Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ira Puspadewi
SATU dari banyak hal yang berpotensi meletus di Indonesia belakangan ini adalah memanasnya dis-kusi tentang Rancangan Undang-Undang Ketenagakerja-an. Ada dua sumber kontroversi utama dalam rancangan- undang-undang baru ini, yaitu mengenai pekerja outsourced dan dihapusnya hak atas pesangon dalam hal terjadi PHK bagi pekerja menengah ke atas.
Pekerja outsourced adalah mereka yang dipekerjakan melalui pihak ketiga, biasanya agen tenaga kerja. Dalam pasal 65 UU Ketenagakerjaan yang sekarang berlaku, out-sourcing hanya boleh diberlakukan pada jenis pekerjaan yang bukan bagian dari kegiatan utama perusahaan. Hal ini jamak ditemukan pada pekerjaan cleaning service atau pekerja dapur di perkantoran, misalnya.
Meskipun dalam undang-undang yang sekarang hak pekerja outsourced ditetapkan sama dengan pekerja perma-nen, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa mereka- sangat rentan terhadap pelanggaran atas hak-haknya. Salah satu yang paling sering dilanggar adalah hak atas Jamsos-tek. Jadi, biarpun pasal perlindungan mereka dibolak-b-alik, pekerja jenis ini tidak akan pernah berada dalam posisi yang adil.
Dalam RUU Ketenagakerjaan yang baru, semua pasal tentang perlindungan pekerja (pasal 65), termasuk syarat outsourcing, sama sekali dihapus. Konsekuensinya, skema ini boleh diberlakukan pada jenis pekerjaan apa pun. Tentu saja ini menimbulkan keresahan, karena praktis tidak ada lagi keamanan status pekerjaan. Ketika pihak perusahaan tidak menyukai pekerja outsourcing, pihak ketiga dengan segera akan menggantinya dengan yang baru dan lebih se-suai dengan pesanan.
Hal lain yang berpotensi meledak pada RUU baru adalah pasal 156. Dalam pasal ini, hanya pekerja yang berpenghasil-an sama atau lebih kecil dari penghasilan tidak kena pajak (PTKP), alias Rp 1,2 juta per bulan, yang berhak mendapat pesangon dalam PHK. Yang berpendapatan lebih dari Rp 1,2 juta tidak akan mendapat pesangon, penghargaan, bahkan- penggantian hak yang harus diterima, seperti cuti yang belum terpakai.
Dari dua hal itu saja, tampak logika pembuat RUU itu, yak-ni berupaya menekan faktor biaya dari sisi buruh. Da-lam logika ini ada anggapan bahwa buruh murah akan meningkatkan efisiensi perusahaan dan otomatis meningkatkan daya saing. Pertanyaannya: apakah menekan faktor ini- adalah resep paling ajaib? Apakah biaya yang ditekan akan sesuai dengan keuntungan yang didapat? Bagaimana dengan biaya sosial-ekonomi lain yang bisa meledak akibat asumsi tersebut?
Kalau yang dimaksud adalah meningkatkan efisiensi de-ngan memangkas biaya buruh, barangkali kita dapat membandingkan dengan Cina. Sudah jamak diketahui, Cina ada-lah raja industri yang berbasis manufaktur. Selama trade barriers diberlakukan di Cina, keunggulan ini baru be-rupa potensi. Dengan dihapusnya sistem kuota sejak Januari 2005, semua negara, terutama Amerika, bak terkena banjir bandang barang Cina.
Contoh yang paling nyata adalah meningkatnya ekspor ba-ju dan celana katun dari Cina ke Amerika, yang naik hingga 1.800 persen dalam kurun Januari 2004 hingga Ja-nuari 2005. Maka, resmilah Cina menjadi negara pengekspor tekstil dan produk tekstil terbesar di dunia.
Ini membuktikan bahwa Cina saat ini terunggul dalam efi-siensi proses produksi. Walaupun upah buruh di Shanghai—kota terbesar Cina—sekitar US$ 84 (Rp 758 ribu) per b-ulan, dalam prakteknya, akibat pertumbuhan ekonomi yang sa-ngat tinggi, kebanyakan perusahaan menawarkan upah tak kurang dari US$ 100 (Rp 902 ribu). Dalam undang-undang perburuhan Cina juga tidak diberlakukan syarat upah maksimal untuk mendapat pesangon dalam kasus PHK, seperti yang tercantum dalam draf undang-undang kita.
Di Jakarta, dengan upah minimum Rp 811,00 (US$ 89), yang lebih rendah dari upah rata-rata pekerja Shanghai, tetap saja hal itu tidak membuat Indonesia lebih kompetitif dari Cina. Cina saat ini menguasai 23 persen pangsa garmen dunia, sementara Indonesia hanya 1,8 persen.
Jika penekanan biaya pekerja dianggap sebagai resep sa-ngat jitu untuk meningkatkan efisiensi, seharusnya Bangladesh sudah menjadi pemain besar dalam sektor industri. Betapa tidak, upah minimum buruh di Dhaka hanya US$ 13 (sekitar Rp 117 ribu) per bulan. Karena pengaruh asosiasi pengusahanya yang begitu kuat, upah ini tak pernah bergeser sejak 12 tahun lalu. Kenyataannya, pangsa pasar garmen di Bangladesh hanyalah 1,9 persen.
Belajar dari kasus Cina dan Bangladesh, jelas bahwa pe-nekanan biaya pekerja bukanlah resep ajaib yang patut di-agung-kan. Cina menjadi sangat kompetitif karena hampir semua faktor produksi ideal ada di sana. Bagi perusahaan garmen, misalnya, semua faktor produksi vertikal, mulai dari kapas hingga bahan kardus pembungkusnya, ada di sana. Buruh Cina juga dapat menghasilkan produk dua kali rata-rata buruh Indonesia. Dalam hal upah dan kesejahtera-an, bukan soal besarannya yang penting, melainkan worth of value.
Infrastruktur di sana juga berkembang pesat. Pada 1989, pemerintah Cina mengeluarkan biaya ratusan miliar dolar untuk pembangunan infrastruktur, termasuk sistem transportasi ke pelabuhan. Dalam beberapa tahun saja, pelabuh-an Shenzen dapat menyejajarkan tingkat efisiensinya de-ngan pelabuhan Hong Kong. Bandingkan dengan jalanan macet abadi di daerah Cakung-Tanjung Priok, Jakarta. Dari enterprise survey yang dilakukan oleh Bank Dunia, juga ditemukan bahwa kerugian akibat listrik yang byar-pet di Indonesia mencapai 3,3 persen dari angka penjualan, sedang-kan di Cina hanya 1,26 persen.
Kelompok pendukung revisi UU Ketenagakerjaan barang-kali akan berdalih bahwa salah satu faktor penunjang efi-siensi industri Cina yang tinggi juga didukung oleh pasar kerja yang fleksibel, seperti lebih banyaknya pekerja kontrak daripada permanen. Rata-rata pekerja lebih suka dikontrak selama tak lebih dari setahun. Perbedaan antara Indonesia dan Cina, dengan angka pertumbuhan di atas 8 persen, posi-si tawar pekerja Cina sangat tinggi.
Pekerja Cina akan lari ke perusahaan mana saja yang me-nawarkan upah lebih tinggi, karena kesempatannya m-e-mang banyak. Di Indonesia, dengan tingkat pengangg-uran yang tinggi, posisi tawarnya sangat lemah. Kemudahan out-sour-cing hanya akan meningkatkan jumlah pelanggaran hak-hak dasar pekerja, seperti ketiadaan Jamostek.
Tulisan ini tidak bermaksud menutup fakta bahwa Indonesia sedang dalam keadaan cukup gawat dalam mena-ngani pengangguran, yang jumlahnya sekitar 11,6 juta orang. Ka-rena itu, upaya penciptaan lapangan kerja memang mutlak harus dilakukan. Hanya, patut dipertimbangkan ba-nyak hal selain memotong hak-hak buruh yang sangat mendasar.
Meski kelihatan logis dalam waktu pendek, pemotongan hak buruh hanya akan menambah bom waktu yang meng-akibatkan biaya sosial tinggi. Apalagi dalam rancangan UU Ketenagakerjaan ini, kelas pekerja kerah putih (yang bergaji di atas Rp 1,2 juta) tidak akan mendapat pesangon. Keresahan pekerja pabrik yang tak terjamin statusnya, plus kelas menengah kantoran yang tidak berhak atas pesangon, merupakan bom waktu yang sangat mudah meletus.
Walaupun masalahnya centang-perenang, sudah seharus-nya hal-hal fundamental yang dapat menciptakan iklim usa-ha lebih baik segera ditangani lebih serius. Di antaranya de-ngan pembangunan infrastruktur, memangkas biaya tak res-mi, insentif pajak bagi usaha padat karya, atau kemudah-an kapital bagi upaya meningkatkan efisiensi. Jadi, upaya pe-ningkatan lapangan kerja tidak selalu berarti memotong hak dasar para pekerja yang sudah memiliki pekerjaan.
Memang, melakukan hal-hal tersebut memerlukan koordinasi dan integrasi usaha yang jauh lebih rumit, diban-dingkan dengan memotong hak-hak dasar buruh seketika. Tetapi, jika ini tidak dilakukan, kemungkinan amuk masa dan ketidakstabilan sosial akan segera meningkat. Jika ini t-erjadi, inilah akibat kita yang buruk rupa, buruh yang dibelah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo