Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tulisan "Gaya Hidup Sekolah di Luar Negeri" (TEMPO, 20 Juli 1991, Pendidikan), rasanya aneh dan mengherankan. Soalnya, pada berita itu disebutkan, putra dari beberapa menteri sekolah di luar negeri. Selama ini, kita sering mendengar keluhan dari berbagai pihak bahwa mutu sekolah di Indonesia sangat ketinggalan dari sekolah luar negeri. Khususnya, bila dibandingkan dengan sekolah-sekolah di negara maju. Di samping itu, juga sering didengar polemik bahwa lulusan sekolah di Indonesia tidak siap pakai. Dan memang Departemen P dan K tidak membuat sekolah yang lulusannya siap pakai. Bahkan, semua pihak sepakat tentang ketidaksiapan lembaga pendidikan Indonesia. Pengakuan seperti itu, paling tidak, datang dari para menteri, pejabat pemerintah lainnya, dan orang-orang kaya yang menyekolahkan anaknya ke luar negeri. Kalau sekolah ke luar negeri untuk mencari ilmu yang kebetulan di Indonesia belum ada lembaga yang mengajarkannya atau memperdalam ilmunya (S3), hal tersebut bisa diterima. Bah- kan, sangat dihargai karena membantu meningkatkan ilmu pengetahuan di Indonesia. Tapi, bila sekolah ke luar negeri hanya sekadar sekolah SMA atau perguruan tinggi yang ilmunya ada di Indonesia, betul-betul memprihatinkan. Kalau pejabat tinggi mengakui mutu sekolah Indonesia sangat kurang, tentunya, dengan pengaruh yang dimilikinya mereka dapat berusaha memperbaiki mutu sekolah di Indonesia? Sebetulnya, seperti yang diketahui masyarakat penyebab tidak bermutunya sekolah-sekolah Indonesia adalah terlalu banyaknya mata pelajaran atau mata kuliah (SMA di Indonesia 15 mata pelajaran, di AS hanya enam mata pelajaran). Belum lagi mata pelajaran yang bersifat indoktrinatif. Sedangkan, anak-anak kita yang bersekolah di luar negeri tidak dibebani indoktrinasi tersebut. Namun, sepulang dari luar negeri, ijazahnya sangat dihargai, baik secara formal maupun informal. I. NOTOSAPOETRO Alamat ada pada Redaksi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo