung kian tinggi gelombang ”arabisasi” atau ”taliba-nisasi” di Tanah Air, dengan risiko sosiopolitik tak terperi dan tak mereka kehendaki.
Dalam demokrasi, pembinaan dan/atau pemeliharaan moralitas dilaksanakan di dua ranah. Moralitas pribadi dibina oleh negara lewat lembaga-lembaga pendidikan dasar formal milik pemerintah dan swasta. Sasarannya adalah pendidikan akhlak sepanjang tahun-tahun pembentukan karak-ter. Moralitas kolektif dijaga oleh negara lewat rangkaian peraturan dan undang-undang. Sasarannya adalah pemeliharaan ketertiban dan etika publik, termasuk pencegahan dan penyelesaian sengketa di tengah aneka kiprah serta kegiatan warga negara.
Wilayah dan wewenang pembina moralitas pribadi serta penjaga moralitas publik tegas dipisahkan. Pemilik kewenangan resmi pemeliharaan moralitas publik adalah pemerintah. Kendati partisipasinya tidak ditolak, di sini swasta tak memiliki kewenangan resmi, sebab kiprah swasta sulit dipisahkan dari kepentingan kelompok. Ia tak berhak dan memang tak mungkin mewakili kepentingan umum. Kontribusinya bersifat sukarela dan tetap berada di luar serta di bawah pemegang kewenangan resmi. Begitulah patokan rasionalitas politik tentang moralitas. Manakala seperangkat ketentuan moralitas publik hendak dituangkan ke dalam undang-undang, para pemrakarsa dan penyusunnya mestilah mengindahkan satu lagi patokan rasionalitas politik, yaitu aspirasi dan kepentingan masyarakat bangsa secara keseluruhan.
Keprihatinan kita akan kondisi moralitas bangsa kita dewasa ini adalah sesuatu yang patut dan sah. Imoralitas memang merajalela. Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi yang dimasyarakatkan oleh DPR pada bulan-bulan mutakhir agaknya juga bertolak dari keprihatinan yang patut dan sah itu. Hanya saja pilihan solusi atas yang diprihatinkan tak selamanya patut dan sah.
Dihadapkan dengan kedua patokan rasionalitas politik di atas, RUU APP tak memisahkan urusan moralitas publik dari urusan moralitas pribadi dan karena itu merancukan ke-duanya. Ia juga mengusung aspirasi/kepentingan kelompok politik tertentu dengan melanggar aspirasi/kepenting-an kelompok-kelompok politik lainnya. Maka, ia mudah ditunjuk sebagai bagian dari ofensif pelaksanaan syariat Islam—da-ri ofensif perda (peraturan daerah) ke ofensif undang-undang.
Dari konteks kehidupan politik pasca-Soeharto, muncul- persoalan-persoalan berikut. Pertama, berkat pembodoh-an politik sepanjang rezim Soeharto, para elite politik amat terlatih memanfaatkan kepicikan-kepicikan dalam hal agama dan moralitas di tengah-tengah masyarakat kita untuk- kepentingan-kepentingan sempit jangka pendek. Ingat-, misalnya, Pam Swakarsa menghimpun dan mempersenjatai elemen-elemen buram dan tradisional dengan ikat kepala bertulisan ”Allahu Akbar” dalam rangka pembablasan Orde Baru.
Jika dukungan PKS berhulu pada sentralitas moralitas minus pemahaman politik yang menandai hampir tiap kampanye mereka, maka co-sponsorship Partai Demokrat membuat kita mengernyitkan kening. RUU APP begitu sarat dengan telos dan kandungan ideologi diskriminatif, yang bertentangan sepenuhnya dengan asas-asas demokrasi. Ada dugaan bahwa rancangan ini tak lebih dari siasat untuk mengalihkan perhatian dari upaya pemberantasan korupsi- dan/atau untuk memperoleh tambahan dukungan besar pada Pemilihan Umum 2009 nanti.
RUU APP diusung oleh DPR pada momen yang sungguh tak tepat, yaitu di tengah memuncaknya kesulitan kehidup-an ekonomi mayoritas rakyat. Bagi kaum perempuan dari kalangan masyarakat miskin, itu sekaligus merampas secercah jalan keluar dari himpitan kesulitan ekonomi. Nega-ra kita sendiri dilanda oleh kemelut masalah Freeport (dan ancaman separatisme di dalamnya) serta persoalan perburuhan—dua masalah besar baru di atas tumpukan masalah besar yang belum teratasi.
Para pemrakarsa dan/atau penyusun RUU APP tak cukup- cerdas menyimak sebab-akibat meluasnya imoralitas di sekitar kita, termasuk dalam menempatkan hierarki imoralitas itu sendiri. Perlu ditekankan bahwa bangsa kita sudah digiring ke arah keterjerumusan ini oleh rezim Orde Baru Soeharto praktis sejak awal 1990-an dan bergerak ke titik kulminasinya sejak Presiden Soeharto lengser secara sungguh tak bertanggung jawab.
Kian maraknya megakorupsi, kian rusaknya lingkungan, kian parahnya dunia pendidikan, dan kian angkaranya serbuan narkotik—semua ini jelas menduduki peringkat moralitas prioritas yang jauh mengatasi urusan pornografi dan pornoaksi—termasuk konsistennya gejala ketamakan pembubungan gaji para anggota DPR di tengah-tengah kemelaratan rakyat. Ini semua merupakan bagian dari konteks politik Dajjal pasca-Soeharto, akibat langsung dari peng-unduran diri presiden ”secara sungguh tak bertanggung jawab-” tadi. Mestinya ke sasaran-sasaran masalah lebih besar dan lebih urgen serta koreksi diri itulah DPR mengerahkan waktu, energi, dan perhatian sebesar mungkin. Ada korelasi langsung antara kanker megakorupsi di kalangan eksekutif, legislatif, yudikatif dengan merajalelanya apa yang disebut ”pornografi” dan ”pornoaksi” itu—dua-dua-nya bersumber pada parahnya impunitas, kerdilnya rule of law, dan melimpahnya teladan korup-hina dari para petinggi negara.
Adapun tiadanya ketercerahan intelektual—atau tiadanya- kompetensi untuk melihat masalah secara komprehensif—pada para penggagas dan penyusun RUU APP terbaca, pertama, tatkala mereka menafikan keanekaragaman subkultur bangsa kita dan dengan begitu mengusik solidaritas nasional. Ia melecehkan kedewasaan moralitas bangsa kita pada umumnya dan sekaligus menciutkan ruang ekspresi- serta dinamika kreativitasnya. Ia menyumpekkan kiprah kelompok-kelompok minoritas, kalangan terdidik, dan kaum perempuan, bukan hanya lantaran emansipasi pascakolonial, melainkan karena kaum perempuan Asia Tenggara memang sudah berkiprah sejajar dengan kaum lelaki paling tidak sejak lima-enam abad lampau (Reid, 1988; Lombard, 1990; Pelras, 1996).
Kedua, hampir semua ayat dalam RUU APP itu diformulasikan secara taksa atau ambigu (lantaran tiadanya pemilah-an antara yang pribadi dan yang publik) bahkan beberapa kontradiktif pada dirinya dan karenanya mudah disalahgunakan oleh pelbagai kalangan. Jika itu jadi diundangkan, bukan hanya lembaga-lembaga peradilan kita yang akan segera diserbu oleh ratusan atau ribuan kasus hukum yang merebak seketika. Masyarakat bangsa kita juga akan dilanda oleh serbuan gelombang konflik horizontal, yang bisa lebih parah daripada apa yang berlangsung sepanjang 1998–2000.
Akhirnya, naivitas kental menandai RUU APP karena ia mewacanakan seksualitas, berahi, dan hawa nafsu sebagai melulu nista, padahal perpaduan antara sifat-sifat tersebut- dengan yang ilahiah itulah yang memperelok kemanusiaan. Dan hanya berkat pergulatan dialektis—hanya dengan- tolak-menolak isi-mengisi luar biasa indah antara roh ilahiah- dengan sifat-sifat hewani—Allah membuka peluang bagi manusia untuk menjadi lebih hina dari binatang atau lebih mulia dari malaikat. Dengan kata lain, para pengusung RUU APP menggebrak tidak untuk ”mengendalikan seksualitas”, melainkan untuk mematikannya. Berambisi mengatasi kodrat kemanusiaan, mereka lupa bahwa dengan demikian mereka pun menutup rapat pintu bagi ”pergulatan dialektis” transformatif tadi.
Dengan kekakuan monopoli moralitasnya, RUU APP, dalam bentuk revisi drastis sekalipun, tetap akan menggi-ring- bangsa kita ke malapetaka perbenturan politiko-kultural yang—mengingat rubungan masalah politik, ekonomi, dan psiko-kultural bangsa kita saat ini—amat sangat berbahaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo