Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Muhammad Chatib Basri
SEJARAH mungkin kerap terasa tak adil bagi kaum buruh, kaum yang oleh Lenin disebut sebagai Vanguard Fighter for Democracy. Betapa tidak, di negeri ini saja kita mencatat di masa lalu pemerintah begitu alergi terhadap gerakan buruh. Kita juga mencatat tentang taraf hidup kaum buruh yang berada pada tingkat subsisten.
Seperti sebuah ilustrasi hidup tentang nasib buruk, kemiskinan yang dihadapi para buruh bukanlah sebuah kesudahan yang tragis. Ia adalah keseharian yang harus dijalani. Itu sebabnya isu pengentasan kemiskinan menjadi masalah yang amat penting. Saya kira, tak seorang pun di negeri ini yang tak setuju bahwa kemiskinan harus dikurangi.
Pengentasan kemiskinan dapat terwujud ketika pekerja memperoleh pendapatan yang memadai. Artinya, pengentas-an kemiskinan baru bisa menjadi kenyataan jika penciptaan lapangan kerja terjadi. Ironisnya, isu inilah yang tak kunjung kita selesaikan.
Kita memang mencatat bahwa pertumbuhan ekonomi te-rus meningkat. Namun, di sisi lain, kita pun mencatat: pe-ngang-guran terbuka juga masih meningkat. Apakah pertum-buhan ekonomi tak menciptakan lapangan kerja? Atau, apakah ada faktor lain yang membuat penciptaan lapangan ker-ja menjadi terhambat?
Yang jelas, elastisitas permintaan tenaga kerja Indonesia saat ini diperkirakan hanya sebesar 200–300 ribu. Ini relatif- lebih rendah dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya yang mencapai 400–500 ribu. Mengapa ini terjadi dan apa dampaknya?
Jika elastisitas peningkatan tenaga kerja sebesar 200–300 ribu untuk setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi, maka ini berarti untuk menyerap tenaga kerja baru dibutuhkan pertumbuhan ekonomi di atas 7 persen. Jelas ini tak mungkin segera tercapai. Itu sebabnya upaya yang dilakukan haruslah meningkatkan elastisitas penyerapan tenaga kerja dari 200–300 ribu kembali menjadi 400 ribu dan bahkan lebih—jika mungkin.
Menurunnya daya serap tenaga kerja untuk 1 persen pertumbuhan ekonomi, erat kaitannya dengan kekakuan peratur-an dalam aturan tenaga kerja, misalnya aturan pe-sangon.- Mengapa? Jawabnya, pengaturan uang pesangon se-benar-nya dapat dianggap sebagai ”pajak” bagi pemberi ker-ja.
Ini berarti peraturan pesangon mewajibkan pemberi kerja untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada pekerja, jika pekerja itu berhenti atau dipecat. Dan seperti lazimnya setiap pajak, semakin tinggi tingkat ”pajak”, maka akan semakin rendah tingkat permintaan tenaga kerja baru.
Yang juga perlu dicatat: ”pajak” seperti ini jelas merupa-kan suatu keharusan. Sebab, tanpa itu, perlindungan pekerja tidak akan pernah ada. Buruh pun tak akan pernah dilin-dungi. Namun, sebagaimana jenis pajak lainnya, ”pajak” yang dikenakan terhadap upaya mempekerjakan pekerja baru memiliki batas maksimum.
Di bawah tingkat maksimumnya, pajak akan bermanfaat. Namun, ketika ia sudah terlalu berlebihan, maka ia akan men-jadi beban bagi upaya mempekerjakan pekerja baru. Se-makin tinggi ”pajak” (dalam bentuk aturan pesangon), semakin rendah permintaan tenaga kerja, yang artinya semakin rendah pula penyerapan tenaga kerja ke sektor formal.
Penelitian yang dilakukan oleh Universitas Padjadjaran (Unpad) dan GIAT (2004) menunjukkan bahwa biaya uang pesangon pada 2003 di Indonesia setara dengan nilai ”pajak mempekerjakan karyawan”, yang besarnya 4,1 kali upah bulanan per karyawan atau 34 persen dari upah pekerja tahunan. Menurut perhitungan ini, Indonesia adalah negara dengan nilai pesangon nomor tiga tertinggi di dunia setelah Bolivia dan Portugal!
Dengan tingkat ”pajak” seperti ini, pemberi pekerja menjadi enggan untuk mempekerjakan karyawan secara perma-nen. Ini terbukti pada hasil studi Unpad-GIAT: persentase ”pekerja tetap” menurun dari 78,6 persen (2001) menjadi 74,6 persen (2003). Sedangkan ”pekerja kontrak jangka tertentu” meningkat dari 5,9 persen (2001) menjadi 8,9 persen (2003).
Apa arti semua ini? Nasib kaum buruh menjadi semakin tak pasti, karena ia diterima hanya sebagai pekerja kontrak. Selain itu, adanya keengganan pemberi kerja untuk menye-rap tenaga kerja baru juga akan mempersempit kesempatan kerja bagi tenaga kerja usia muda dan tenaga kerja berpendidikan rendah.
Jika mereka tak bisa terserap oleh sektor formal, maka pekerja ini akan tinggal di sektor informal. Data BPS menunjukkan, selama periode Agustus 2004–Februari 2005, jumlah tenaga kerja di sektor informal meningkat sekitar 1,4 juta orang, dari 63,2 persen (Agustus 2004) menjadi 63,9 persen (Februari 2005).
Ada kekhawatiran tingkat upah di sektor informal jauh lebih rendah dibandingkan sektor formal. Implikasinya, peningkatan jumlah pekerja di sektor informal pada gilir-an-nya akan menurunkan daya beli. Dan akibatnya lagi, kaum buruh, yang bekerja di sektor informal—dengan upah yang amat rendah, bekerja tanpa perlindungan aturan—tak akan dapat diserap. Padahal, mereka bagian terbesar dari kaum buruh kita.
Yang menyedihkan, mereka yang bekerja di sektor informal sebagian besar adalah tenaga kerja tak terampil, perempuan, dan anak-anak. Ini semua akan membuat kesenjangan antara pekerja yang terlindungi di sektor formal (insiders) dan pencari kerja/pekerja sektor informal (outsiders) yang tidak terlindungi menjadi semakin meningkat.
Itu sebabnya, saya melihat bahwa negosiasi soal pesangon merupakan isu yang amat penting. Tingkat pesangon yang terlalu tinggi akan menjadi ”pajak” bagi pengusaha dan tak akan memberikan insentif untuk mencari pekerja baru. Sebaliknya, tingkat pesangon yang rendah juga tak akan membantu kepastian hidup sang buruh.
Saya kira, usulan pesangon hanya diberikan kepada me-reka yang berpendapatan di bawah Rp 1.100.000 mungkin batasannya dianggap terlalu rendah. Hal ini bisa dinegosiasikan untuk dinaikkan pada tingkat yang dianggap memadai. Dan saya melihat proses ini sebenarnya dapat dinegosiasikan dengan lebih baik.
Hal lain yang juga tak kalah penting adalah bagaimana memperkuat peran dari serikat pekerja. Hal ini hanya bisa dilakukan jika Undang-Undang Ketenagakerjaan bersifat sebagai payung. Sedangkan hal yang lebih terperinci lebih baik dibicarakan dalam bentuk collective bargaining.
Studi yang dilakukan oleh Unpad-GIAT menunjukkan, mayoritas buruh menganggap kehadiran serikat pekerja- dapat memperbaiki kepastian pekerjaan. Itu sebabnya, ka-pasitas collective bargaining harus ditingkatkan melalui negosiasi di tingkat perusahaan. Hal ini bisa mencakup masa-lah perincian soal upah dan juga soal cuti.
Tentu harus ada payung hukum yang menjamin upah dan hak cuti. Namun, karena variasi dari perusahaan begi-tu beragam, negosiasi di tingkat perusahaan menjadi amat pen-ting.- Karena itu, saya justru melihat, jika buruh, pengusaha, dan pemerintah dapat duduk bersama untuk menegosiasi-kan revisi UU Nomor 13/2003, manfaatnya akan bisa dira-sakan oleh semua pihak. Tidak hanya oleh mereka yang su-dah bekerja di sektor formal, tetapi juga pencari kerja, pekerja sektor informal, dan pengusaha.
Di sisi lain, upaya pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan melalui penciptaan lapangan kerja dapat ter-capai. Revisi yang dilakukan justru harus memperbaiki nasib kaum vanguard fighter for democracy ini. Buruh bisa di-tolong ketika mereka masuk dalam sektor formal yang lebih terproteksi.
Karena itu, revisi UU Nomor 13/2003 harus mengacu kepada upaya mengamankan hak buruh, memberikan akses ke-pada mereka yang bekerja di sektor informal (outsiders) untuk masuk ke sektor formal, dan meningkatkan peran dari Serikat Pekerja dalam collective bargaining pada tingkat perusahaan.
Di hari-hari ini, kita memang kerap tenggelam dalam pel-ba-gai retorika, termasuk retorika untuk membela kaum yang terpinggirkan. Mungkin itu sebabnya dengan hati yang gemuruh kita berseru tentang perlindungan terhadap kaum buruh.
Tak ada yang salah dengan ini. Namun, hal itu justru bisa dilakukan lebih maksimal ketika lebih banyak pekerja yang bisa diserap oleh sektor formal, sehingga lebih banyak pekerja dapat diproteksi. Hal ini pun bisa dilakukan justru ketika si pemberi kerja tak enggan untuk menyerap pekerja tetap dan pekerja baru.
Sejarah mungkin kerap terasa tak adil buat kaum b-uruh. Karena itu, kita tak boleh mengulangi kesalahan di masa lalu. Kekakuan aturan pasar tenaga kerja hanya akan membawa pengangguran yang semakin besar dan proses pe-ngen-tasan kemiskinan yang semakin lambat di negeri ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo