Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya baru dua kali membaca Kolom Muji Sutrisno: "Kata" dan "Rasionalitas" (TEMPO, 6 Juli 1991). Kedua tulisan itu padat, dalam, penuh sentuhan nurani, tapi terasa asing di tengah hiruk-pikuk zaman di mana suara hati terdengar sayup-sayup. Kedua kolom itu mengingatkan kita agar selalu kembali kepada fitrah manusia sebagai makhluk yang mampu berpikir. Benarkah segala perilaku kita sebagai individu atau kelompok berjalan lurus di atas rel kemanusiaan. Benarkah kita berusaha terus- menerus untuk mendekatkan jarak antara nurani dan realita yang kita ciptakan. Dan memang, manusia harus selalu berusaha mengawinkan keluhuran ide dan realita, yang cenderung membelok. Manusia harus meluruskan zaman, bukan sebaliknya terjebak dalam zaman yang mereka ciptakan. Tapi persoalannya, percayakah kita pada semua itu. Dalam zaman edan ini, renungan Muji Sutrisno terasa utopis. Sebab, manusia di zaman ini hanya cenderung menciptakan ruang gerak, kemudian terus bergerak dan bergerak tanpa tahu bahwa pada suatu saat kecebur jurang. Contoh sederhananya, jutaan orang merias rambutnya dengan hair sprayer tanpa ia tahu akibat tindakannya itu: langit menjadi bolong, matahari semakin terik. Itu baru salah satu contoh dari sejuta aktivitas manusia. Dalam bergerak, manusia cenderung lupa tujuan semula. Pada setiap tingkat pencapaian selalu timbul tingkat godaan yang lebih tinggi. Godaan-godaan inilah yang sering membelokkan manusia dari tujuan semula. Atau, seperti kata Imam Ghazali, "Dunia ini ibarat air laut, semakin banyak kita meminumnya semakin kehausan". ACHSIN UTAMI CHOLIQ Lachnerstr 14 7500 Karlsruhe 1 Germany
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo